|
nasi bungkus jinggo/net/ilustrasi |
Musim yang aneh. Hujan
terasa panas. Hujan hanya pada jam tertentu di hari tak tentu. Panas menyengat.
Aku beranjak dari Lapangan Bajra Sandhi di Renon Denpasar. Seorang nenek kira-kira berusia 56 tahun berjalan penuh semangat. Menyusuri
jalan civic center kantor gubernur. Di atas kepala terdapat keranjang berisi nasi bungkus. Aku
mengenal nenek ini. Ia jujur, lugu, dan humor khas selalu membuat tersenyum. Supadmi begitulah nama yang dikenal di
kalangan pegawai.
Aku
beberapa hari ini membuntutinya. Sengaja, supaya tahu di mana nenek ini
tinggal. Ketika jam pulang pegawai, ia keluar menuju ke arah selatan. Terus ke selatan. Di mana ia tinggal, tak banyak
yang tahu. Aku sempat
bertanya kepada pegawai kantor gubernur yang kebetulan sangat akrab dengan
Supadmi, namun hasil nol. Mereka pun menjawab tidak tahu. Kalau pun ada
petunjuk. “Pokok rumah
paling pojok di kota ini.”
Akhirnya
aku memperoleh kesempatan bertemu dan wawancara dengan Supadmi. Aku bertanya
berbagai hal tentang nasi bungkus. Setiap hari, Supadmi mengaku bisa membawa pulang uang bersih minimal Rp 30 ribu. Supadmi kembali
menghitung uang itu. Nasi bungkusnya tak ia buat
sendiri sehingga ia menyetor uang
kepada pemilik nasi bungkus Rp 1.500 per bungkus. Bertahun-tahun ia bertahan berdagang nasi
bungkus. Supadmi mengaku ini bisa obat
mujarat menjalani sisa hidupnya.
“Dengan begini, bagi saya sudah cukup bahagia. Tentram hati dan hidup. Yang terpenting
hidup tidak merepotkan orang lain,” kata Supadmi.
Lantas
aku pamitan. Kami janji bertemu lagi dan mengambil gambar ketika Supadmi
jualan.
*****
Momen
tepat. Ada gejolak di kalangan penjual nasi bungkus. Pemicunya kebijakan
pemerintah yang semakin menjadi-jadi
mengenai pajak daerah. Demi mengejar target Pendapatan Asli Daerah (PAD),
pemerintah bakal menerapkan
pajak nasi bungkus. Aku
siap-siap mengambil gambar. Apalagi ada demo. Persatuan pedagang nasi
bungkus pun jelas tak terima. Kemudian mereka demo di depan kantor gubernur.
Demo pedagang
nasi bungkus masih berlangsung. Tetapi Supadmi seperti tak
menghiraukan itu. Supadmi tetaplah Supadmi. Ia memilih berjualan nasi
bungkus seperti biasa. Setelah dari kantor gubernur, ia
menuju taman. Menyapa para
petugas kebersihan. Bercanda dengan mereka
yang terlihat larut menyantap nasi bungkus.
“Bu Padmi tidak ikut demo?” tanya petugas kebersihan.
“Saya berdagang saja. Kalau
aku demo, terus pasukan pembersih taman siapa
yang membawakan makan?” jawab Supadmi sembari tersenyum.
Hari
itu tampak mendung. Langit pun mulai menghitam.
Tidak lama kemudian, air hujan mengucur. Tanah
kering mulai basah. Supadmi usai
melayani makan siang para petugas kebersihan langsung beranjak. Hujan deras
terus mengguyur di kota ini. Supadmi menghentikan langkah kakinya. Ia berusaha
menghindari guyuran air hujan pertama. Berhenti di pojok bawah bangunan tempat
parkir rumah makan mewah. Supadmi hanya tersenyum dan terdiam sendiri.
Sejalan kemudian, seorang laki-laki beruban keluar
dari rumah makan mewah itu. Saat hendak menaiki mobil, laki-laki itu tiba-tiba
berhenti. Mungkin saja, ia iba melihat
Supadmi yang sedang terjebak hujan. Laki-laki itu mendekati Supadmi. Hanya
beberapa menit pertemuan itu. Supadmi sepertinya
kenal. Entah apa yang mereka bicarakan. Namun tampak sekali, wajah Supadmi ekspresinya kesal. Bahkan Supadmi langsung
pergi. Tidak peduli hujan deras.
