|
Indra Sjafri/kompas.com |
(Belajar Teori Kambing Hitam Sepak Bola dari Indra Sjafri)
Tanggal 2 November 2014 mungkin menjadi momen yang dibenci pencinta
sepak bola Indonesia. Angka tersebut tentu masih diingat manajer Bali United
Indra Sjafri. Ada apa dengan Coach
Indra? Bukankah sekarang juga November? Tunggu dulu.
Jauh sebelum Indra Sjafri, ada nama Otto Rehhagel. Ia adalah sosok di balik kesuksesan sepak bola “Negeri
Para Dewa” Yunani. Kisah itu disebut-sebut sepak bola pragmatisme mengalahkan
filosofi Total Voetball ala Belanda, Jogo Bonito indah khas Brasil, Catenaccio di Italia, dan tiki-taka Spanyol.
Euro 2004 selalu diingat pandit dan penggemar sepak bola. Jagat
bola dikejutkan dengan tim underdog
Yunani. Tim yang sama sekali tak diperhitungkan pada ajang sepak bola paling
bergengsi di “Benua Biru” ini akhir mengangkat trofi.
Pria asal Jerman itulah yang mengubah segalanya. Tim strata bawah
mampu menjungkirbalikkan fakta hitung-hitungan di atas kertas. Rehhagel menciptakan
permainan praktis dan sepak bola efisien. Tim sering dijadikan lumbung gol bagi
lawan-lawannya berubah menjadi skuat dengan pertahanan sangat kuat.
Namun sapa sangka, sebelum kesuksesan itu tiba, Rehhagel menunai
kritikan dan cemoohan. Datang ke Yunani pada 2001 dengan track record sebagai pelatih sukses dengan dua gelar Liga Jerman
dan gelar Piala UEFA bersama Werder Bremen. Ia menjalani debut dalam laga uji
coba pertamanya bersama tim Yunani melawan Finlandia. Anak asuh Rehhagel dipermak
dengan memalukan 1-5 oleh Finlandia. Media di Yunani menerbitkan berita berjudul
“Selamat Tinggal Pelatih Hebat!” waktu
itu. Tiga tahun kemudian, Rehhagel berhasil menularkan ilmu bermain sepak bolanya
kepada pemain Yunani yang masih muda dan keras kepala. Rehhagel sukses menorehkan
tinta emas, Yunani juara Euro 2004.
Namun setelah itu, Rehhagel tidak berhasil meloloskan Yunani ke
Piala Dunia 2006. Meski sukses meloloskan Yunani di Euro 2008, toh dipecundangi Swedia dan Rusia di dua
laga penyisihan. Publik sepak bola Yunani menuntut Rehhagel mengundurkan diri
atau dipecat, meski kontraknya hingga 2010. Namun, federasi berkehendak lain, mempertahankan
hingga ia resmi mengundurkan diri pada 2010.
Berbeda dengan Indra Sjafri yang justru langsung dipecat PSSI sebagai
pelatih Timnas U19 meski kontraknya hingga 2015. Tepat pada Senin (2 November
2014) malam. Padahal, kontrak Indra Sjafri timnas U-19 berakhir pada tahun 2015. Keputusan itu, setelah pelatih yang
dikenal dengan filosofi pendek-pendek-panjang (pepepa) gagal mengantarkan Evan
Dimas dan kawan-kawan ke ajang Piala Dunia U20 di Selandia Baru 2015 lalu. Juga
posisi terperosok di dasar klasemen grup B Piala Asia U-19 di Myanmar (Oktober
2014). Anak asuh Indra Sjafri menelan tiga kali kekalahan dan 0 poin.
Hitung-hitungan Indra Sjafri telah sukses mempersembahkan trofi Piala
AFF 2013 U-19 tak jadi pertimbangan. Apalagi prestasi meloloskan Timnas U-19 ke
putaran final Piala Asia. Nama-nama dan skuat Garuda Jaya melejit. Undangan
dari mana-mana bak artis. Pujaan pencinta sepak bola seperti menemukan pahlawan
baru. Masyarakat menyanjung pasukan Garuda Muda setinggi langit. Ada banyak cacatan-catatan
itu bisa dijadikan tolok ukur, namun
catatan “miring” itu sudah cukup sebagai kambing hitam melengserkan Indra
Sjafri. Dan Indra tetap dipecat.
