Sabtu, 18 Juli 2015

batalyon semut

ilustrasi-net


SINAR matahari telah memancar. Warna merah di ufuk timur telah hilang sejak bangun pagiku tadi. Sebenarnya aku tak pernah sempat aku memperhatikan perubahan warna itu. Tetapi mataku melihat mereka. Pakaian seragam rapi keluar rumah memanasi mesin sepeda motor dan mobilnya. Berdasi berjalan tegap muncul dari pintu rumah besar samping gubukku. 

Tak perlu ku sebutkan di mana lokasi gubuk itu, kalian pasti sudah tahu. Aku khawatir kalau kusebutkan, wajahku tiba-tiba memerah. Kalian datang. Ah atau pejabat dan anggota dewan berkunjung.

Sudah lewat jauh, ibu rumah tangga mulai memandang suami yang akan berangkat kerja. Anak-anak bersalaman sambil dicium dahi. Bapak berdasi tak ketinggalan melepaskan kecupan itu. Mereka pun berjalan menuju mobil.

"Mama! Adik berangkat ya."
"Mama! kakak berangkat."
"Ma! Ayah berangkat."
"Hati-hati semuanya. Adik di sekolah jangan nakal. Kakak buku tabungan jangan sampai ketinggalan. Nanti uang Rp 50 ribu ditabung ya. Dan Ayah, pulang tepat waktu."
"Mama akan masakkan makanan kesukaan kalian."
"Ok. Pasti dong mama."
Lambaian tangan mereka melepas dan meninggalkan pintu gerbang rumahnya.

Aku pun meninggalkan mereka juga. Jalan yang setiap hari ku lalui. Setengah kilometer, satu kilometer, dan tiga kilometer bukan hitungan. Sepeda gayung tua menjadi tunggangan. Menemaniku dalam mengarungi perjalanan hidup ini. Lebih dari dua puluh tahun. Bukan tapi sampai umurku menapaki 50 tahun lebih. Mulai masih remaja. kawin, dan sekarang menduda.

"Tidak masalah. Toh semuanya tidak akan ku bawa kalau mati nanti."

Tentu itulah yang selalu menghibur saat rasa ketidakpuasan menyelimutiku. Jangankan harta benda, istripun lari begitu saja karena benda bukan harta.
Sekitar satu jam aku berada di atas sedel sepeda buntungku. Pantat terasa panas menembus celana kombor ala warok. Istilah slabruk. Ya celana pemberian seorang teman pelatih pencak silat di kampungku.

"Tak usah diceritakan panjang lebar."

Ku senderkan sepeda gayung di bawah pohon besar itu. Matahari naik dengan sinar cerah. Beranjak seperti perputaran roda sepeda ku. Satu, dua jam. Terkadang ku lihat tangan. Hitam warnanya. Bukan warna arloji tetapi kulitku. Kantuk mulai terasa. Tetapi uang belum dapat. Belum ada di genggaman tangan.

Deburan ombak mulai terdengar. Karang-karang melintang menunjukkan pecahan alam murni. Alam mennjukkan jati diri membentuk lancip, datar, meruncing, dan hingga tak berbentuk. Awan putih menabur langit biru. Panas terasa. Air putih dari sumur tua dekat rumah menjadi penghilang haus dahaga mulai surut.

"Heran, jam segini belum ada orang yang datang," gumamku.
"Biasanya jam segini sudah dapat Rp 5.000. Tapi hari ini sama sekali belum ada yang masuk saku."

Ku masukkan tangan kanan ke saku celana. Hanya terasa recehan pecahan Rp 500 menganjal tangan. Itu saja yang ku dapat? Jari-jari tak pernah lega dan penasaran. Ku lebih teliti lagi, jemari tanganku merambat. Paling ujung samping kiri saku. Benjolan. Jari menyentuh juga.
"Aduh."

Tangan keterlaluan, bisul hampir seminggu belum meletus malah disenggol. Tak berselang lama, ku lihat ada yang datang.

"Dari mana pak-ibu?"
"Lho, Pak saya ini orang sini. Tadi saya lewat situ, terus mau pulang. Istri saya yang kepengin lihat karang makanya saya mau ke sini. Maklum lagi nyidam, jadi harus dituruti."
"Sudah puas Bu."
"Sudah pak. Ayo pulang. Panas."

"Minta maaf. Ada uang Rp 1.000 saja. Saya dari tadi tidak pengunjung. Memang tidak ada tiketnya, tetapi orang-orang suka rela memberi uang," kataku penuh iba kepada orang tadi.

