Sabtu, 09 Desember 2017

Sajadah tasbih pamrih

“Sebut saja kalau tuhan itu ada, lalu kau katakan aku mengada-ada.”
Lalu kuputar butiran tasbih kayu setangi. Warna cokelat melintar di jari-jari.
“Ingat umurmu tak akan sampai seratus tahun. Hanya separuh perjalanan pohon di depan rumah itu.”
Tak terasa air mata menetes melintasi kerutan pipi. Jatuh tepat di kain lengan panjang yang kupakai. Semakin lama mata makin terasa bercampur air. Tak kuasa menahan daya letupan emosi dalam keriangan keheningan dini hari ini.
“Apakah aku akan mati? Aku masih muda, tidak pantas aku bicara kematian.”
Ia hanya diam. Kulihat kerdipan matanya begitu sayu. Namun, seperti menyembunyikan sesuatu termasuk jawaban pertanyaanku.
“Entahlah. Itu bergantung dirimu memaknai dan mengikutinya.”
Aku sama sekali tak mengerti kata-kata itu. Aku hanya memulai pertanyaan lain yang sejak kemarin menggangguku.
“Lalu kau sebut-sebut, kematian adalah takdir. Apakah benar jika aku mati, itu takdir?”
Air mata semakin deras menetes. Kini suara sesenggukan terasa. Sesekali tangan menengadah meluapkan kegembiraan cerita bertemu para tuan-tuan malaikat. Seakan-akan ruang semakin sempit menutup kerinduan.
“Tuhan maha adil, sedangkan kita tidak pernah adil. Bahkan dengan diri kita sendiri, apalagi dengan orang lain. Lalu kau tanyakan tentang takdir. Belum waktunya”
“Kau pikir aku Nabi Sis, atau nabi Khidir, aku adalah manusia, sama seperti dirimu.”
Aku semakin tidak mengerti apa yang dikatakanya. Namun ingatan-ingatan itu semakin mengingatkan pada puncak keheningan di altar sujud.
“Apalagi kau masih pamrih. Kau salat, zakat hanya untuk menggugurkan kewajiban. Apalagi berhaji, hanya agar berstatus.”
“Pamrihmu kepada tuhan sama sekali tak pernah hilang. Kau berharap surga, melupakan tuhan. Kau belum ikhlas.”
Tangis semakin tersedu-sedu. Tangan seakan tak kuat lagi terangkat. Begitu nyaring kata-kata itu terdengar di telinga. Sayup-sayup terdengar suara memanggilku.
“Ini panggilan manusia, malaikat, atau tuhan?”
(*)
denpasar, 29 november 2017
Read More

Selasa, 28 November 2017

tiang pun kusembah

tiang listrik/ilustrasi/net

Malam itu begitu riang, tetapi begini-begini;
Kami masih usia belia. Baru saja tamat dari studi S-1, kata orang sarjana muda. Semangat dan kemauan meledak-ledak. Bermodal fotokopi ijazah legalisir banyak, kami pun melamar di mana-mana. Mulai sekolah negeri dan sekolah swasta.
“Kamu dapat informasi lowongan dari mana?”
“Dari koran.”
Singkat cerita kami pun diterima kerja di media. Lalu kami bercengkrama dengan orang-orang yang lebih dulu bekerja di media itu. Malam menjadi istimewa karena itu waktunya jamuan. Semacam jamuan malam atau baiat, konon katanya. Kami berkumpul, bagi yang suka minum silakan, bagi yang tidak ya silakan. Moderat saja dan toleransi. Saling menghormati antar umat peminum dan tidak peminum.
Nah, malam makin larut. Satu botol dua botol telah bercampur cerita.
“Kamu kok tidak minum?”
“Nanti kalau aku minum, siapa yang menjadi penunjuk jalan. Hahahaha.”
“Alasan,”
“Seribu alasan.”
Malam beranjak pergi, sedangkan minuman tidak ada habisnya. Namun dini hari akhirnya memisahkan malam itu. Dan pembicaraan dalam perkumpulan mulai tidak tidak terarah. Akhirnya pun kami bubar. Kami memilih pulang, namun ada teman yang belum beranjak. Dia diam. Lalu berlari dan muntah-muntah. Ia berdiri tepat di bawah tiang depan kantor. sambil muntah ia pun berteriak-berteriak.
“Tuhan-tuhan,”
“Lho-lho, ini tiang listrik kau sebut-sebut tuhan.”
“Sepertinya aku bertemu tuhan.”
“Tuhan gundulmu, ini tiang listrik. Kau mabuk.”
“Asli aku tidak mabuk. Tuhan-tuhan aku menyembahmu.”
Benar dini hari itu berubah menjadi ritual. Seorang dari kami menyebut tiang menjadi tuhan. Ya sudah mumpung tiang masih tegak berdiri. (*)
Read More