“Kenapa Ibu menangis. Mohon maaf bila ada gambar yang
tidak berkenan. Saya benar-benar minta maaf Bu.”
Aku mencoba menangkap apa yang terjadi di alam nyata.
Aku melihat Supadmi yang masih terbaring di keranjang tempat tidur yang terbuat
dari bambu itu. Aku memandang Supadmi dengan penuh pertanyaan. Terus terang
baru kali ini aku melihat seorang Supadmi menangis. Tentu perasaan serba salah
dan pertanyaan-pertanyaan bercampur-aduk. Sama sekali aku tidak menduga menjadi
seperti ini. Aku mencoba mendekati Supadmi.
“Tidak Nak. Tidak. Tidak.”
Supadmi mencoba ingin mengatakan sesuatu sambil menahan isak tangis dengan air mata yang tidak
bisa terbendung. Mengalir lurus melintasi kulit keriputnya. Sedangkan aku terus bertanya-tanya dalam angan. Aku bingung. Sama sekali tidak
menyangka bisa menjadi seperti ini. Selama ini Supadmi yang kukenal adalah
perempuan tahan banting. Penuh canda tawa dan selalu tersenyum kepada siapapun.
Atau setidaknya dengan film dokumenter yang ku buat ini bisa membuat Supadmi
tersenyum hingga tertawa terpingkal-pingkal. Menyaksikan tingkah-polahnya
sehari-hari. Sekadar memberikan contoh dan
menginspirasikan kepada orang lain.
Terlebih lagi, dengan
rekaman Supadmi ini membuat prestasiku menanjak. Rekaman kehidupan
sehari-hari Supadmi ini terpilih dan menjadi juara film dokumenter tingkat nasional. Beberapa bulan lagi,
film ini akan diputar di festival film
dokumenter di negara
tetangga.
“Tidak Nak. Tidak Nak. Nak tidak ada yang salah.”
Supadmi mencoba bergumam lagi, menyakinkan jika apa yang kubuat tidak ada yang
salah. Apalagi tidak mengenakkan
perasaannya. Tetapi air mata Supadmi terus menetes. Aku bingung. Sesekali aku melirik rangkaian rekaman
berdurasi 15 menit itu.
“Ibu tidak bisa mengobati luka hati ini. Terus saja terbawa hingga sekarang ini.”
Tiba-tiba Supadmi
mengatakan kalimat panjang. Ia menghela
nafas. Air mata sedikit demi sedikit mulai mereda.
“Ibu tak ada apa-apa. Tetapi
ibu masih ingat sekali dengan peristiwa
itu.”
Kebingungan semakin bertambah. Ia berusaha bangkit dari tidur. Aku mencoba membantu.
Rambut putih terurai tidak teratur. Supadmi berusaha ingin melanjutkan
bicaranya.
“Peristiwa apa Bu? Luka?”
Aku mencoba bertanya tentang
ketidakpahaman dengan beberapa kali perkataan Supadmi. Suasana gubuk
bambu di bawah bangunan rumah mewah ini semakin terasa.
Gubuk yang sehari-hari menjadi tempat tinggal Supadmi. Aku menghabiskan
waktu dua pekan mencari dan akhirnya menemukannya.
“Entahlah Nak.”
“Tetapi ibu kenapa
menangis?”
“Ibu hanya tiba-tiba teringat. Masa lalu
ibu yang membuat ibu
seperti ini. Ibu selama ini
berusaha melupakannya.”
Supadmi kemudian
menceritakan peristiwa itu. Air mata menetes di pipinya. Aku dengan seksama
mendengarkan.
“Kekecewaan ibu tidak bisa diobati. Hanya dalam hati, inilah takdir
yang harus ibu jalani.”
“ Ada apa sebenarnya, apa yang terjadi ibu?”
***
Terik matahari di luar gubuk terasa panas. Musim hujan
semi kemarau. Tak seperti tahun lalu pada
Januari, hampir setiap
hari diguyur hujan. Bahkan kami disibukkan banjir.
Selokan-selokan tidak mampu menampung air bercampur sampah. Bisa dipastikan air meluber di sepanjang
jalan Surapati, Hayam Wuruk. Tetapi sekarang?