Banyak pelatih, pemain, wasit, penonton, rumput, dan tanah lapangan
yang merasakan menjadi kambing hitam. Nama-nama pelatih besar pun tidak menjadi
jaminan aman dari praktik kambing hitam. Tak heran, jika Simon Crosby di tahun
2001 menuturkan gejala kambing hitam memang terjadi di mana-mana. Keluarga, lingkungan
tetangga, sekolah, tim, klub, organisasi, dan negara, karena gejala itu
bersumber dari kecemasan.
Mari kita telusuri kambing hitam itu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kambing hitam /kam·bing hi·tam/
merupakan kata benda kiasan yang berarti orang yang dalam suatu peristiwa
sebenarnya tidak bersalah, tetapi dipersalahkan atau dijadikan tumpuan
kesalahan.
Dalam khazanah Sosiologi, kambing hitam termasuk teori yang juga
dikenal dengan teori scapegoating.
Teori ini sudah mengemuka pada zaman Romawi silam. Dasarnya individu tidak bisa
menerima perlakuan tertentu yang tidak adil, maka perlakuan itu dapat
ditanggungkan kepada orang lain. Bagaimana Hitler mengkambinghitamkan orang
Yahudi sebagai penyebab rusaknya sistem politik dan ekonomi negara ketika Jerman
mengalami depresi di tahun 1930-an.
Lantas di abad ke-19 juga terjadi praktik pengkambinghitaman.
Adalah orang Amerika mengkambinghitamkan orang Islandia sebagai sebab
kemiskinan, kriminal, dan korupsi politik. Seperti dalam tulisan Prof Dr Alo
Liliweri, MS “Prasangka dan Konflik” ketika orang Islandia bertambah maju dan
sukses, maka kambing hitam itu diarahkan kepada orang Jerman, orang Polandia,
Tiongkok, dan Jepang.
Sosiolog Bettelheim dan Janowitz di tahun 1964 pernah melakukan
studi prasangka yang menyebutkan kambing hitam merupakan bagian dari teori
prasangka pada tingkat makro bersama teori eksploitasi. Atau dalam bahasa
sehari-hari kambing hitam berasumsi frustasi merupakan sebab suatu prasangka. Spacegoating lebih menekankan berbagai
kesalahan yang muncul dalam suatu masyakarat dapat ditimpakaan atau dialihkan
kepada kelompok tertentu.
Kambing hitm merupakan eksplanasi dari pendekatan kultural, namun
sebagian mengganggap sebagai pendekatan psiko-dinamuk. Dalam praktik kambing
hitam mempermasahkn orang merupakan bentuk pengalihan kesalahan orang lain.
Tindakan mengkambinghitamkan orang lain merupakan bagian dari kultur, sehingga
sering disebut drama triangle concept
(Karpman). Kambing hitam juga bisa bentuk pertahnan diri (self-mechanism).
Studi keduanya juga menemukan mobilitas ke bawah (perubahaan status
yang lebih rendah) selalu dicurigai daripada mobilitas ke atas. Jadi ukuran performance menurun, statistik anjlok,
maka jadi sasaran empuk kambing hitam karena setiap masyarakat, selalu ada
orang atau kelompok orang yang dikorbankan untuk mendapat perlakuan tidak adil.
Kambing hitam layak disematkan dalam teori-teori konspirasi dan ini realitas
sosial. Menurut Spengler dan Toynbee ini merupakan siklus yang mempunyai
ulang-ulangan (recurrent pattern)
untuk jatuh banguannya peradapan. Lalu bagaimana dengan Indra Sjafri?
19 Desember 2014 Indra Sjafri meneken kontrak resmi sebagai pelatih
Bali United (waktu itu masih Bali United Pusam). Kabar yang mengejutkan ketika
Indra Sjafri menyetujui durasi kontrak lima tahun. Alasannya ia mau bergabung
dengan klub profesional memiliki kesamaan visi dan misi terutama pembinaan usia
muda.
