Selasa, 30 Juni 2015

belajar kepada mereka

Budi Darma: Imajinasi dan Raga Penulis Harus Terus Berkelana

Jumat, 22 Mei 2015 12:48


TRIBUN-BALI.COM, GIANYAR – Sastrawan Budi Darma dan Gde Aryantha Soetama membagikan berbagai pengalaman dan gagasannya dalam workshop Cerpen Kompas 2015.


Workshop berlangsung di Bentara Budaya Bali Jalan Prof Dr Ida Bagus Mantra, Ketewel, Gianyar, Jumat (22/5/2015) sedari pukul 08.00 Wita.


Budi Darma memaparkan konsep penulisan cerpen sedari masa Soeman HS, hingga perkembangan terkini pemuatan tulisan di koran. Disampaikannya, cerpen memang sifatnya pendek, dapat dibaca dalam beberapa menit, misalkan saat menunggu kereta api maupun bus.


Karya yang baik, dinilai adalah karya yang menyenangkan sekaligus juga bermanfaat bagi pembacanya. Namun, pandangan itu tergantung pula pada karakter masing-masing pembaca. “Meskipun pendek, intensitasnya harus terjaga. Sekarang, tulisan cerpen untuk koran, biasanya sekitar 10 ribu karakter dengan spasi karena memang ruang yang terbatas. Di sanalah penulis harus memiliki kemampuan abstraksi,” jelas Budi Darma. Dia mengungkapkan, seorang penulis bagus, ada yang awalnya meniru terus-menerus cara menulis pengarang lain hingga kemudian menemukan karakternya sendiri.


“Siapa orang itu, Hemingway. Dia memiliki kemampuan cara menulis yang sangat unik,” ujarnya. Dalam penggalian ide dan guna menjaga konsistensi menulis, ditekankan pula penting bagi penulis agar imajinasi maupun raganya untuk terus berkelana. Pengelanaan yang dimaksud tidak semata harus bepergian ke sebuah tempat, melainkan bisa dengan meliarkan imajinasi.


Selain itu, penulis juga tidak akan pernah kehilangan ide dan kreatifitas apabila terus disiplin membaca. Budi Darma mengaku, perjalanan dirinya sebagai penulis juga banyak dipengaruhi oleh masa kanaknya. “Sama halnya dengan karya Djenar yang sedikit banyak juga berlandaskan pada kehidupan dia di masa lalu,” terangnya.

Gde Aryantha Soetama mengungkapkan, dalam penulisan cerpen dapat menggunakan pendekatan teori gelebung. Dia mencontohkan, gelembung pertama dapat diandaikan sebagai gagasan besarnya. Gelembung itu terus berkembang dengan melakukan penjabaran hal-hal yang lebih detail.


“Nah, nanti kan kita akan observasi di Sanur. Apa yang bisa dikembangkan dari Sanur, ada banyak hal. Misalkan, kita melihat ada bule, orang berenang, pedagang bakso, orang yang jalan-jalan dan banyak lagi,” terangnya.


Menurutnya, dalam menulis cerpen, ada dua kata kunci utama, yakni berawal dari pertanyaan apa dan bagaimana. Berangkat dari gagasan itulah, kemudian penulis menentukan arah yang akan diambilnya.


Selain mendiskusikan tentang berbagai hal-hal mendasar yang perlu dipahami seorang penulis cerpen, dalam workshop dibahas pula kecenderungan cerpen yang berhasil dimuat di harian KompasBeberapa peserta bahkan sempat menyampaikan telah berulang kali mengirim tulisan, hanya saja belum juga dimuat. “Saya melihat, cerpen di Kompas kerap diawali dengan peristiwa yang bergerak,” ucapnya.


Myrna Ratna, kepala desk Kompas Minggu redaksi harian Kompasmenjelaskan, penyelenggaraan workshop cerpen Kompas didasari pula karena banyaknya pertanyaan dari penulis, mengapa begitu sudah dimuat di Kompas“Dalam setahunnya, ada ribuan naskah yang masuk, bisa sampai 4 ribu, sementara yang harus dipilih hanya 49 cerpen. Karya yang dimuat di Kompas, memang haruslah yang terbaik,” jelas Myrna.


Para peserta berasal dari latar belakang yang beragam, ada yang menekuni otomotif dan ilmu biologi. Bahkan ada pula peserta yang begitu bersemangat menggunakan sepeda motor dari Malang ke Baliuntuk mengikuti workshop


Workshop serangkaian perayaan 50 Tahun Kompas itu diikuti oleh 40 peserta terpilih dari wilayah NTT, NTB, Bali, dan Jawa Timur. Dua editor harian Tribun Bali, Said Hudaini dan Kambali juga turut terpilih untuk mengikuti workshop. (*)

0 komentar:

Posting Komentar