Selasa, 30 Juni 2015

menanti ulangan politik fiksi

net

PRESIDEN SBY di depan peserta forum Rakernas VI Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) di Madiun, Jawa Timur, 2010 silam melontarkan pernyataan kondisi politik di Indonesia. Waktu itu, SBY menyebutkan suasana itu berimbas pada ekonomi. Tetapi ada yang menduga, itu terkait polemik skandal Bank Century. SBY mengungkapkan ada gerakan politik fiksi yang merongrong kursinya. SBY mengaku diadu-domba dengan Ketua Umum DPP Golkar Aburizal Bakrie alias Ical. Begitu juga dengan isu rencana reshuffle Menteri Keuangan Sri Mulyani digantikan nama dengan Anggito Abimanyu.

Sebuah gambaran konflik batin dalam cerita fiksi dibalut politik fiksi. Secara lingustik, politik fiksi hanya sebuah frasa yang terdiri dari dua kata (politik dan fiksi). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesaia (KBBI) politik berarti segala urusan dan tindakan, kebijakan, serta siasat mengenai pemerintahan negara atau cara bertindak dalam menghadapi atau menangani suatu masalah dan kebijaksanaan. Sedangkan kata fiksi berarti cerita rekaan, khayalan yang tidak berdasarkan kenyataan dan pernyataan yang hanya berdasarkan khayalan atau pikiran. Namun sebenarnya politik fiksi telah berkembang sejak dulu. Peristiwa politik fiksi telah terjadi di mana-mana dalam berbagai agenda politik.

Di Bali waktu itu tak kalah menariknya. Tepatnya, menjelang pilkada serentak 4 Mei 2010 lalu. Politik fiksi begitu nyata. Sutradara membuat alur, meskipun orang mengira ini hanya fiksi saja. Terbaru, peristiwa di Tabanan. Alur yang sejak awal telah dikemas dengan lurus sepertinya di tengah perjalanan diubah menjadi alur flashback. Sama seperti di cerita fiksi dalam fase penokohan. Ada tokoh utama dan tokoh pembantu. Misal tokoh utama diwujudkan dengan rekomendasi I kemudian muncul tokoh kedua rekomendasi II. Dalam cerita fiksi muncul dua tokoh protagonis dan antagonis.

Tetapi kita tidak mencari siapa sebenarnya tokoh antagonis atau protagonis-nya. Namun, adanya momentum itu memicu dan memancing terjadinya konflik. Bukan konflik batin lagi, tetapi sudah konflik fisik. Akibatnya posko dirusak, bendera dan gambar Ketua DPP PDIP Megawati Soekarnoputri tak luput dari amarah konflik antartokoh ini.

Begitu juga dengan gerakan politik di Badung waktu itu. Gerakan fiksi Partai Golkar Badung yang mengkaburkan AA Gde Agung sebagai tokoh independen bukan tokoh partai. Alasannya mudah diterima Partai Demokrat. Dan itu menjadi kenyataan, dengan mudah Gde Agung masuk Demokrat sekaligus daftar calon Demokrat. Bisa ditebak, Demokrat merajut koalisi dengan Golkar. PDIP deal akan mengusung paket sendiri untuk menandingi pasangan petahana Gde Agung-I Ketut Sudikerta. Hasilnya, pasangan PDIP I Wayan Wita dan I Wayan Disel Astawa terseok-seok bahkan kalah telak.

Gerakan politik fiksi memang dirancang manis dan sistematis. Dengan alur yang cukup mulus tanpa bisa diterka logika. Lawan jadi kawan, begitu juga kawan jadi lawan. Tujuan berakhir dengan happy ending dan dead ending. Praktis, gerakan politik fiksi ini akan menjadi literatur para calon yang membuat alur dengan happy ending. Namun apakah hasilnya cukup memuaskan atau malah mengenaskan, itu sangat bergantung siapa penulis atau sutradaranya.

Pada edisi 2015 ini, Pilkada serentak di 6 kabupaten/kota di Bali kembali digelar. Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Tabanan, Jembrana, Bangli dan Karangasem bakal melangsungkan Pilkada serentak pada 9 Desember 2015.

Sudah ada calon yang terang-terang mendeklarasikan pencalonannya. Masdipa Karangasem misalnya. Atau paket petahana yang tinggal meninabobokan pemilihnya. Tabanan Eka-Jaya, Jembrana Artha-Kembang, atau Denpasar Dharma-Negara. Patut ditunggu cerita fiksi yang sudah dibalut dengan nuansa politik. (*)

0 komentar:

Posting Komentar