jalan hujan

ilustrasi/net

hujan adalah tetesan air mata ketika kita larut dalam kesedihan, terhimpit hiruk pikuk keputusasaan, tangisan teriak serak di ujung ketidakpuasan, lalu berontak mengancam, "tuhan aku tidak akan menyembahmu!"
air hujan iba turun dari celah-celah awan, mendung berlalu lalang mengimpikan harapan, lalu berkata,
"terima kasih tuhan engkau telah mendengarkan doaku."
embun pagi tak berarti diguyur rintihan hujan, rintik-rintik membangkitkan asa di kemudian hari, lalu berdoa,
"semoga hari ini engkau mengabulkannya."
Denpasar, 24 November 2017
Read More

tuhan, garis tanganku berbeda


Subuh dingin menusuk tulang rusukku. Bus besar pengantar penumpang antarkota antarprovinsi datang menderu. Kubalikkan badan setelah malam, dini hari berlalu. Di ujung terminal Batu. Di depan pertokoan tempat berteduh. Bagai persinggahan malam-malamku.
“Kau tidak pulang?”
Suara serak-serak memulangkanku kepada suasana kala itu. 
“Entahlah.”
“Kapan lagi kau akan membahagiakan orangtuamu?”
Bagiku sudah cukup apa yang bicarakan. Aku sudah mengerti. Kau khotbah lah di masjid atau bila perlu kau naik di atas bukit Paderman. Aku telah merasakan semuanya. Getir manisnya kehidupan. Apalagi hanya berjalan dari kota satu ke kota lain. Atau pun tidur di teras toko lalu diusir pemiliknya.
“Kau telah sekarat dengan harta dan benda.”
“Ini harta dan benda yang kudapat atas usaha sendiri. Masa bodoh. Kau saja yang tak pernah merasakan begitu nikmatnya surga. Bukan, bukan, surga dunia. Aku dengan mudah memanggil para pelacur dengan uang berlimpah. Mau seharga Rp 10 juta atau ratusan juta.”
“Sudahlah kau pulang barang sejenak. Orangtuamu sedang sakit.”
“Aku sudah memerintahkan anak buahku. Sudah kemarin-kemarin. Aku juga sudah meminta supaya dirawat di rumah sakit. Dan ingat aku telah mengirimkan uang sesuai dengan keperluan obat dan perawatan.”
“Apalah artinya anak buahmu. Apalah artinya rumah sakit. Apalah arti uang bagi orangtuamu?”
“Sudah cukup. Kau tidak ada tahu apa yang ada jalan pikiranku. Garis tanganku berbeda dengan garis tanganmu. Apalagi kau sebut-sebut takdir tuhan.”
“Tidak usah kau bahas tentang itu.”
“Lalu kau akan ceramah lagi.”
Satu per satu balon kupompa. Warna putih, kuning, dan merah mengembang. Dan kuikatkan pada masing-masing tangkai. Tak lupa aku berikan gambar mata dan hidup. Tak lupa aku tempelkan gambar mulut tersenyum. Menyaksikanku.
“Kini kau datang lagi. Untuk apa? Menghinaku? Atau sekadar mengabarkan hidupku yang miskin dan terlunta-lunta.”
“Tidak-tidak. Tidak-tidak. Kau ternyata telah lupa.”
“Kau memang siapa? Bukankan kau?”
“Iya, aku adalah izrail.”
“Kau bercanda. Aku tidak percaya. Bukankah tuhan mengutusmu mencabut nyawamu sendiri?”
“Kau salah, aku hanya memberikan kabar. Kau ini manusia.”
Aku pun pergi. Aku kenal dengannya, tetapi lupa. Terlalu banyak pikiran. Satu hal yang kuingat ia berpesan: “tuhan garis tanganku berbeda.”
denpasar, 25 November 2017