Tanpa berfikir panjang bapak itu langsung memberi uang kertas. Sesuai yang ku minta, atau sesuai hitungan ku. Rp 1.000. Mereka pergi. Aku kembali bersandar di karang lancip itu.

Tak terasa kantuk mulai menggoda mata. Angin sepoi datang membantu menutup mata diam-diam. Panas tak terasa tertahan baju putih bergaris. Aku terbuai suasana itu.

"Waduh! Kurang ajar." gerutuku.

Aku terbangun saat mimpi sepeda hilang. Aneh hanya kerangkanya yang masih tertinggal. Ban kanisiran yang baru hasil utang lah hilang. Tak mudah dihilangkan pikiran itu. Aku tiba-tiba juga mata langsung tertuju melihat posisi matahari. Waktunya sudah beranjak sore. Suasananya hilang begitu saja. Bertambah semilir angin sepoi khas pantai. Memangnya tertidur berapa jam? Aku bergegas meninggalkan karang itu, dan waktunya pulang. Kerangka sepeda masih utuh tidak jadi hilang.

"Untung hanya mimpi."

Aku ambil dan mulai mengayuh dengan santai.Membawa pulang rejeki hari  ini. Cukup Rp 1.000 untuk beli nasi putih sebungkus di Warung Mbak Ni. Makan sore lauk ikan tongkol pemberian Jik Na. Enak tentunya.

Semangat bukan main. Sebungkus nasi putih telah ku dapat. Setidaknya bisa mengisi perut yang sejak bangun ketiduran tadi keroncongan. Aku langsung parkir sepada di belakang gubuk berukuran empat meter persegi. Namun mataku langsung tertuju pada dua ekor kucing hitam. Seekor sedang hamil tinggal menunggu hari, seekor  lainnya berwarna abu-abu meraung-raung.

"Sialan. Pasti makan ikan tongkolku."

Aku tergesa-gesa masuk. Suara sepeda gayung jatuh sudah tak kuhiraukan lagi. Ku buka keranjang penutup ikan tongkol itu.

"Masih ada. Ha ha, kucing tidak doyan makan tongkolku. Kasihan nanti aku tidak punya lauk."

Nasi ku buka. Ku teguk air dari kendi samping meja. Melegakan dan biar tak tersendat saat makan. Selesai itu, ku letakkan di meja lagi. Aku melihat semut merah. Berbaris dengan jumlah lebih dari 300 hingga 1.300 ekor. Membentuk batalyon. Ku cermati arah lalu lintas semut itu. Ratusan hingga ribuan ekor semut itu berujung di piring. Berkerumun mengitari dan bergotong royong membawa ikan tongkolku. Tongkol itu kini telah disita semut. Mereka telah berkerumun dan mengitari tongkol. Bahkan tanganku digigit saat akan mengambil tongkol itu. Aku juga mencoba memisahkan semut dari tongkol. (*)

denpasar, 20 juli 2015
Read More

Senin, 13 Juli 2015

menunggu siang hari

net

PAGI, siang, petang, malam, dini hari, dan kembali lagi ke pagi. Putaran rotasi bulan dan matahari yang jauh hinggap berdasarkan teori. Bisa berbalik arah. Atau terputus di tengah perjalanan. Setidaknya ada yang ditunggu dari rangkaian perjalanan itu.

Aku pun sebenarnya tak peduli. Apalagi menghitung. Yang ada hanya melihat kalender itu yang menempel di dinding itu. Setiap hari hanya melihat putaran jarum jam berputar. Tanpa mengetahui dimulai dari angka berapa. Meski tertera angka 1 hingga angka 12. Atau dibilang searah jarum jam. Katanya memang satu hari itu, ada 24 jam. Bukan delapan jam bekerja. Delapan jam tidur dan delapan jam bersenda gurau. Itu saja cukup melelahkan.

"Nur kamu hari ini tidak kerja?" tanya Pak Hasyim melihatku masih berbaring di tempat tidur.

Aku pun tak menjawab. Aku rasa itu pertanyaan yang sangat mudah dijawab. Iya atau tidak. Cukup menganggukkan kepala. Sebenarnya jalannya.

"Tidak usah terlalu dipikirkan. Apa yang sebenarnya Nur pikirkan? Coba ceritakan. Toh, kita khan sudah sah suami istri.”

Pak Hasyim terus berbicara. Tentu seperti menasihatiku. Dengungan suara yang tiba-tiba semakin lama semakin terdengar keras di telingaku. Pak Hasyim kemudian duduk disampingku.

