ilustrasi-ruang perpustakaan-net |
Sudut tembok begitu kokoh. Batu bata bercampur
semen tebal tertata rapi. Sela-sela jeruji besi membujur di depan. Suara-suara
nyaring penuh amarah. Teriakan lantang mengupas ketidakpuasan. Sedangkan aku
tetap bersila di tepi ruang itu. Terkadang bersujud, namun hanya sesekali.
Butiran tasbih sejumlah 99 melintas di sela-sela jari tangan kanan. Mulut
bergumam dengan kalam-kalam penuh arti. Kata-kata dari langit. Caraku. Itulah juga
yang aku sebut bagian dari sembahyang.
Tubuhku semakin kurus meski baru tiga
bulan akan berada di sini. Aku terbenam berpikir keras hingga tak lahap makan sajian
yang dihidangkan setiap hari. Lebih dari itu, aku tak pernah terbayang ada di
sini. Sendiri siang dan malam hari. Terkadang terlintas pikiran apa salahku? Di
mana letak kemungkaranku? Atau apa yang membahayakan dari diriku? Suasana batin
tak kunjung tenang. Usia setua ini masih meronta. Lantas pasrah dengan proses
kematian tubuh dan waktu. Tak perlu waktu lama menunggu. Sebentar lagi pagi
beranjak siang.
Bayangan mereka tiba-tiba mengangkat tubuh hingga berdiri.
Anak-anak, pemuda-pemudi yang gigih belajar setiap bait yang ku ajarkan. Haus
wawasan, arti perbedaan, hingga keyakinan. Datang dari pelbagai daerah dengan
penuh semangat melaksanakan satu per satu syariat yang kucontohkan. Atau para
orang tua yang dengan senang hati meritualkan rukun-rukun ajaran keyakinan. Dua
atau tiga orang lanjut usia khusyuk berdiskusi dengan alam mereka. Terkadang
juga berbincang dengan mereka yang umurnya jauh di bawahnya.
Bagiku semuanya adalah perjalanan. Di
usia sekarang ini, apalagi yang kucari. Masa bahagia bersama istri, anak, dan
cucu telah terpadu. Hura-hura di masa muda telah menjadi bagian cerita. “Kamu
murtad. Mendustakan agama. Kau telah cederai ajaran agama. Prasojo Kastomo!”
Sayup-sayup kalimat itu membangkitkan semangat
hidupku.
“Saudara-saudara. Kita beribadah
menjalankan perintah-Nya. Sesuai dengan ajaran-Nya. Ikhlas, berjalan lurus,
semua telah tercukupi. Keluarga telah mengerti dan berbakti kepada orang tua.
Keadaan sehat tanpa adanya hal yang menjadi perintang dalam mengarungi
perjalanan hidup. Jalan memang tidak selalu lurus, meski begitu kita tetap
sandarkan kehidupan ini menjadi keseimbangan. Keseharian kita menjadi
perjalanan yang nyata.”
Kata-kata waktu itu
yang pernah kuucapkan kepada mereka. Dimengerti tanpa mengindahkan tendensi dan
latar belakang. Kujelaskan arti kehidupan yang sebesar-besarnya, bebas tanpa
ikatan, atau bersembunyi di balik busana.
“Kita harus hati-hati
kepada mereka. Yang berpakaian serba putih, jubah. Membawa tasbih atau salib.
Atau pakaian berdasi seolah mereka yang bertingkah baik tanpa ada prasangka
dari luar.”
“Kalau mereka yang
pakaian semrawut. Rambut gondrong, tato di sekujur tubuh, asap rokok tak lepas
dari mulut. Profesi dan pekerjaan berbeda. Justru, kalau saya perhatikan
sebenarnya mereka ingin bertanya atau sekadar memberi argumentasi. Tetapi
mereka seolah-olah tak peduli. Begitu juga kita. Apalagi hanya instrumen yang
mengubah suasana dari malas menjadi lebih agresif untuk memberi argumentasi atau
opini ringan. Ah apalagi kalau ada
proyek.”
Semua yang hadir bebas bicara.
Proses demokrasi berjalan. Tak ada lagi voting namun penguatan argumentasi. Kebebasan
seperti ini yang kami jalani. Selama ini
membuat suasana bahagia. Mereka lebih leluasa. Orangtua kasih sayang tulus
kepada anak-anak mereka. Begitu juga dengan anak mereka bergerak mengikuti hati
dan angan dengan riang tanpa mengecewakan orangtua. Kebaikan manusiawi begitu
tampak. Mereka meleburkan latar belakang mengikuti titik fokus yang menjadi
panutan.