Read More

Jumat, 28 April 2017

Hari Puisi Daerah

Hari ini disebut sebagai Hari Puisi Nasional. Penggunaan kata "Nasional" ini tentunya intimidasi terhadap puisi lokal dan daerah. Ada tingkatan strata keangkuhan. Padahal puisi daerah banyak yang lebih baik dibandingkan Puisi Nasional yang didominasi golongan tertentu. Akibat persengkongkolan pertemanan. Kenapa tidak menggunakan Indonesia?
Menyebut puisi nasional seolah jauh meninggalkan puisi daerah. Bukankah puisi Indonesia secara historis terbentuk dari puisi daerah. Bagaimana juga Mohammad Yamin mengubah puisi daerahnya menjadi puisi Indonesia bahkan dijadikan dan diabadikan sebagai bait-bait Sumpah Pemuda.
Mirip dalam kekejaman dan keangkupan para pemakai dasi. Para petinggi dan penguasa Romawi mengintimidasi pekerja dengan baju dilengkapi dasi.
Dan Brown dalam bukunya The Lost Symbol menuliskan dasi merupakan tali gantungan mungil, cravat (dasi) berasal dari syal pengikat leher yang berbahan sutra. Dulu dasi dikenakan para orator Romawi dengan tujuan menghangatkan pita suara.
Maka Puisi Nasional masih mempertanyakan puisi daerah, lokal yang jauh lebih bernilai dari pada sekadar pergumulan puisi nasional yang dipolitisi. "Apa kabar Puisi Esai?" nah!
(*)


Denpasar, 28 April 2017
Read More

Senin, 24 April 2017

KULTUS SASTRA(WAN) SURAT KABAR

Sabtu (22/04/2017) saya seperti biasa masih terjaga. Dan seperti biasa saya melihat tulisan-tulisan yang terbit di beberapa media, termasuk Kompas. Nah, ada tulisan yang dengan judul “SASTRA(WAN) GENERASI FACEBOOK” yang ditulis OLEH MAMAN S MAHAYANA. Nama akrab di kancah dunia sastra Indonesia. Labelnya, Kritikus dan Pengajar di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Bukan main-main tentunya. Saya pernah baca bukunya seperti “Jalan Puisi: Dari Nusantara Ke Negeri Poci.” Isinya panjang lebar tentang puisi dari zaman baholak hingga zaman sekarang.

Namun membaca tulisan itu kaget dan aneh. Sama sekali dan jauh dari teori apresiasi sastra misalnya. Dan memang benar adanya. Jadi ini kemampuan sebenarnya analisis kritikus sastra Indonesia yang juga dosen Fakultas Ilmu Budaya itu. Buku-bukunya tebal teori hingga pemaparan analisis dunia sastra tetapi ternyata tumpul analisis perkembangan teknologi. Saya yakin kurang membaca platform online juga media sosial.

Dalam buku yang dituliskan Rene Wellek dan Austin Warren misalnya, kita tidak temukan ada teori analisis karya sastra seperti yang diutarakan tulisan itu. Atau ini gaya-gaya generasi tua yang tak mau belajar atau mengikuti perkembangan zaman. Atau semakin mengukuhkan nama-nama yang memang teman-temannya dalam "tokoh sastra" Indonesia. Sastra(wan) surat kabar tidak mau hegemoninya tergusur. Termasuk nama-nama yang “tersohor” yang disebutkan satu per satu dalam tulisan itu.

Redaktur dianggap sebagai Tuhan. Tulisan yang dimuat di surat kabar adalah tulisan yang paling nomor wahid dan layak dibaca. Redaktur surat kabar mahakuasa meloloskan tulisan dimuat di surat kabar. Lalu ia menyerahkan semuanya kepada redaktur, mengapa tulisannya diloloskan dan dimuat di surat kabar? Bukankah standar pertemanan atau persekongkolan yang lebih menjadi acuan? Bukan soal kualitas?

Analisis yang dengan menggebu-gebu di awal , namun di akhir tidak nyambung ditutup dengan fatwa. “Facebook-an itu haram” bagi sastra(wan). Bagaimana menjawab "Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Bicara?" Kalau analisis media sosial tidak tepat. Jadi tidak perlu risau, khawatir, atau tidak menulis lagi di facebook. Biarkan tulisan dan kultus sastra(wan) surat kabar akan terkubur sendiri. Nah!

Denpasar, 23 April 2017
#KULTUSSASTRA(WAN)SURATKABAR
 #KULTUSSASTRA(WAN)
#SURATKABAR
#SASTRAFACEBOOK


Read More

Sabtu, 22 April 2017

di negeri pancasona

di negeri pancasona
kau sumpal mantra langit
kau goreskan sebilah pedang
di leher para pendosa
di negeri pancasona
Tuhan, tuhan, tuhan apakah kau telah mati?
kau ciptakan para penjilat
kau bangunkan para pemfitnah
kau berdirikan para pendengki lagi iri
lalu kau kirim
malaikat
rasul
nabi
wali
kiai
membuntuti
menuntun
jiwa
raga
ketika syeh siti jenar hendak dipenggal
apakah dia?
bukan
aku
lalu
kamu
aku adalah kamu, bukan kamu adalah aku
denpasar, 19 april 2017

ilustrasi/net

Read More