Pages

Selasa, 28 November 2017

tuhan, garis tanganku berbeda


Subuh dingin menusuk tulang rusukku. Bus besar pengantar penumpang antarkota antarprovinsi datang menderu. Kubalikkan badan setelah malam, dini hari berlalu. Di ujung terminal Batu. Di depan pertokoan tempat berteduh. Bagai persinggahan malam-malamku.
“Kau tidak pulang?”
Suara serak-serak memulangkanku kepada suasana kala itu. 
“Entahlah.”
“Kapan lagi kau akan membahagiakan orangtuamu?”
Bagiku sudah cukup apa yang bicarakan. Aku sudah mengerti. Kau khotbah lah di masjid atau bila perlu kau naik di atas bukit Paderman. Aku telah merasakan semuanya. Getir manisnya kehidupan. Apalagi hanya berjalan dari kota satu ke kota lain. Atau pun tidur di teras toko lalu diusir pemiliknya.
“Kau telah sekarat dengan harta dan benda.”
“Ini harta dan benda yang kudapat atas usaha sendiri. Masa bodoh. Kau saja yang tak pernah merasakan begitu nikmatnya surga. Bukan, bukan, surga dunia. Aku dengan mudah memanggil para pelacur dengan uang berlimpah. Mau seharga Rp 10 juta atau ratusan juta.”
“Sudahlah kau pulang barang sejenak. Orangtuamu sedang sakit.”
“Aku sudah memerintahkan anak buahku. Sudah kemarin-kemarin. Aku juga sudah meminta supaya dirawat di rumah sakit. Dan ingat aku telah mengirimkan uang sesuai dengan keperluan obat dan perawatan.”
“Apalah artinya anak buahmu. Apalah artinya rumah sakit. Apalah arti uang bagi orangtuamu?”
“Sudah cukup. Kau tidak ada tahu apa yang ada jalan pikiranku. Garis tanganku berbeda dengan garis tanganmu. Apalagi kau sebut-sebut takdir tuhan.”
“Tidak usah kau bahas tentang itu.”
“Lalu kau akan ceramah lagi.”
Satu per satu balon kupompa. Warna putih, kuning, dan merah mengembang. Dan kuikatkan pada masing-masing tangkai. Tak lupa aku berikan gambar mata dan hidup. Tak lupa aku tempelkan gambar mulut tersenyum. Menyaksikanku.
“Kini kau datang lagi. Untuk apa? Menghinaku? Atau sekadar mengabarkan hidupku yang miskin dan terlunta-lunta.”
“Tidak-tidak. Tidak-tidak. Kau ternyata telah lupa.”
“Kau memang siapa? Bukankan kau?”
“Iya, aku adalah izrail.”
“Kau bercanda. Aku tidak percaya. Bukankah tuhan mengutusmu mencabut nyawamu sendiri?”
“Kau salah, aku hanya memberikan kabar. Kau ini manusia.”
Aku pun pergi. Aku kenal dengannya, tetapi lupa. Terlalu banyak pikiran. Satu hal yang kuingat ia berpesan: “tuhan garis tanganku berbeda.”
denpasar, 25 November 2017


Tidak ada komentar:

Posting Komentar