ILUSTRASI/NET |
“Ha ha ha.”
Dagelan apalagi yang kau suguhkan kepadaku. Aku sudah hapal betul
bagaimana kau bercerita. Apalagi membujukku dengan bahan apapun. Terutama kau dongengkan
tentang keberhasilan si Jo.
“Kau itu tahu apa? Aku itu yang tahu dari dia di perut ibunya. Lalu
jabang bayi sampai sekarang ini. Kau kira aku ini mabuk beneran?”
Perbincangan dua teman dan tetangga antara aku dengan Jono di gubuk
di pinggir kota. Siang itu. Suasana mendung terus menutup awan-awan putih.
Suasana gelap semakin merapat.
“Bener Di, anakmu sekarang sudah jadi orang pengede. Kemarin saja ia bersama pak menteri.”
Jono mencoba menyakinkanku. Asap rokok mengepul. Kami berhenti
sejenak sembari menikmati tuak di botol kemasan minuman air mineral itu.
“Sudahlah. Kau ini jangan membujukku agar aku berhenti minum. Toh
kita sama-sama menikmati. Apalagi batang tak bermerek ini.”
“Sudah-sudah. Bicara yang lain saja. Aku sudah bosan. Aku sudah
muak mendengar cerita usang itu.”
“Ya sudah kalau kamu
tetap tidak percaya. Kau ini bapak tapi tak pernah tahu anak. Di mana di
sekarang pun kau tak tahu.”
Jono lagi-lagi mulai mengusik pikiranku. Ia kembali mencampuri
urusanku. Seperti hari-hari sebelumnya. Kalau sudah begini aku biasanya membanting
satu gelas kaca. Atau kalau tidak mengusir Jono.
Tanpa berpikir panjang aku berdiri dan hendak mengambil piring di
dapur. Tak begitu jelas arah jalan itu. Aku terhuyung. Kulangkahkan kaki ini melanjutkan
perjalanan. Setengah mata terpejam menahan pening kepala.
Lima langkah telah berlalu. Aku benar-benar sempoyongan. Beban kepala
begitu berat. Aku sepertinya menabrak. Tak terasa dan aku tak ingat lagi.
Dua hari berikutnya aku duduk tertegun di depan. Kemarin terlalu
banyak minum hingga tak mampu menguasai tubuh ini. Aku terjatuh setelah
menabrak lemari lalu pingsan. Sayup-sayup terdengar memanggil. Iya benar saja.
Lagi-lagi Jono. Sepertinya tidak ada orang lain selain dirinya. Aku muak.
“Ini ada wartawan yang mencarimu. Bukan mencarimu, tapi mencari
bapaknya Pak Menteri.”
“Ngawur kamu. Mana ada
bapaknya Menteri hidup seperti ini?”
Tak berlangsung lama. Tiba-tiba ada beberapa orang dengan membawa
kamera menghampiriku. Ia kemudian bertanya banyak tentang diriku. Mereka
mencecar pertanyaan kenapa aku berada di gubuk ini. Aku jawab dan mereka
mengerti. Mereka pun berduyun-duyun meninggalku. Begitu juga dengan Jono. “Benar
khan? Aku tidak bohong. Anakmu
sekarang jadi menteri.”
(*)
Denpasar, 2 Desember 2015
0 komentar:
Posting Komentar