"Sudahlah jalani saja apa yang ada di depanmu. Toh itu membuatmu akan lebih baik."

Pesan itu yang seringkali ku dengar. Namun seperti biasa, aku hanya diam. Tak menghiraukan kata-kata itu.

"Nur. Bapak ke kantor dulu."

Pak Hasyim bergegas melangkahkan kakinya meninggalkan ku sendiri di kamar. Sedangkan aku berbaring di atas kasur itu. Lesu sekali rasanya. Pegal dan mulas perut ini. Tetapi ku biarkan berontak di badan. Malas menginjakkan kaki meski sekadar membuang air kecil. Atau melihat suasana di luar. Terasa berat mata ini dibuka. Begitu juga dengan kepala terasa besar. Rasa dingin terasa menusuk tulang belulangku menusuk sumsum.

Demam! Dan menggigil. Gigi atas dan bawah mengigit-gigit bertarung seperti gerakan yang tak mampu terpikirkan. Ku ingat-ingat hari ini. Ya hari Selasa. Kalau tanggalnya terus terang sudah tak ingat lagi.

Percaya sekali. Selasa Kliwon adalah hari paling baik memulai segala urusan. Baik urusan rezeki, pekerjaan, jodoh ataupun memulai mencari atau menuntut ilmu. Benar atau tidaknya, aku juga tak bisa memastikan. Bukankah aku keturunan dukun? Jelas tidak tahu, karena aku belum menemukan keluargaku.

Beruntung aku bertemu dengan Pak Hasyim. Lelaki paruh baya dan istrinya dua. Aku dan Zubaidah. Ya, Zubaidah yang pertama dan aku yang kedua. Selebihnya, aku sudah tidak ingat lagi.

Aku berusaha menenangkan diri. Mata ku buka. Lalu ku tatap langit-langit kamar dan dinding. Penuh dengan hiasan di dinding. Lukisan eksotik pemandangan alam. Petani dan bu tani berangkat ke sawah. Di situ pula ku lihat ada tulisan paling pojok kecil nama pelukis lengkap tanggal, bulan, dan tahunnya.

Ku arahkan pandangan ke satu lukisan lagi. Gambar ilustrasi mendung. Ku alihkan pandangan pada lukisan terakhir. Sebuah lukisan di tengah tepat dengan arah mataku. Sorot mata semakin tajam. Semakin jelas gambar apa yang di lukisan itu. Dua tubuh manusia laki-laki dan perempuan bersolek dan berpakaian khas adat Bali, berdampingan. Jika mataku bisa mengeluarkan cahaya atau semacam aura pasti tepat pada lukisan itu. Bisa jadi lukisan itu jatuh sendiri. Sama seperti lukisan yang lain.

Belum sampai memahami apa yang tersirat lukisan itu, pandanganku jatuh pada fokus berbeda. Mata meninggalkan tiga lukisan itu. Pada benda di bawah lukisan manusia itu. Tepatnya pada jam dinding berwarna putih. Bundar dengan garis tepi diameter 15 centimeter. Garis tepi satu centimeter berwarna hijau. Di tengah jam itu, ada lingkaran berwarna hijau. Tertulis ‘Hasyim & Zubaidah’.

Ku terus pandangi tulisan itu. Namun jarum jam dan detik merusak pandangan nama itu. Gerakan putaran per menit terlalu keras. Terbawa dan jarum itu menunjukkan pukul 08.15. Telat masuk kerja. Aku harus masuk kantor mumpung sebelum terlambat. Tetapi, Pak Sarip pasti mengampuniku. Atau tambah senang jika tahu aku yang datang. Suasana pagi itu benar-benar tak mampu menuntunku. Aku tetap bermalas-malasan beranjak dari kasur. Mata ku tak berhenti melihat jam dinding itu. Bersalahkah aku? Entahlah.

*********
“Pak, sudah lama tidak makan bersama. Apa ada waktu?” Pak Sarip menelepon setelah beberapa lama Pak Hasyim tiba di kantornya.

“Iya Pak! Memang lama sekali tak kita tak bertemu.” Jawab Pak Hasyim dengan nada datar.

Pak Sarip, kini naik jabatan di perusahaan tempat Pak Hasyim bekerja. Ya sudah tiga atau empat bulan ini ada mutasi.

“Nanti bisa khan?”
“Iya Pak. Tapi di mana?”
"Di tempat biasa saja. Ada yang akan saya bicara. Serius dan hanya empat mata. Saya dan Pak."

