Selasa, 26 April 2016

abjad

abjad-ilustrasi/net


‪#‎abcd‬ 
aku tahu kau tak pernah nalar
buku tipis nan senja
alala 
aqidatul awam
atau kah 
hanya syifaul jinan

‪#‎efgh‬ 
aku tahu kau ingin cepat dianggap bisa
tetapi ilmu alat kau tinggalkan begitu saja
kau lupa al jurumiyah
apalagi imriti
bahkan kau tak paham mutamimah
atau barangkali akalmu tak kuat
menghapal 1.000 nadham al fiyah

‪#‎ijkl‬
aku tahu kau sedang bermunajat
berdoa sepenuh hati kepada Tuhan
sejak dini hari tadi hingga malam hari ini
berharap pada kodrat ampunan
bantuan lalu hidayat

‪#‎mnop‬ 
aku tahu kau sedang muhasabah
melihat tubuh diri penuh duri

‪#‎qrst‬
aku tahu kau sedang thalabul ilmi
mengulang dari awal tentang Tuhan
lurus syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat

‪#‎uvwx‬
aku tahu kau kini paham tentang manusia

‪#‎yz‬
ya aku tahu kau

denpasar, 2016
Read More

Jumat, 22 April 2016

Kartini dan Budaya Literasi

ilustrasi-net

Catatan Sebuah Peringatan

Pagi begitu cerah pada Kamis (21/4/2016). Di televisi tampak para presenter dengan centil dan keibu-ibuan mengenakan pakaian perempuan masa lalu. Ya dengan kebaya dan konde dibalut dengan lipstik. Mereka bercerita dengan penuh semangat. Hari ini adalah Hari Kartini. Hari peringatan pejuang emansipasi perempuan Indonesia.

Masih pagi kemarin, berbagai instansi mengharuskan pegawai dan karyawannya mengenakan kebaya. Di sekolah-sekolah pelajar beradu lenggak-lenggok bak peragawati di atas karpet dengan busana perempuan di zaman RA Kartini.

Tak mau kalah, istri pejabat sekelas gubernur dan bupati ramai-ramai pamer memasang pariwara berupa tulisan kegiatannya bersama masyarakat. Juga tulisan yang intinya mengajak perempuan harus meneladani perjuangan Kartini. Apalagi para bupati perempuan tak dengan penuh semangat sebagai perempuan harus emansipasi seperti yang dicontohkan RA Kartini. Begini-begini, paling tidak saya sudah mengejawantahkan sebagai Kartini masa kini. Tak sedikit mereka disebut-sebut sebagai Srikandi. Apa memang ada hubungan antara Kartini dengan Srikandi?

Tidak ada yang salah. Mereka telah melaksanakan dari pada tidak sama sekali. Ada ingatan bahwa Indonesia memiliki tokoh dan pejuang perempuan. Semua dalam rangka membungkus peringatan Hari Kartini. Pada tanggal dan bulan itu atau 21 April 1879 lalu Kartini dilahirkan.

Ulasan dan biografi tentang RA Kartini tak sulit ditemui karena hari itu menjadi trending topic.  Di antaranya, RA Kartini di lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21 April 1879 dan meninggal di Rembang, Jawa Tengah pada 17 September 1904 atau pada umur 25 tahun. Ia kemudian ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

Kartini hidup di lingkungan kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa. Umar Kayam begitu detail menjelaskan siapa priyayi dan abangan dalam novelnya Para Priyayi. Intinya kalau secara garis keturunan diistilahkan ‘darah biru’atau wong pengede. Kartini putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara dan ibunya MA Ngasirah, putri Nyai Haji Siti Aminah dan Kiai Haji Madirono. Jika garis silsilah Kartini dilacak akan sampai pada Hamengkubuwana VI dari garis keturunan Bupati Sosroningrat, bahkan bisa ditilik ke istana Kerajaan Majapahit.

Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV diangkat bupati dikenal sebagai bupati pertama yang memberi pendidikan Barat kepada anak-anaknya. Kartini juga mendapatkan kesempatan karena diperbolehkan mengenyam pendidikan meski hanya usia 12 tahun di Europese Lagere School (ELS). Kartini belajar bahasa Belanda.

Setelah usia 12 tahun Kartini tidak boleh melanjutkan sekolah. Ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit. Namun ini kesempatan bagi Kartini mengembangkan diri. Ia pun belajar sendiri. Ia pun menulis surat-surat yang ditujukan kepada teman-teman korespondensi dari Belanda. Satu di antaranya Rosa Abendanon.

Tulisan surat Kartini hingga melegenda sampai sekarang. Surat Kartini memuat isu-isu sosial, budaya, dan agama.  Ia sungguh-sungguh membaca buku-buku, koran, dan majalah Eropa yang menjadikannya tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Ia membaca Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli. Juga De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Karya Van Eeden, karya Augusta de Witt, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata).

Kartini juga membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft. Kartini waktu itu juga menerima leestrommel. Di antaranya majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie. Ia lantas memiliki niat memajukan perempuan pribumi. Apalagi zaman itu, ia melihat perempuan pribumi berstatus sosial rendah. Tidak hanya soal emansipasi perempuan, namun masalah lain.

Setelah membaca, Kartini pun kemudian menulis tentang pemikiran progresifnya. Bahkan ia beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De Hollandsche Lelie. Kartini juga rajin membuat catatan-catatan. Kartini pun jujur dalam mengutip kalimat di karangan. Tentunya analis tentang tulisan yang ia dapatkan. Kajian struktural dan pragmatik membaca karya sastra. Kajian fungsi dan selalu mencermati apa yang ia baca. Kumpulan korespondensi Kartini dibukukan penulis Armyn Pane dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang.

Kartini tidak mau hanya menerima tak kajian. Bahkan kitab suci Al quran yang zaman itu hanya dibaca dengan Bahasa Arab, tanpa dimengerti isinya. Al quran ‘haram’ diterjemahkan dan ditafsirkan dengan bahasa Jawa. Kartini bertemu Kiai Sholeh Darat guru mengajinya dan ia pun bertanya kitab suci hanya dibaca tetapi tidak dimengerti. Kiai Sholeh Darat tergugah menerjemahkan Al quran dengan bahasa Jawa meski ditulis dengan tulisan arab pegon, yaitu teknik penulisan kalimat berbahasa Jawa menggunakan huruf hijaiyyah. Kitab tafsir dan terjemahan Al quran diberi nama Kitab Faidhur-Rohman, yang menjadi kitab tafsir pertama di Indonesia dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab.

Baca dan tulis bagi Kartini mempunyai kekuatan yang luar biasa. Budaya literasi yang ia contohkan begitu jelas. Dengan membaca pemikirannya menjadi terbuka. Wawasan tidak hanya lokal, namun mampu mengetahui dan menyelami pemikiran, kebudayaan negara lain. Kartini menuturkan secara rapi. Bagaimana ia mengubah kebudayaan yang merendahkan perempuan pribumi. Memperjuangkan hak-hak perempuan setara kaum laki-laki. Tentang emansipasi.

Banyak pemikirannya melalui tulisannya diterima orang lain. Bahkan tulisan dan pemikiran Kartini bisa dibaca dan diterapkan meski zaman telah berganti dan sekarang. Tulisan Kartini menjadi risalah dan rujukan. Tulisan mampu mengubah segalanya.

door duisternis tot licht//dari kegelapan menuju cahaya//habis gelap terbitlah terang//mina dzulumati ila nur #SelamatHariKartini (*)
Read More

