|
ilustrasi-net |
Catatan Sebuah Peringatan
Pagi begitu cerah pada Kamis (21/4/2016). Di televisi tampak para presenter dengan
centil dan keibu-ibuan mengenakan pakaian perempuan masa lalu. Ya dengan kebaya dan konde dibalut
dengan lipstik. Mereka bercerita dengan penuh semangat. Hari ini adalah Hari
Kartini. Hari peringatan pejuang emansipasi perempuan Indonesia.
Masih
pagi kemarin, berbagai instansi mengharuskan pegawai dan karyawannya mengenakan
kebaya. Di sekolah-sekolah pelajar beradu lenggak-lenggok bak peragawati di
atas karpet dengan busana perempuan di zaman RA Kartini.
Tak
mau kalah, istri pejabat sekelas gubernur dan bupati ramai-ramai pamer memasang
pariwara berupa tulisan kegiatannya bersama masyarakat. Juga tulisan yang
intinya mengajak perempuan harus meneladani perjuangan Kartini. Apalagi para
bupati perempuan tak dengan penuh semangat sebagai perempuan harus emansipasi
seperti yang dicontohkan RA Kartini. Begini-begini, paling tidak saya sudah
mengejawantahkan sebagai Kartini masa kini. Tak
sedikit mereka disebut-sebut sebagai Srikandi. Apa memang ada hubungan antara Kartini
dengan Srikandi?
Tidak
ada yang salah. Mereka telah melaksanakan dari pada tidak sama sekali. Ada
ingatan bahwa Indonesia memiliki tokoh dan pejuang perempuan. Semua dalam
rangka membungkus peringatan Hari Kartini. Pada tanggal dan bulan itu atau 21
April 1879 lalu Kartini dilahirkan.
Ulasan
dan biografi tentang RA Kartini tak sulit ditemui karena hari itu menjadi trending topic. Di antaranya, RA Kartini di lahir di Jepara,
Jawa Tengah, 21 April 1879 dan meninggal di Rembang, Jawa Tengah pada 17
September 1904 atau pada umur 25 tahun. Ia kemudian ditetapkan sebagai Pahlawan
Nasional Indonesia.
Kartini
hidup di lingkungan kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa. Umar Kayam begitu
detail menjelaskan siapa priyayi dan abangan dalam novelnya Para Priyayi. Intinya kalau secara garis
keturunan diistilahkan ‘darah biru’atau wong
pengede. Kartini putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara
dan ibunya MA Ngasirah, putri Nyai Haji Siti Aminah dan Kiai Haji Madirono. Jika
garis silsilah Kartini dilacak akan sampai pada Hamengkubuwana VI dari garis
keturunan Bupati Sosroningrat, bahkan bisa ditilik ke istana Kerajaan
Majapahit.
Kakeknya,
Pangeran Ario Tjondronegoro IV diangkat bupati dikenal sebagai
bupati pertama yang memberi pendidikan Barat kepada anak-anaknya. Kartini juga
mendapatkan kesempatan karena diperbolehkan mengenyam pendidikan meski hanya usia 12
tahun di Europese Lagere School (ELS).
Kartini belajar bahasa Belanda.
Setelah
usia 12 tahun Kartini tidak boleh melanjutkan sekolah. Ia harus tinggal di rumah
karena sudah bisa dipingit. Namun ini kesempatan bagi Kartini mengembangkan
diri. Ia pun belajar sendiri. Ia pun menulis surat-surat yang ditujukan kepada
teman-teman korespondensi dari Belanda. Satu di antaranya Rosa Abendanon.
Tulisan
surat Kartini hingga melegenda sampai sekarang. Surat Kartini memuat isu-isu
sosial, budaya, dan agama. Ia sungguh-sungguh membaca buku-buku, koran, dan majalah
Eropa yang menjadikannya tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Ia
membaca Max Havelaar dan Surat-Surat
Cinta karya Multatuli. Juga De Stille
Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Karya Van Eeden, karya Augusta
de Witt, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman
anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die
Waffen Nieder (Letakkan Senjata).
Kartini
juga membaca surat kabar Semarang De
Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft. Kartini waktu itu juga menerima leestrommel. Di antaranya majalah wanita
Belanda De Hollandsche Lelie. Ia lantas
memiliki niat memajukan perempuan pribumi. Apalagi zaman itu, ia melihat perempuan
pribumi berstatus sosial rendah. Tidak hanya soal emansipasi perempuan, namun masalah
lain.
Setelah
membaca, Kartini pun kemudian menulis tentang pemikiran progresifnya. Bahkan ia
beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Kartini juga rajin membuat catatan-catatan. Kartini
pun jujur dalam mengutip kalimat di karangan. Tentunya analis tentang tulisan
yang ia dapatkan. Kajian struktural dan pragmatik membaca karya sastra. Kajian fungsi
dan selalu mencermati apa yang ia baca. Kumpulan korespondensi Kartini dibukukan
penulis Armyn Pane dengan judul Habis Gelap
Terbitlah Terang.
Kartini
tidak mau hanya menerima tak kajian. Bahkan kitab suci Al quran yang zaman itu hanya
dibaca dengan Bahasa Arab, tanpa dimengerti isinya. Al quran ‘haram’
diterjemahkan dan ditafsirkan dengan bahasa Jawa. Kartini bertemu Kiai Sholeh
Darat guru mengajinya dan ia pun bertanya kitab suci hanya dibaca tetapi tidak dimengerti. Kiai Sholeh Darat tergugah
menerjemahkan Al quran dengan bahasa Jawa meski ditulis dengan tulisan arab
pegon, yaitu teknik penulisan kalimat berbahasa Jawa menggunakan huruf
hijaiyyah. Kitab tafsir dan terjemahan Al quran diberi nama Kitab Faidhur-Rohman, yang menjadi kitab
tafsir pertama di Indonesia dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab.
Baca
dan tulis bagi Kartini mempunyai kekuatan yang luar biasa. Budaya literasi yang
ia contohkan begitu jelas. Dengan membaca pemikirannya menjadi terbuka. Wawasan
tidak hanya lokal, namun mampu mengetahui dan menyelami pemikiran, kebudayaan negara lain. Kartini menuturkan secara rapi. Bagaimana ia mengubah kebudayaan yang merendahkan perempuan pribumi. Memperjuangkan hak-hak perempuan setara kaum laki-laki. Tentang emansipasi.
Banyak pemikirannya melalui tulisannya diterima
orang lain. Bahkan tulisan dan pemikiran Kartini bisa dibaca dan diterapkan meski zaman telah berganti dan sekarang. Tulisan Kartini menjadi risalah dan rujukan. Tulisan mampu mengubah segalanya.
door duisternis tot licht//dari kegelapan
menuju cahaya//habis gelap terbitlah terang//mina
dzulumati ila nur #SelamatHariKartini (*)