Keduanya telah sepakat bertemu. Tempatnya rumah makan langganan mereka. Tepat pukul 12.00. Tidak ada aktivitas pada jam itu. Matahari benar-benar berada di atas ubun-ubun. Waktu puncak siang.

Dan itu membuat badan sedikit terasa berkeringat. Sudah lewat waktu bedug. Sudah beres semua urusan dan projek masterplan sudah sesuai dengan rencana. Pak Hasyim bergegas, menuju tempat makan seperti yang telah menjadi kesepatan tadi. Bergegas dengan cepat mobil hitam yang masih mengkilap terpantul sinar matahari.

“Sudah lama nunggu?.” Sapa Pak Hasyim sembari mengulurkan tangan.
“Ah, tidak, sama sekali tidak. Ini khan baru setengah satu.”

Pak Sarip langsung bercakap. Ku lihat arloji Pak Sarip sekilas. Waktu pun berlalu lambat. Seperti jarum arloji itu tak berputar. Kemudian aku lihat arlojiku. Memang baru lima menit berlalu bersama Pak Sarip. Di meja nomor 13, duduk sembari menunggu pesanan. Mereka pun bertegur sapa dan masih berbincang ringan. Belum sampai pada titik persoalan.

Namun. “Maaf, maaf Pak.” Tiba-tiba saja Pak Hasyim tergugup-gugup.
“Saya pulang dulu. Ada sesuatu di rumah dan sangat penting. Sekali lagi maaf Pak.”
Pak Sarip mempersilakan ku meninggalkan dirinya. Aku bergegas menuju mobil.
“Jelas ada apa-apa dengan Nur.” Kata Pak Sarip meski tidak begitu jelas terdengar.

********
PAK Hasyim meninggalkan rumah makan itu dan menuju rumahnya.

“Pak, mudah-mudahan tidak ada apa-apa dan segara sadar. Kondisi tadi memang kritis,” kata dokter Urip, menyambut dengan tenang kedatangan Pak Hasyim. Sambil berbisik kepadaku dengan tangan memberikan kertas lusuh.

‘Pak, suamiku. Maafkan aku selama ini. Aku telah menipu orang yang selama ini sangat baik. Tidak seharusnya Pak menerima balasan seperti ini. Sebuah  kebohongan. Aku benar-benar tak tahu diri. Namun aku merasa sudah waktunya berkata jujur. Perasaan hanya menunggu waktu. Tetap saja aku akan berbohong selamanya."

"Terus terang jabang bayi ini. Yang selama ini Pak sayangi, ini bukanlah anak kita, tapi anak Pak Sarip. Sekali lagi, saya minta maaf yang sebesar-besarnya. Biar saya yang menanggung semua perbuatan ini. Pak tak usah khawatir." Nuraijah. (*)

denpasar, 13 juli 2015
Read More

Minggu, 12 Juli 2015

isak tangis sunrise

net
“Gayatri, hubungan kita sudah lama.” Suara serak membisik di daun telinganya. Ku rebahkan tubuh di atas kasur suite room hotel itu. Malam spesial, karena aku akhirnya bisa bermalam bersama Gayatri. Perempuan manis yang ku kenal hampir beberapa tahun belakangan ini. Mengisi cerita di sisa-sisa umurku. Mengubah jalan naskah sepanjang di akhir masa tuaku. Ku kenal lebih dari perempuan-perempuan periang. Tak pernah bisa dibandingkan dengan perempuan yang hilir-mudik ku kenal selama ini. Apalagi istri-istriku.

Gayatri seolah telah membimbingku. Meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang menjadi candu. Membisikkan bagaimana menikmati hari-hari tanpa dihingapi rasa penyesalan. Membawa pada ketenangan pada titik kedamaian kehidupan. Begitu kiranya. Paling tidak memberikan harapan bahwa manusia hidup di dunia harus berguna kepada sesama.

Jauh lebih dari itu, terselit keinginan dan dorongan agar dia benar-benar menjadi pendampingku. Tujuannya simpel, dia bukan teman kencan lagi. Agar bisa merawatku, paling tidak itu nanti.

“Pak. Aku tidak mau menghancurkan segalanya. Aku adalah teman. Ya, tempat saling berbagi hati dan cinta. Bukan berbagi nafsu.”

Aku terperanjak. Kata-kata keluar dari mulut Gayatri. Lampu padam seakan menyala terang benderang menerangi seisi kamar itu. Kenapa aku terkejut? Ya, tak pernah ku bayangkan sebelumnya. Apalagi bagiku mengajak berkencan perempuan bukan hal sulit. Di sisa-sisa napas panjang ku yang sudah terbiasa dengan para perempuan-perempuan dini hari.