Antusias merintis tim dengan semangat mengorbitkan pemain muda dan
pemain lokal. Ia menyadari memberikan kepercayaan penuh kepada pemain muda
dengan segala risikonya. Lalu mengkombinasikan semangat pemain dengan
mendatangkan duo pemain Korea Selatan, Yoo Jae Hoon (kiper Persipura) dan Dae
Won Ha (bek). Bali United benar-benar mampu mengobati dahaga pencinta dan
masyarakat sepak bola Bali. Indra Sjafri dan pemainnya layak didukung dan
ditonton. Bayangkan Stadion Kapten I Wayan Dipta dengan kapasitas 40.000 penuh.
Rekor jumlah penonton di stadion yang dulu dijadikan home base Persegi Bali FC dan Bali Devata FC. Semeton Dewata (julukan
suporter Bali United) dan masyarakat berbaur memerahkan stadion Kapten Dipta.
Bali United mengikuti Liga Super Indonesia (LSI) sebelum kemudian
dihentikan di tengah jalan. Meski demikian, Serdadu
Tridatu (julukan Bali United) aktif latihan dan mengadakan dan mengikuti
turnamen. Hasilnya peringkat II sunrise
of Java Cup 2015, peringkat IV turnamen Piala Bhayangkara 2016, Peringkat
II Trofeo Persija, dan Juara Trofeo Bali Celebest 2016. Selama 2015-2016 anak
asuh Indra Sjafri menunjukkan statistik di laga uji coba dan turnamen sebanyak
17 kali menang, 7 seri, dan 20 kalah.
Sedangkan di Indonesia Soccer
Championship (ISC) 2016 ini, Bali United sudah sebanyak 26 main, 7 menang,
8 seri, dan 11 kalah. Pasukan Indra Sjafri mengumpulkan 29 poin, dengan 23 gol,
38 kebobolan sehingga posisi 12 di klasemen sementara. Catatan penonton
sebelumnya pernah 10.003 pada pekan ke-4 saat Bali United menjamu Semen Padang
yang berakhir dengan kemenangan 2-1. Juga pada laga pekan ke-6 saat Bali United
meladeni Persela Lamongan dengan skor akhir 3-1 ditonton 15.133 orang.
Rata-rata penonton pun masih di atas 5.000. Kira-kira apa dan siapa kambing
hitamnya?
Belakangan ini, memunculkan spekulasi Indra Sjafri bakal didepak.
Suara lantang dari sub suporter menghendaki Indra Sjafri diganti. Menuntut
mundur Indra Sjafri jika tak kunjung anak asuhnya memenangi laga dan meraup
tiga poin. Fadil Sausu dan kawan-kawan pun ternyata tak kunjung menang. Apakah
kontrak Indra Sjafri diakhiri dan diganti dengan pelatih lain?
Toh, sepak
bola tak melulu tentang menang dan kalah atau sekadar catatan di papan skor. Dalam
sepak bola sudah masyhur dengan super hero dan anti-hero. Percis, dalam hukum sepak bola ada yang dipuja-puja dan dicampakkan.
Juga habis manis sepah dibuang. Sepak bola tak terhindar dari praktik
konspirasi. Bukankah sepak bola adalah permainan? Konflik muncul tak masalah
bagian dalam agenda. Kambing hitam menjadi alasan tergampang mengambil
keputusan. Pemecatan pelatih, keputusan transfer pemain, kontrak pemain, dan
banyak lagi dengan ukuran like and
dislike sudah biasa. Apalagi kalau berhitung soal keuntungan, tentu menjadi
pertimbangan utama dalam industri sepak bola. Banyak penonton dan sponsor.
Hegel dan Marx memandang perkembangan tahapan sejarah merupakan
hasil konflik yang meningkat melampaui waktu. Lalu begitu jelas George Herbert
Mead, “kehidupan sosial dapat dipahami sebagai suatu proses dan setiap kejadian
selalu mengandung waktu lampau, sekarang, dan yang akan datang.” (*)
Denpasar, 6 November 2016