Musim penghujan telah tiba. Namun itu beberapa hari saja. Hujan bak hanya
menyambut malam tahun 2016 lalu.
Hampir
dua jam aku berada di gubuk Supadmi. Rasa ingin tahu dan iba terus menyelimutiku. Sesekali
aku mencoba berkata atau bertanya.
“Nak.
Coba ulangi gambar yang tadi.”
Aku
lihat Supadmi mulai tegar. Sambil menata kain ia memperhatikan gambar-gambar
secara detail. Aku putar ulang. Tepat di gambar waktu Supadmi bertemu dengan
laki-laki itu.
“Iya itu, Nak.”
Langsung
kuhentikan.
“Tidak
salah lagi.”
“Siapa
Bu? Sepertinya Ibu kenal.”
“Laki-laki yang
mendekati ibu tadi adalah orang mengajak ke kota ini.”
Supadmi mulai membuka diri. Wajah sedih berubah
menjadi keriput-keriput kekecewaan. Aku mulai sadar, sepertinya ada kenangan
pahit masa lalu Supadmi. Aku terdiam.
“Lelaki itu bernama Sumarlan. Katanya dia sekarang
menjadi sopir pribadi. Saat aku masih
berusia 20 tahun antara ibu dan Sumarlan saling mencintai. Tetapi hubungan ini tak direstui orangtua ibu dan Sumarlan.”
Supadmi mengerutkan keningnya dan melanjutkan.
“Sebenarnya ibu sudah cukup. Banyak pertimbangan yang
menganjurkan ibu berpisah dengan Sumarlan. Tetapi entahnya, ibu mengikuti
Sumarlan. Kabur dari rumah hingga sampai
di kota ini.”
“Tetapi itu tidak berlangsung lama. Ibu mulai ragu
dengan Sumarlan. Itu karena hampir dua minggu dia tidak datang ke sini. Ibu selalu menunggu kedatangannya. Ibu harus mencari
pekerjaan untuk makan sehari-hari.”
“Selama tiga bulan di sini, belum mendapatkan
pekerjaan. Mencoba melamar tetapi belum
diterima. Begitu juga dengan Sumarlan.”
“Yang membuat ibu kecewa lagi. Pada suatu malam,
Sumarlan mengambil barang-barangnya di sini. Tanpa ada kata,
langsung pergi begitu saja. Ibu mencoba bertanya, tetapi sama sekali tidak
dihiraukan. Pergi begitu saja.”
Air
mata Supadmi kembali menetes. Aku tertegun mendengarkan cerita itu.
“Tak
lama setelah itu, Ibu melihat Sumarlan sudah
bersama dengan perempuan lain.”
Supadmi terus menceritakan hubungannya dengan Sumarlan. Bahkan sebenarnya telah sampai hal yang intim.
“Apapun ibu lakukan,
hingga ibu pernah bekerja di kafe
malam. Setelah cukup punya uang,
saya keluar. Kemudian membeli kebutuhan tinggal di sini. Makanya, saya sangat kecewa sekali
dengan dia. Tetapi semuanya telah
terjadi. Saya tercipta perempuan yang biasa menanggung.”
Air mata Supadmi terus menetes dari celah sudut mata. Supadmi menceritakan, kenapa jika ditanya tempat tinggal selalu
disembunyikan. Alasan agar para pelanggan kafe malam tidak mencarinya.
“Perjuangan mencari sesuap nasi.
Kemauan, tekad, dan semangat
Supadmi mengarungi perjalanan hidup. Tidak mudah tetapi dia jalani dengan penuh
kesabaran. Kritik dan saran membangun kami harapkan. Sampai
jumpa.”
Film dokumenter
perjalanan pedagang nasi bungkus telah usai. Aku membereskan laptop dimasukkan
dalam tas.
“Ibu, saya sangat terimakasih. Ibu telah membantu
saya. Ibu telah membuat saya
mengukir prestasi.”
“Ibu tidak pernah
merasa membantu Nak. Ibu yang terimakasih, mau berkunjung ke sini.”
Tanpa berkata, Supadmi kemudian beranjak dari tempat
tidurnya. Sambil tergontai, tangan memegangi tongkat di sebelah tempat
berbaringnya. Ia lantas berjalan dan mengambil nasi bungkus yang masih tersisa satu
bungkus saja.
(*)
Denpsar, 2016