Ku hela napas sambil membenahi pakaian ku. Menatap jam dinding, dan jarum tepat menunjukkan pukul 03.00 Wita. Suara anjing melolong memecah kesunyian dini hari itu. Sahut-sahutan seakan meronta-ronta memecah jendela kaca.

“Tetapi bagi ku, kamu adalah orang yang tepat. Kamu adalah segalanya bagi ku. Aku sudah ucapkan sumpah. Kamu adalah yang terakhir.”

Aku bangkit.

“Ini bagian dari perjalanan Pak. Antara aku dengan Pak sampai seperti sekarang hanya sebuah kebetulan. Tak perlu dihayati. Ini jalan kehidupan sehari-sehari. Apalagi bagiku. Bukan asing lagi, mengenal sosok Bapak, bercengkrama, dan berdua seperti sekarang ini.”

“Jika tumpukan batu karang Pantai Sanur itu tak menepukku. Mengenalkan kepadamu, mungkin aku sudah tidak di sini lagi. Kau sudah tahu banyak tentang diriku. Kau bagaikan bidadari yang tak hanya berparas cantik namun juga….”

Aku mencoba merayu Gayatri dengan derai angin dini hari itu. Mengungkapkan keinginan. Memberikan gambaran tentang masa-masa yang akan terjadi. Memang Gayatri benar-benar cantik. Ku putuskan keluar kamar. Sambil berfikir dan bertanya kenapa dan ada apa Gayatri? Kakiku melangkah ke lobi penginapan itu. Sayup-sayup terdengar suara lantunan dari masjid seberang penginapan. Meski hafal jam diputar lantunan-lantunan itu, tetapi tak tahu apa arti lantunan itu. “Ah.”

Aku berfikir ada apa sebenarnya Gayatri. Mencari tahu. Di sela-sela itu hasrat mengambil hati Gayatri terus tak kunjung padam. Tanpa mengerdipkan mata, menghempaskan nafas panjang sambil bergumam.

*****
Rasa rindu kepada Gayatri tiba-tiba muncul. Menuntun mencari note kecil di meja kamar. Sudah sekian lama aku tak lagi mendengarkan cerita-cerita roman kehidupan. Belajar dari orang yang jauh lebih muda dibandingkan umurku. Dan yang terpenting lagi melihat paras Gayatri. Sekitar dua atau lima bulan. Tepat setelah peristiwa itu.  Ku raih buku telepon. Lalu mencoba telepon ke nomor yang diberikan Gayatri. berulang kali, namun tanpa respon. Parah, hanya terdengar suara pesan operator.

Ku buka-buka lagi catatan kecil. Tujuannya mencari nomor telepon lain. Tak kutemukan dan membuka file foto di handphone. Terbayang lagi bagaimana paras cantik Gayatri. Kuingat waktu bercengkrama bersama anak-anak penjual jagung bakar di tepi Pantai Sanur itu. Dekat dermaga penyeberangan Sanur menuju Nusa Lembongan dan Nusa Penida.

Ku teringat memori itu. Menuntun ingin mengulangi nostalgia di suatu waktu. Ku bergegas berangkat menuju pantai. Meski malam berangsur-angsur berganti dini hari. Tak lama telah sampai. Mobil ku parkir di sebuah hotel ternama itu. Melusuri lorong-lorong sempit pantai Sanur. Aroma menyengat balsam otot di sudut bangunan kecil samping kiri.

*********
Sampai akhirnya di bibir pantai. Pemandangan tak seperti biasanya. Begitu ramai dan riuh. Jauh dari kesunyian yang membawaku pada malam-malam kedamaian. Orang-orang tampak berpelukan. Suara-suara tangisan menusuk pendengaran. Meronta dan berteriak. Mereka berteriak menyebut nama-namanya.

Ku dekati Nyoman, kru boat Sanur-Nusa Lembongan di kerumunan. Keluarga dan teman korban, termasuk kawan Gayatri berdatangan. Ku tanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa dini hari telah ada boat yang menyeberang? Nyoman pun menjelaskan tentang peristiwa tragis itu. Memang tak seperti hari-hari biasa.

Rombongan ini pergi ingin menikmati sunrise di Gili Trawangan. Perjalanan dini hari itu kemudian terjadi. Ombak pasang dini hari menceritakan lain. Satu nama tertuju yang aku tanyakan.

