ilustrasi/net |
Pemandangan itu tak
ubahnya selaras dengan alam. Pegunungan nan kering. Daun pohon jati berguguran.
Terjatuh dan terkulai di semak-semak kering. Jalan setapak itu masih lurus ke
arah barat. Begitu dengan sungai selebar sepuluh meter lebih. Bebatuan hitam
khas batu pegunungan. Tanpa ada gemericik aliran air. Gumpalan bening di ujung
daun setengah kering.
“Tak mudah mengingat yang
sudah berlalu. Apalagi yang sudah bertahun-tahun.” Pikirku sambil terus
melangkahkan kaki.
Sebatang pohon itu begitu
mengingatkanku. Tentang segala sesuatu yang tertuang dalam cerita lama.
Ungkapan tiba-tiba menggema. Seperti azan yang saling bersaut membangunkan
kabar pagi. Atau semarak pujian-pujian menyapa embun. Terdengar hingga pinggir
kampung. Surau.
“Salatullah Salamullah. Ala Thaha Rasulillah.”
Sayup-sayup kuingat
bait-bait lantunan itu. Kuingat betul dari suara. Pak tetua di surau itu. Setelah
berdiri sebagai tukang adzan, lalu bergegas membacakan pujian. Lantas ia berdiri
di samping dinding putih. Depan lubang tempat imam salat atau pengimaman berukuran tiga kali tiga
meter persegi. Lubang udara ukuran lima puluhan centimeter di kanan kiri. Ya, ia pun berdiri sebagai imam.
Batu-batu kali tertata di
pondasi. Menonjol hingga tak sebanding dengan dinding batu bata dengan pelekat
tanah liat. Satu per satu tampak meleleh diterpa musim penghujan. Merah menjadi
hitam.
“Kapan datang? Ke rumah Pak Kiai Sobari? Resepsinya Neng Jauhariyah.”
“Tidak. Aku pulang karena sewunan (1.000 hari kematian) bapak.”
“Ooo... memang tak diundang?”
“Tidak... tidak.”
“Kalau begitu, aku duluan. Sudah mulai acaranya.”
“Baiklah. Mungkin nanti aku menyusul.”
“Tidak. Aku pulang karena sewunan (1.000 hari kematian) bapak.”
“Ooo... memang tak diundang?”
“Tidak... tidak.”
“Kalau begitu, aku duluan. Sudah mulai acaranya.”
“Baiklah. Mungkin nanti aku menyusul.”
Tetua itu pun berlalu.
Aku masih berdiri di samping pengimaman
itu. Menunggu waktu berlalu. Di jalan setapak itu. Kulanjutkan melangkah kaki. Nama itu lantas membangkitkan memori yang telah ku pendam. Namun, tak pernah ku bisa melupakan kejadian itu. Meski telah berusaha berbagai
cara. Tak ingin tertahut pada peristiwa tahun-tahun itu. Musim hujan telah berganti
kemarau seperti saat ini. Tentang harapanku.
"Jauhariyah datanglah. Meski hanya sebentar.
Sekejap mata. Tanpa harus bersama selamanya. Atau sekadar bertatap mata. Akan
kuucapkan kata-kata terindah yang pernah kutuliskan. Aku begitu mencintaimu." Tanpa sadar. Aku benar-benar terbawa alam cerita.
Kuteruskan langkah.
Menuju samping surau itu. Masuk di pekarangan makam itu. Makam enam tahun yang
belum sempat kudatangi. Nisan kayu rapuh. Tulisan di nisan batu di samping pun
juga tak begitu jelas. Juga kijing-kijing nenek dan kakek buyut. Ku duduk
dengan posisi bersimpuh. Di depan nisan kayu.
“Aku sungkem bapak.”
Begitu terenyuh, menyentuh sedalam kalbu. Hati tak henti-hentinya menahan cerita lama itu. Air mata tak kusangka menetes mengalir di dinding pipi.
Begitu terenyuh, menyentuh sedalam kalbu. Hati tak henti-hentinya menahan cerita lama itu. Air mata tak kusangka menetes mengalir di dinding pipi.
“Biarkan aku meminta maaf
kepadamu. Biarkanlah aku tanggung semua peristiwa itu. Biarkan aku jalani hidup
sendiri ini. Tetapi maafkanlah aku. Begitu banyak dosa kepadamu.”
Aku tertunduh di depan
nisan itu. Membaca Surah Yasien
hingga Tahlil. Air mata terus berlinang
tak pernah kuundang. Suasana begitu sendu.
“Aku sekarang sudah
mengerti, kenapa kau dulu melarangku. Kusadari ini adalah perjalanan hidupku.
Biarkan aku jalani. Biarkan semua menjadi buah cerita. Dan maafkanlah aku.”
Cerita panjang melintas
di keheningan makam. Ku ingat meski tak utuh. Aku tersendat dari tertunduh.
Sembari menaikkan dagu. Kulihat di depan makam itu. Dua pohon bak bersenda
gurau. Menyembunyikan rasa gembira ketika diterpa angin. Langit mendung. Air belum
turun sampai di tanah. Tersimpan. Begitu juga dengan rasa di hatiku.
Namun, air hujan mulai
membasahi jatuh di tanah. Hembusan angin semakin kencang. Tak tampak dari mana
arahnya. Seperti kenangan itu. Datang dan pergi. Semakin terasa tetesan air
hujan itu. Dari alam yang berbulan-bulan dinanti.
“Hujan.”
Sesekali mendayu gemericik air hujan dengan cepat membasahi daun hingga dahan.
Merajut menetes di kulit batang pepohonan. Betebaran rasa bahagia. Aku kemudian berlalu.
Melangkahkan kaki masuk ke dalam surau. (*)
Denpasar, 2016
Trenyuh,
BalasHapusCerpen yg sederhana, namun menghanyutkan,
nopo leres lare cepoko??
Terimakasih apresiasinya. Nggih leres, kulo lare cepoko, sak niti teng Denpasar. salam kenal.
Hapus