Selasa, 19 April 2016

kabar langit

ilustrasi-net

jiwa-jiwaku 
biarkan air mata menetes di lautan kebahagian 
tak perlu kau cari apakah air mata duka atau cita 

air mata adalah luruh kepedihan 
curahan kepahitan dan nestapa
di tengah hari berkabung 
di saat sukma lara bermuram durja

jiwa-jiwaku 
biarkan keringat meleleh 
membasahi padang mahsyar
aku tahu kau sedang lesu

tutuplah kepedihan
sambut kehangatan 
selimut sayap malaikat
berhias tali kasih rasul

jiwa-jiwaku 
kau patut di tempat lebih mulia 
dari pada kerajaan emas mu 
rawa firdaus 
atau ‘adn 
atau naim 
atau ma’wa 
atau darussalam 
atau darul muqamah 
atau al maqamul amin 
percikan permata putih
atau marjan merah dan kuning khuldi

*****

derita hati dan jiwa
sedih adalah benih. nestapa adalah kuncup. pedih adalah jernih. susah adalah bunga. pilu adalah ujian.
duka adalah cerita. merana adalah jiwa. prihatin adalah batin.
kemalangan adalah pengungsian. keheningan adalah pelepasan. kehampaan adalah pujaan.
kebaikan adalah taman. kejelekan adalah hutan. kebajikan adalah kunci. keburukan adalah nyata.
jiwa tanaman, napas hewan, nyawa manusia akan kembali. ruh nabi dan rasul memuji. malaikat pencabut ajal mengepak di langit mimpi.
aku, saya, daku, kami atau kita. begitu juga kamu, anda, engkau, kau, dikau, atau kalian. juga dia, beliau, ia, atau mereka.
kehidupan adalah jalan.
kematian adalah penyesalan.
dan penderitaan.
denpasar, 2016
Read More

Senin, 21 Maret 2016

Surat Buat Shezan

ilustrasi/net


Shezan,
Setengah perjalanan kita belum berakhir. Kita merasa sepertinya tak pernah berlalu begitu saja. Semuanya telah terlewati bersama. Badai, gelombang pasang, panas terik matahari hingga bulan tersenyum. Tak harus menunggu hingga akhir usia. Biarkan pandangan mata menjadi buah realita yang tak sulit diterka.
Musim terus berganti dari tahun ke tahun. Mengerti dari hari ke hari. Sepertinya tak mudah disambung lagi. Tanpa sebab yang jelas. Membuai membisu hingga terlena tanpa makna. Kita seperti masih terbalut dalam mimpi. Tak pernah ada dalam bentuk apapun. Salahsatu bukti sebuah kejadian menyebut kenangan. Dua hari atau empat hari tak mampu mendulang sebuah kata-kata.

Shezan,
Aku pikir hari ini adalah waktu yang tepat. Aku akan katakan kepadamu tentang segalanya. Meski aku bukan Kahlil Gibran. Atau seorang William Shakespeare yang mampu berkisah penuh drama tentang Romeo dan Juliet. Aku berharap jangan sampai cerita dan cinta kita tenggelam bak Kapal Van Der Wijck.
Dalam benah kita ada cinta yang tak pernah terungkap. Merajut tanpa batas bertepian. Selanjutnya menolehkan kepala tanpa sedikitpun mencuatkan rasa. Setelah dari semula yang ada. Bertolak dari semua yang terjadi. Menghilang tanpa jejak. Bersenda gurau jenaka tanpa angka. Kemelut tanpa bayangan semu.
Kita tak harus meluapkan rasa. Menimbulkan rasa curiga tanpa makna. Sepertinya menepi sembari menembuskan apa yang sudah terjadi. Meski di ranah yang tak pernah nyata. Sembari menerbitkan apa yang sudah terjadi. Dalam angan tak harus menanti keputusan. Menerima apa yang terjadi. Sendiri tanpa rasa. Membuat apa yang sudah terjadi mengubah hidup menerima apa adanya. Merasa seperti yang sudah menjadi bagian dari seluruh yang ada.

Shezan,
Marilah kita arungi cinta dan cita ini dengan tanpa penuh canda dan tawa. Sepertinya sudah berlangsung hingga mengetengahkan episode. Sanggup mengulang-ulang. Sepi biarlah berlalu berganti senyum gembira.

Shezan,
Mari kita luruskan. Melukiskan sepanjang umur ini. Mencoba menggali apa yang sudah terkubur dalam sebuah kenangan. Tak patut diungkap, tetapi biarlah menjadi sebuah catatan perjalanan. Bermimpi penuh angan dan tawa. Bersedih meretas cinta dan cita. Dulu hingga sekarang. Rangkaian cerita membujuk kita. Jangan ulangi kegembiraan ini berubah seketika menjadi tangisan kepedihan. Tetapi tangisan biarkan seketika hilang. Malam telah larut mulai merajut. Mimpi nyata tak pernah terbayangkan. Biarkan semuanya terkubur bersama keheningan malam itu. Kita bisa berpijak pada waktu yang sangat hampa sekalipun. Mengerti sebuah percakapan malam itu. Perpindahan tak pernah terlupakan. Menjalin cerita baru, meski dalam suasana yang berbeda. Sederhana.

Shezan,
Purnama. Begitu tampak terang benderang. Angin malam. Sembari menepi di jalan penuh dengan lintasan panjang. Berikut kita bangun sayap-sayap malam. Kemudian mengucur air dingin di buaian. Tak sampai mengerdipkan mata berganti menjadi embun. Hati dan cemburu menjadi satu. Ia adalah hiasan belaka. Kabar gembira datang dan pergi. Begitu kepedihan tak begitu mudah terlewati. Peredaran waktu menghilang. Sama seperti yang sudah atau sedang.

Shezan,
Malam telah larut. Mari kita sambut dan perhatikan titik-titik hari kemarin atau lusa. Menafsirkan keberadaan hari ini. Aku masih berharap esok tak seperti kemarin. Sampai pada waktu yang tak pernah terduga. Tak pernah mengerti apa yang terjadi. Itu hanya kabar burung. Alangkah bahagianya menjadi bagian yang tak pernah terlupakan.
Mencari kehidupan tidak ada untung atau rugi. Tanpa paham dan pengertian. Mencari masalah paling dasar. Kita bungkus dalam alunan sanubari, lalu kubur bersama-sama. Kalau saja tanpa seberkas cahaya. Menolak tanpa batas. Sendiri berjibaku dalam suasana yang tak kunjung padam. Sesekali akan terbawa dalam sebuah ilusi. Bahagia, duka, dan gembira bergerak mencari bukti tanpa kata. Berbahagialah meski hanya sebatas kata. Nikmatilah meski hanya sekejap mata. Kedukaan akan tergerus batas waktu dan usia. (*)


Denpasar, 2016
Read More

Selasa, 15 Maret 2016

Negeri Usap Asap

antara/net

Negeri usap asap. Sudah biasa kami bercanda asap. Sudah biasa pula kami hirup. Toh kami sudah biasa hidup. Jangan heran, karena kami di negeri asap.

Negeri usap asap. Sudah biasa kabut asap jadi selimut sekujur tubuh. Terbang ke mana-mana. Merambah pelosok desa, kota, lalu negara tetangga. Hantu ISPA? Kami coba tenang, karena kami sadar berada negeri asap.

Negeri usap asap. Secangkir air mengobati rasa kekecewaan tiada akhir. Secarik kertas mengatakan akan tuntas. Bala bantuan dikerahkan. Tetapi tenang, karena kami berada di negeri asap.

Negeri usap asap. Mengabarkan tentang mereka. Janji menghembuskan petuah Menggambarkan pesan tanpa tangan. Kepada kami yang telah dirundung derita. Duka penuh cerita. Tentang yang tak pernah bersambung apapun. Tentang mimpi kami. Tidur dipangku dan dininabobokkan ibu. Tak terbangun dari petang hingga malam hari. Berikut dini hari tiba. Bahkan pagi menyapa. Tidur di dataran negeri asap.

Negeri usap asap. Membedah belum sampai pada titik terdalam. Lalu menguncang-guncang tak sampai terdiam. Tak kunjung padam. Mereka tak pernah mengerti. Bahkan apa yang sebenarnya terjadi. Mereka bak menuruti petunjuk orang buta. Mendengarkan cerita dari seorang tak pernah menyapa. Mereka baca dari catatan kecil di atas kertas. Tapi tenang, ini biasa terjadi, karena kami hidup di negeri asap.

Negeri usap asap. Semuanya musnah terbakar bersama tulisan pagi hari tadi. Kami benar-benar tak bisa mendekati masa indah dan bersemi. Mereka sekonyong-konyong menepuk dada lantas bersiul. Berparas tanpa pernah menepati. Mengumpulkan catatan bekas. Juga berkas lantas pergi. Tapi tenang ini sudah lazim, karena kami hidup di belantara negeri asap.

Negeri usap asap. Kami menanti gelapnya tengah malam. Menunggu diselimuti dinginnya dini hari. Menjemput sorot silau pagi hari. Menunggu bayangan sejajar di tengah terik matahari. Dan seperti biasa tak ada apa-apa. Maklum kami hidup di negeri dongeng asap.


denpasar, 2016
Read More

Kamis, 03 Maret 2016

Subuh Tenggelam


ilustrasi/net

Pemandangan itu tak ubahnya selaras dengan alam. Pegunungan nan kering. Daun pohon jati berguguran. Terjatuh dan terkulai di semak-semak kering. Jalan setapak itu masih lurus ke arah barat. Begitu dengan sungai selebar sepuluh meter lebih. Bebatuan hitam khas batu pegunungan. Tanpa ada gemericik aliran air. Gumpalan bening di ujung daun setengah kering.

“Tak mudah mengingat yang sudah berlalu. Apalagi yang sudah bertahun-tahun.” Pikirku sambil terus melangkahkan kaki.

Sebatang pohon itu begitu mengingatkanku. Tentang segala sesuatu yang tertuang dalam cerita lama. Ungkapan tiba-tiba menggema. Seperti azan yang saling bersaut membangunkan kabar pagi. Atau semarak pujian-pujian menyapa embun. Terdengar hingga pinggir kampung. Surau.

Salatullah Salamullah. Ala Thaha Rasulillah.

Sayup-sayup kuingat bait-bait lantunan itu. Kuingat betul dari suara. Pak tetua di surau itu. Setelah berdiri sebagai tukang adzan, lalu bergegas membacakan pujian. Lantas ia berdiri di samping dinding putih. Depan lubang tempat imam salat atau pengimaman berukuran tiga kali tiga meter persegi. Lubang udara ukuran lima puluhan centimeter di kanan kiri. Ya, ia pun berdiri sebagai imam.  

Batu-batu kali tertata di pondasi. Menonjol hingga tak sebanding dengan dinding batu bata dengan pelekat tanah liat. Satu per satu tampak meleleh diterpa musim penghujan. Merah menjadi hitam.

“Kapan datang? Ke rumah Pak Kiai Sobari? Resepsinya Neng Jauhariyah.”
“Tidak. Aku pulang karena sewunan (1.000 hari kematian) bapak.”
“Ooo... memang tak diundang?”
“Tidak... tidak.”
“Kalau begitu, aku duluan. Sudah mulai acaranya.”
“Baiklah. Mungkin nanti aku menyusul.”

Tetua itu pun berlalu. Aku masih berdiri di samping pengimaman itu. Menunggu waktu berlalu. Di jalan setapak itu. Kulanjutkan melangkah kaki. Nama itu lantas membangkitkan memori yang telah ku pendam. Namun, tak pernah ku bisa melupakan kejadian itu. Meski telah berusaha berbagai cara. Tak ingin tertahut pada peristiwa tahun-tahun itu. Musim hujan telah berganti kemarau seperti saat ini. Tentang harapanku. 

"Jauhariyah datanglah. Meski hanya sebentar. Sekejap mata. Tanpa harus bersama selamanya. Atau sekadar bertatap mata. Akan kuucapkan kata-kata terindah yang pernah kutuliskan. Aku begitu mencintaimu." Tanpa sadar. Aku benar-benar terbawa alam cerita. 

Kuteruskan langkah. Menuju samping surau itu. Masuk di pekarangan makam itu. Makam enam tahun yang belum sempat kudatangi. Nisan kayu rapuh. Tulisan di nisan batu di samping pun juga tak begitu jelas. Juga kijing-kijing nenek dan kakek buyut. Ku duduk dengan posisi bersimpuh. Di depan nisan kayu. 

“Aku sungkem bapak.”
Begitu terenyuh, menyentuh sedalam kalbu. Hati tak henti-hentinya menahan cerita lama itu. Air mata tak kusangka menetes mengalir di dinding pipi.

“Biarkan aku meminta maaf kepadamu. Biarkanlah aku tanggung semua peristiwa itu. Biarkan aku jalani hidup sendiri ini. Tetapi maafkanlah aku. Begitu banyak dosa kepadamu.”

Aku tertunduh di depan nisan itu. Membaca Surah Yasien hingga Tahlil. Air mata terus berlinang tak pernah kuundang. Suasana begitu sendu.

“Aku sekarang sudah mengerti, kenapa kau dulu melarangku. Kusadari ini adalah perjalanan hidupku. Biarkan aku jalani. Biarkan semua menjadi buah cerita. Dan maafkanlah aku.”

Cerita panjang melintas di keheningan makam. Ku ingat meski tak utuh. Aku tersendat dari tertunduh. Sembari menaikkan dagu. Kulihat di depan makam itu. Dua pohon bak bersenda gurau. Menyembunyikan rasa gembira ketika diterpa angin. Langit mendung. Air belum turun sampai di tanah. Tersimpan. Begitu juga dengan rasa di hatiku.

Namun, air hujan mulai membasahi jatuh di tanah. Hembusan angin semakin kencang. Tak tampak dari mana arahnya. Seperti kenangan itu. Datang dan pergi. Semakin terasa tetesan air hujan itu. Dari alam yang berbulan-bulan dinanti.

“Hujan.”

Sesekali mendayu gemericik air hujan dengan cepat membasahi daun hingga dahan. Merajut menetes di kulit batang pepohonan. Betebaran rasa bahagia. Aku kemudian berlalu. Melangkahkan kaki masuk ke dalam surau. (*)

Denpasar, 2016
Read More

Rabu, 02 Maret 2016

puji sajadah



ilustrasi-sajadah-net
aku tiba-tiba menjauhkan sajadah-sajadah yang telah menemani mengembara. berkelana hingga pada titik tertegun dan terampun. mendekati kata-kata yang pernah ku ucapkan sebelum lahir di fana ini. maaf ketika semuanya telah tercurah. meski derai air mata jatuh menghiasi lempeng-lempeng dinding pipi. lalu sekuat tenaga berlari mengejar bayang-bayang. namun terjatuh. hati telah jauh dari pikiran. pecah berkeping-keping dari tubuh.

lalu ku tancapkan pandangan hingga berlumuran air mata. mengusap bidang jidat tepat di lingkar hitam. meraih jagat mengurai duka dan cita.

lalu ku langkahkan kaki hingga bergopoh-gopoh. menyambut tangan-tangan penuh duri.

lalu ku dengarkan semua bicara hingga tertegun. menghapus cerita dan bergegas pergi. entah berapa lama aku bercengkrama. sekadar memberikan kabar. atau mengenang perjalanan panjang hingga sekarang.

aku tiba-tiba menjauhkan sajadah-sajadah yang telah menyelami kalam. lantunan pujian menyebut. batu-batu kecil menyapa. lalu berkata lantang. hancur bagai kapas-kapas beterbangan. lalu menghilang diterpa sayup-sayup melodi langit. membelah duri-duri membagi irisan paling kecil. terperanjat. tersungur. terbangun. lalu sajadah-sajadah itu menengadah. melangkahlah!

denpasar, 2016
Read More