“Man, tahu Gayatri ke mana?”
“Iya Pak. Dia kemarin ikut acara komunitas ODHA ke Gili.”
“Ha!”
“Nggih, Pak. Tyang dapat kabar dari Bli Komang. Kalau Gayatri rasa-rasanya juga ikut.”

Aku berjalan tergesa. Tergopok-gopok dan meminta daftar penumpang ke Gili Trawangan kemarin sore. Pelan-pelan ku peloti nama yang terpampang di buku itu.

“Ah. Aku tak percaya.”

Sayup-sayup ku dengar, nama Gayatri disebut korban tenggelam kapal boat bersama 40 orang penumpang lainnya.  Ada sebagian kenal denganku, namun hanya beberapa saja. Seorang perempuan paruh baya memberikan secarik kertas kepadaku. Tulisan Gayatri.

Ku baca secarik kertas itu. Gayatri banyak menulis tentang permintaan maaf kepadaku. Ia pun menuliskan di paragrah terakhir.  “Pak, ampura tyang positif.”

Aku berfikir inikah alasan Gayatri tak mau denganku? Yanti berusaha menenangkanku sambil bercerita panjang tentang Gayatri. Aktivitasnya, termasuk ia positif terjangkit virus mematikan itu. Aku larut dan meninggalkan Yanti.

Tatapanku jauh di timur  tak berujung. Langit melukiskan warna-warna baru. Aku duduk terpaku dan menunggu. Isak tangis menjelang sunrise tepi pantai Sanur itu. Tak pernah hilang hingga matahari benar-benar terbit. (*)

denpasar, 12 juli 2015
Read More

Jumat, 10 Juli 2015

jamuan jumat terakhir

net

dug-dug-dug. sayup-sayup terdengar suara bedug. tanda aksara menyapa dahaga. tak perlu menunggu lama. hidangan sederhana tanpa meja menyapa. tuangan air bening meregangkan kening setelah keliling. menghempaskan kaki-kaki lusuh mendera pedal paruh nan lapuh. tangan-tangan gemetar meraih ubi jalar. warna ungu menyentuh bibir nan ketir. dikunyah gigi lubang di menutup ronga-ronga mulut.

hening setelah itu. menunggu. masuk. satu per satu. sama seperti hari-hari sebelumnya di pintu.

ingatan kepada mereka serasa menyebutkannya. berhembus kabar-kabar tentang dirinya. di sana atau di sekitar sini. tak pernah teringat kapan peristiwa itu. tak pernah tercatat di dinding-dinding keramat itu. tak terpampang lembaran-lembaran cerita itu. tak perlu lama menghitung. dan tak perlu mengerutkan dahi. karena itu masa itu.

hening meski terdengar deru kendaraan melaju. ku tetap di pinggir serambi luas itu. ya seluas lapangan sepak bola di daerah ku. sejauh mata memandang tampak dahi-dahi menghitam.

diriku tak terbaca lagi. tenggelam bersama mereka di pinggir jalan pintu masuk itu. ku tanya samping kanan dan kiri mereka. jawabannya beragam. saya dari sana. belum makan tiga hari. ingin makan seperti apa yang mereka makan. tak punya uang sama sekali. ingin pulang kepada mereka. mereka siapa tak pernah ada jawabannya.

ku biarkan mereka bersimpuh di atas lantai rusak itu. sedangkan aku beranjak dari tempat duduk. ya setelah kenyang dengan ubi jalar beberapa potong itu. ditambah satu seruput gula bercampur buah belewah. atau air bening segelas ukuran mili itu.

tiba-tiba denyut nadi meninggi. jatung berdebar di tengah altar. bibir kumat-kamit seperti sembelit. menahan dahan tangan tak mampu bergerak. kaki seperti terpatri. buru-buru mata berkaca-kaca. mulut ingin berteriak hingga serak. seperti terkunci tak mampu berbunyi. bisikan-bisikan itu semakin dekat. menyambar dan meronta di daun telinga. semakin lama semakin keras.

meletup menerjang sendi-sendi kepala. sudah terhitung tinggal berapa hari lagi. satu hari dan terus bertambah. semakin jelas. ini jumat. perjamuan telah berakhir. (*)

denpasar, 10 juli 2015

Read More

Rabu, 08 Juli 2015

laila, laili, oh lailu

net

laila, laili, oh lailu. 
engkau mulia tiada bandingnya. paras cantik nan menggoda. kau tak pilih-pilih siapa aku, dia, atau kita. kaum mana yang bisa bersanding denganmu. semua berharap bertemu dan berjumpa denganmu. begitu juga dengan ku.