Namun itu tak
sepertiku. Ranu, anakku satu-satunya justru meninggalkan sendiri di rumah
sebesar ini. Ia pergi bersama istrinya karena tidak mau ikut campur dengan
urusanku. Aku relakan. Bagiku itu pilihan. Taman bunga yang ku pelihara sejak perkawinanku
dengan ibunya Ranu kini menjadi tempat peraduan belajar. Aku sehari-hari dibantu
pembantu setia Jono dan Mbok Yah. Segala macam urusan rumah tangga termasuk
mempersiapkan kegiatan dikerjakan bersama-sama. Hari-hariku tak lepas dari membaca
literatur dari buku terbitan dalam negeri dan luar negeri.
Kesepian itu tak
berlangsung lama. Rumah tempat tinggalku kini selalu ramai dengan mereka. Ya, anak-anak muda, perempuan karir,
ibu-ibu, dan laki-laki lanjut usia. Mereka merasakan kebahagiaan, melepaskan
pemikiran atau dogma selama ini. Keceriaan mereka melepas masa senja seperti di
pengujung cerita. Mereka datang biasanya pada minggu. Pagi hingga sore hari.
Menikmati membaca buku-buku koleksi dan hasil sumbangan dari beberapa teman.
Tumpukan perpustakaan terbuka membuat nyaman.
Koleksi buku dan
tulisan menjadi daya tarik bagi mereka. Ada sebuah ruang tempat menumpuk dan
memajang buku. Tak luas ruang perpustakaan di samping kanan rumah itu. Satu
ruang dengan ukuran tujuh meter kali empat meter. Di dalam terdapat rak buku
300 centimeter lawan 50 centimeter dan 200 centimeter sebanyak tiga buah.
Buku-buku filsafat menjadi koleksi terbanyak. Mulai dasar-dasar filsafat hingga
penerapan. Literatur yang membuatku bertahan ketika di ruang kuliah saat debat
dengan mahasiswa.
Kemudian buku fiksi
sastra cukup banyak dibaca juga. Karya-karya pujangga lama seperti karya Hamzah
Fansuri yang pertama menulis. Juga keelokan Gurindam
Dua Belas karya Raja Ali Haji. Pilihannya juga karya-karya Angkatan Balai
Pustaka. Ah! Novel Siti Nurbaya karya Marah Roesli tetap
menjadi idola dari tahun ke tahun. Juga Salah
Asuhan yang menjadi bahan perdebatan. Tak kalah ramainya ketika diskusi
dengan teks novel Atheis karya
Achdiat Karta Mihardja.
Satu rak khusus tempat
buku agama. Teori agama adalah budaya. Sejarah manusia mencari Tuhan, hingga
kitab-kitab suci agama yang ada di muka bumi. Tak sekadar itu, tulisan dan
koleksi perbandingan agama, kepercayaan, dan keyakinan menjadi bahas diskusi.
Bahkan tak sedikit setelah membaca tulisanku, mereka semangat mengikutinya.
Pagi hari mengikuti
perkembangan kabar dalam negeri melalui media cetak yang telah menjadi
langganan. Perpustakan pribadi seperti menjadi ruang semedi. Kekayaan abstrak. Namun
tetap bangga ketika buah tulisan sudah mengantarkanku terbang ke mana-mana.
Undangan dari luar daerah hingga ke luar negeri. Tulisan telah tersebar di
negeri Nederland hingga Australia.
Tetapi itu bukan
kegemaranku menunjukkan diri. Sekadar mengingatkan kepada keangkuhan baru. Muncul
bersatu dengan Rahwana yang peka dengan zaman. Sedangkan Pandawa dan Rama
terkubur ratusan tahun lalu. Sumbangan jiwanya menginggapi orang-orang yang
arif atau sekadar pelampiasan naluri untuk mencairkan suasana. Aku bukan Dorna
yang wiracarita Mahabharata mampu
menjadi guru para Korawa dan Pandawa. Pintar dalam pertempuran dan membagi ilmu
detail kepada murid kesayangannya Arjuna. Bahkan mampu mengalahkan kasih
sayangku kepada Ranu dibandingkan Arjuna.
Anak-anak muda yang
belajar di rumah tak mensia-siakan waktu. Mereka membaca berbagai buku. Tak
jarang mereka juga membawa literatur sendiri. Kizil misalnya, seorang remaja
penuh semangat dengan segudang pengetahuan. Ia hapal betul peristiwa 1965.
Bahkan begitu detail ketika menjelaskan peristiwa berdarah itu. Tragedi
kemanusiaan ia menyebutnya.
