Pages

Selasa, 18 April 2017

Politik Agama

Mengapa agama dibawa ke panggung politik? Ya tentu karena ikatan emosial yang paling mendasar dalam diri manusia sebagai individu dan kelompok. Praktik ini tidak hanya terjadi di satu agama atau kepercayaan tertentu, namun bisa saja semuanya. Jangan salah ketika ada seorang yang mengaku seorang beragama, beragama dan bernegara, atau bernegara melakukan pendekatan kepada massa melalui agama atau kepercayaan. Persamaan agama dan kepercayaan serta keyakinan seolah benang alat pengikat.
Nah,kalau dirunut lebih jauh maka terbuka lebar perselisihan politik menjadi faktor terbesar perselisihan dan perpecahan agama dan kepercayaan. Mari tengok lagi kisah-kisah dulu. Golongan Ali RA sebagai golongan agama, yaitu partai Syi'ah yang berpendapat agama menetapkan Ali dan keturunannya sebagai khalīfah. Lalu golongan Umawiyyin sebagai partai agama, mereka mengatakan kekhalīfahan Mu'awiyyah dan anak-anaknya telah disepakati ahlul halli wal'aqdi sebagai wakil rakyat. Bagi golongan yang tidak setuju dengan partai-partai tersebut maka membentuk partai agama juga, golongan Khawārij dengan doktrin-doktrin tersendiri. Belum lagi, partai Muhāyidīn sebagai partai agama dengan golongan Murji'ah yang mempunyai pendirian tentang khilāfah dan ajaran-ajaran.
Kiranya, perselisihan politik yang telah diwarnai agama inilah, membawa kepada perbedaan dalam mendefinisikan tentang imam, kufur, dosa besar, dan dosa kecil, tentang hukum orang melakukan dosa besar dan sebagainya. Setelah itu, mereka terbawa perselisihan sepanjang zaman di bidang usūl dan furū.
Masing-masing golongan mempunyai dalil yang menguatkan argumen bertindak. Kalau kita baca tulisan seorang kiai Gus Mus, maka dalil ini dijadikan dalih, dalih dicarikan dalilnya. Dalil sering digunakan orang bukan untuk dijadikan bukti atau alasan suatu kebenaran, melainkan dijadikan sekadar alasan untuk membenarkan sikap dan perbuatannya. Pihak-pihaknya yang saling berseberangan, masing-masing di hadapan lainnya, paling suka menggunakan dalil sebagai dalih. Bahkan tak jarang sebuah dalil yang utuh justru dipotong-potong untuk keperluan dalih itu. Maka tak heran belakang ini muncul politik fardu khifayah dan fardu ain. Satu melarang, satunya membolehkan, satunya mengharamkan, lainnya menghalalkan. Semuanya “atas nama tuhan” tetapi tidak dilanjutkan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Maka beruntunglah orang yang terus belajar. Belajar dengan masa bukan sekadar belajar instan. (*)
wallahu a’lam bishawab
denpasar, 17 april 2017
ilustrasi/lambang agama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar