Pagelaran wayang kulit lakon Parikesit/net |
PILKADA serentak 9
Desember 2015 ini menjadi sejarah baru pelaksanaan pesta demokrasi di Indonesia
di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Ajang yang cukup mengundang perhatian
khusus.
Di Bali misalnya ada enam kabupaten/kota yang
mengikuti even penuh instrik ini yang konon disebut ‘pesta rakyat’. Adalah Kota
Denpasar, Kabupaten Badung, Tabanan, Jembrana, Bangli, dan Karangasem. Kini
tinggal menghitung hari. Para konstentan masing-masing pasangan calon (paslon) telah
menebar visi dan misi. Janji perbaikan hingga bantuan. Lumprah mencari simpati
calon pemilih dengan penuh antusias.
Apalagi pasangan petahana atau incumbent seperti biasa di atas angin.
Justru kini bersiap-siap menyambut euforia
kemenangan. Lakon lama tetap berjaya, lakon baru membuat terharu. Bisa juga
pertarungan calon melawan boneka.
Penonton berharap para
calon ini bertarung dengan sistem demokrasi. Harapan terbesar tentunya akankah calon
yang dilantik masih ingat apa yang menjadi janji pada saat kampanye? Kata yang
begitu mudah dilontarkan hingga berbusa untuk menarik simpati massa. Mendulang empati demi suara.
Harapan kepada lakon
ini tentunya bisa berbuat seperti pada
sebuah cerita lama yang ditorehkan lakon Parikesit
Winisuda di arena pewayangan. Lakon anak Raden Abimanyu dan Dewi Utari yang menang
menduduki jabatan melalui proses demokrasi.
Tontonan yang menceritakan antara calon yang tidak dan
berambisi berkuasa menjadi orang
nomor satu di sebuah wilayah. Pertarungan dan persaingan antara
Raden Parikesit dan Prabu Wesiaji. Ada yang berperan sebagai Parikesit dan
tentunya Wesiaji. Dua kandidat yang cukup berbeda. Parikesit menggunakan cara santun dan kesempatan menduduki puncak kekuasaan yang sebenarnya merupakan
warisan dan titipan para pendahulunya.
Meski demikian, Parikesit sadar keberhasilan menjadi raja, bukan karena
keprihatinan dan bukan karena kekuatan, kesaktian, dan jasa, namun menepati proses
demokrasi. Sedangkan
Prabu Wesiaji memilih cara menunjukkan kanuragan kesaktian, kekuatan,
modal besar dan pamer jasa besar yang telah dilakukan orangtuanya.
Cerita di akhir perang
besar Bharatayudha ini berawal saat
Pandawa menang merebut kembali Negara Hastinapura. Lakon Parikesit menjadi
tumpuan untuk dipersiapkan menjadi raja.
Namun sebelum menduduki
tahta dan dikukuhkan menjadi raja,
harus melalui perjuangan layaknya seorang calon berebut menjadi kepala daerah.
Parikesit juga diberikan empat syarat demokrasi.
Adalah, harus persetujuan para
kerabat dan saudara. Kemudian harus mendapatkan restu dari pinisepuh Parikesit Wasi Jaladara atau Baladewa Sepuh. Berlanjut
harus memperoleh dukungan dari rakyat Hastinapura diwakilkan Semar dan tiga anaknya.
Syarat terakhir sifat kandel, pusaka
Kalamisani yaitu keris berlekuk sembilan yang menggambarkan restu para leluhur,
perintis, dan pahlawan yang telah meninggal dunia.
Meskipun telah diprediksikan menjadi calon kuat menjadi raja, namun Parikesit harus
melalui jalan terjal. Utusan Prabu Wesiaji dari Negara Pringgandani meminta bagian
kekuasaan. Alasannya orangtua Gatotkaca
gugur pada Perang Bharatayuda. Tentunya ini mengganggu dari proses persiapan
wisuda Parikesit. Bahkan terjadilah pertempuran antara Negara Pringgandani dan
Negara Hastinapura yang kemudian dimenangi Parikesit. Harapan penonton tentunya sama. Setelah Pilkada nanti tidak ada
lagi persinggungan. Selesai kembali pada rutinitas sehari-hari. Dan
yang paling penting para calon yang terpilih ingat dengan visi, misi, dan
janjinya. #melekpilkada
(*)
denpasar, 3 desember 2015
0 komentar:
Posting Komentar