laila, laili, oh lailu. 
ku tutup telinga hingga tuli bisikan. ku sumpal hidung hingga saluran napas tak beronga. kurapatkan kedua bibir lalu kunci berkata diam. membisu.

laila, laili, oh lailu. 
ku ikat kedua tangan lalu membentang. meraih dan meraba butiran-butiran lingkar kayu. ku pasung kaki hingga berlutut tersujud. kepala terbentur menatap lantai-lantai kusam bertuliskan kesucian.

laila, laili, oh lailu. 
ku heningkan malam-malamku. mengejar paras cantik biduan. semangat dengan penuh harap. hari-hari ganjil terhitung malam menggigil. hari genap menjadi gelap. mengisi ruang kedap tanpa lampu-lampu dunia. pancaran kecil dari sudut-sudut ruang semakin mengecilkan tubuh bercampur luruh.

laila, laili, oh lailu.
jarum jam terus menunjuk angka. waktu berputar mengelilingi kubah-kubah tanpa henti. sedangkan aku masih membelenggu menanti untaian cinta dan kasihmu.

laila, laili, oh lailu.
ku bayangkan bagaimana menikmatimu selama 1000 bulan. bercumbu penuh dengan gairah hingga mata memerah. bergumul dengan bidadari-bidadari suci. menghiasi wajah-wajah penuh amarah. kemuliaan yang tak pernah terbayarkan.

laila, laili, oh lailu.
hingga hari ini belum melihatmu. memandang pun tak sampai. menyapamu. hanya cerita tentang dirimu. keajaiban nyata. misteri yang tak pernah terjawab logika. antara nalar dan keyakinan. 

laila, laili, oh lailu.
di tengah ketidakmampuan dan uji kesabaran aku berharap. meski hanya sekejap mata. menyaksikan sayap jibril mengepak turun ke bumi. mengisi hati dengan sepenuh nurani. hingga catatan takdir tahunan penuh ampunan.

denpasar, tengah malam, 8 juli 2015
Read More

Minggu, 05 Juli 2015

simfoni tepi pantai bali

TAK pernah bosan memandang pantai yang ada di Bali. Hampir di wilayah kabupaten mempunyai bentangan pesisir nan eksotik kecuali Bangli. Kabupaten Badung misalnya, pantai membentang hingga 82 kilometer. Begitu eksotis, indah dipandang dan dinikmati. Pohon nyiur di tepi pantai menambah pemandangan hempasan ombak. Sunrise dan sunset sesuatu yang takkan pernah membosankan. Alam dan pesona pesisir benar-benar mampu membentuk ‘simfoni tepi pantai’.

Namun, kondisi dan pemandangan itu menjadi langka dibandingkan pada tahun-tahun lalu. Jika diukur ulang, mungkin hanya tinggal beberapa kilometer saja yang masih bisa dinikmati secara secara ‘bebas’. Istilah public space yang tidak terusik oleh security yang selalu memeloti.

Cerita puluhan kilometer yang dulunya ditumbuhi pepohonan, kini berganti dengan beton bangunan dengan dalih pengembangan pariwisata. Membangun semaunya dengan alasan sarana akomodasi pariwisata.

Seakan begitu ramah saat dijamah dengan bangunan mewah. Sepertinya tak kenal lagi peruntukkan atau aturan radius sempadan pantai. Di pinggir pantai sudah berdiri bangunan hotel, vila, restauran dan berjejer rumah makan. View yang layak dipasarkan, ada nilai jual.

View pantai di Kuta sudah tidak memungkinkan lagi, kini pembangunan bergeser ke wilayah Kuta Utara, Pantai Kerobokan, Canggu, Cemagi, Pererenan hingga Munggu sudah mulai berdiri bangunan, bahkan hingga rela membangun grip pengaman pantai.Kondisi ini tidak hanya terjadi di wilayah Kuta, Kuta Utara atau Mengwi, tetapi juga merambah wilayah Kuta Selatan.

Pantai Jimbaran kini menjadi pantai makanan, dengan maksud sebagai kawasan pariwisata kuliner. Begitu juga dengan Pantai Balangan. Tidak cukup sampai itu, space bentangan pantai, rencananya juga dibangun kawasan pariwisata dengan tarat internasional, seperti layaknya sebuah kota di Italia.

Belum lagi, kondisi di Pantai Geger, Kelurahan Benoa, Kuta Selatan yang dulunya asri. Air jernih membiru, surga wisatawan asing sebagai tempat berjemur di tempat sunyi. Namun seperti itu tinggal kenangan saja. Kenyamanan menikmati pantai itu mulai terancam. Sebuah mega bangunan hotel resor yang sempat ‘diributkan’ melenggang menjadi hamparan bangunan. Bergeser lagi, Pantai Nusa Dua, tepatnya Selagan Nusa Dua. Satu-satu pantai di kawasan Nusa Dua, yang elok dan nyaman dinikmati secara bebas juga sudah berubah. Bangunan restoran bertaraf internasional melaju seperti dipacu meskipun sempat memicu.

Bangunan-bangunan di pinggir pesisir pantai ini sebenarnya tak luput dari pelanggaran aturan. Banyak bangunan yang menerjang ketentuan jarak sempadan. Dalihnya pembukaan pantai dengan dalih melengkapi fasilitas wisatawan.

Pelanggaran demi pelanggaran tentu akan berdampak. Bangunan demi bangunan berdiri di tepi pantai tanpa dibatasi akan mengurangi potensi. Belum lagi kerugian jasa travel yang harusnya mengantar tamu ke lokasi pantai, kini tinggal di hotel saja. Bukan tidak mungkin, berpengaruh tingkat kunjungan. Wisatawan berpaling berpindah tujuan, mencari ‘simfoni tepi pantai’ yang masih alami.

Aturan dan ketentuan mulai dari Undang-undang hingga Perda yang sudah ada dan ditetapkan seharusnya benar-benar ditegakkan. Ketegasan instansi penegak aturan juga menjadi kunci proteksi terhadap kondisi pesisir pantai. Tidak ada lobi, atau tawar-menawar regulasi. (*)
Read More

Jumat, 03 Juli 2015

opera tiang pancang










ilustrasi/net


jam dinding di lorong itu menunjukkan pukul 23.00. serasa dekat tubuhku dengan bumi. aku berusaha meluruskan kaki. ku tarik selimut kusut. lalu ku peluk erat. malam itu semakin dini. perasaanku semakin menjadi-jadi.

semilir angin malam terasa dari celah-celah yang tak pernah ku tahu. menembus batas tubuh dan merasuk ke tulang-tulang. aku semakin menggigil. panas dingin bercampur pikiran tak karuan.

ah ini adalah takdir. di mana aku mati hari ini dan di sini. lagi-lagi suara-suara menusuk telinga. keheningan malam itu berubah keangkeran luar biasa. aku berada di mana bahkan tak terasa.

suara membuatku semakin merinding. desing peluru sepertinya. sudahlah ini takdirmu

bayangan tubuh berbaju lengkap menjemputku. memberiku jubah hitam tanpa pernah terpejam. berjalan hingga melintas batas. menuju tanah lapang penuh dengan darah. membawaku keheningan di ujung kematian. jauh tanpa pernah aku ceritakan. mata tertutup dan kaki dan tangan tetap diborgol.

cerita itu memberi isyarat. berdiri tegak menempel di tiang pancang. target di bagian dada kiriku dipasang. tujuh penembak jitu beregu di depanku. mengangkat AK-47 dan senapan serbu. tujuh atau delapan menit mengerang. dan menutup mataku.

tiba-tiba air mataku menetes. saat peluru itu meluncur menuju jidatku

sayang tunggulah aku di alam berbeda. sayang cintaku tak kan pernah berhenti di sini. sayang bawalah cintaku hingga aku mengenang. sayang cumbuilah aku sebelum jauh menunggu. sayang rawatlah anak kita.
tak usah kau ceritakan tentang perjalanan hidupku. tetapi didik dia agar tak sampai sepertiku

lamunan dan nostalgia tunggal menghilang begitu saja. suara bising kembali mengagetkan. aku semakin bercengkarama dalam ketakutan. semakin membayangkan semakin tak tahan.

ini takdir atau bukan? suatu hari ketika seorang rohaniawan menghampiriku. takdir ketetapan Tuhan atau tangan manusia? pertanyaan berulang. seperti menggigau atau sekadar bicara. tegar dan yakin iman akan menguatkanmu. harapan mujizat itu.

di luar sana foto terpajang di mana-mana. tersebar di seluruh penjuru. atau selfie mejeng denganku. gerakan mendukungku dan menolakku. bukan hanya dari saudara. dari mana saja penuh arti. mirip artis dan politisi.
selebihnya tak pernah ku tahu. apa yang mereka lakukan.

aku pun berujar dalam hati. sudah tutup mata. tak lama ku kira. harum semerbak. membawa kabar itu. apakah aku masih di dunia?

denpasar, 9 Maret 2015
Read More