Mereka pun membentuk
diskusi kecil di bawah pohon beringin di pojok. Di kursi panjang dan belakang
perpustakaan. Berawal dari santai namun terkadang terbawa suasana berujung
masalah serius. Pak Johan misalnya, ia bertahan dengan argumen harus tetap
memperjuangkan nasib buruh ketika berbicara tentang Marsinah. Buruh yang mayatnya
ditemukan di hutan di Dusun Jegong, Desa dan Kecamatan Wilangan, Kabupaten
Nganjuk, Jawa Timur dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat.
Beberapa di antaranya
diskusi dengan ajaran hingga filsafat agama. Meski demikian, mereka justru
tumbuh dengan pemikirannya. Namun ada juga mereka semakin kuat iman dan
keyakinan beragama. Pak Karyo, dia adalah pensiun guru agama di sekolah dasar.
Ia belajar kitab-kitab kuning. Bahkan ia tidak mau sama sekali belajar kitab
yang sudah diartikan atau istilahnya kitab
jembrokan. Pak Karyo tetap menggunakan pena tultul dengan tinta bahan inti pohon pisang. Ia benar-benar muslim
taat. Namun ia tetap terbuka ketika diajak diskusi. Tidak hanya dengan
orang-orang sebayanya, namun dengan anak-anak yang umurnya jauh di bawahnya.
“Kang sampeyan percaya dosa itu bisa dihapus?”
tanya Paimo saat duduk berdua di kursi belakang rumah di suatu sore itu.
“Ya tentu percaya. Setiap tindakan yang didasari dengan niat baik
pasti ada pahalanya. Jadi ada amalan-amalan yang bisa menghapus dosa. Tetapi
kalau sampeyan percaya.”
Pak Karyo mencoba
mendeskripsikan penjelasan. Ia juga sadar lawan bicaranya adalah Paimo yang
secara gagasan pikiran kiri. Ia beberapa kali mengatakan hidup ini tanpa harus
melibatkan Tuhan. Hidup adalah hidup, tanpa ada campur tangan Tuhan. Namun ia
dengan senang hati berbaik antar sesama manusia. Tanpa membedakan apalagi
dilandasi kebencian. Paimo dulu pernah nyantri
di beberapa pesantren terkenal di
Jawa Timur. Tepatnya di Kabupaten Jombang, tetapi aku lupa menyebutkan nama
pondok itu.
“Nah
amalan itu banyak. Misalnya, berjalan ke masjid, Allah mengangkat satu derajat
dan hapus satu dosa. Belum lagi kalau kita puasa Arafah dan Asyura. Puasa Arafah Allah akan menghapus dosa setahun
sebelumnya dan setahun setelahnya. Kalau puasa Asyura, Allah bakal menghapus dosa setahun yang telah lalu.”
“Ini menurut keyakinan ku. Tentu akan
berbeda ketika situ yang berbicara.”
Pak Karyo kembali menegaskan kepada
Paimo bahwa posisi berbicara di bagian kanan. Paimo lantas memegang jidatnya.
Sambil bergumam lalu menghisap rokok dalam-dalam.
“Saya sangat sadar Kang. Kita di sini
berbicara bukan harus berkeyakinan. Yang terpenting saling menghargai khan? Itu menurut sampeyan dan ini menurut saya.”
“Iya saya sadar itu. Tidak masalah,
apalagi saya tahu betul siapa Pai.”
Keduanya tampak terlibat diskusi lebih
serius. Waktu itu aku sedang membaca buku di samping mereka. Kira-kira berjarak
dua atau tiga meter. Suara mereka yang lantang membuat pembicaraannya terdengar
sampai ke telingaku.
“Menurutku begini Kang.
Sampeyan pasti ingat dengan teori
timbangan amal baik dan buruk. Timbangan itu lah yang menjadi menyakinkan berbuat baik dan buruk manusia. Tetapi
bukan bagi saya, bukan semaunya, bukan dilandasi agama.”
Paimo melanjutkan.
“Dosa itu tidak bisa
dihapus. Keburukan dan kebaikan itu sama menumpuknya. Maka misalnya berbuat
buruk maka berbuat baik sehingga jika nanti ditimbang maka akan berimbang. Atau
lebih kebaikannya.”
Mereka kemudian
melanjutkan perbincangannya. Sedangkan aku sibuk sendiri dengan bacaan terbaru.
Tentang agama yang kini ramai dibicarakan. Agama Baha’i. Ku heran ketika
seorang penganutnya ditolak saat membuat KTP.
Waktu terus berjalan. Hari
itu, mereka pergi satu per satu. Setelah diskusi siang ramai yang riang. Aku
tak merasa ada yang aneh. Bagiku sudah biasa mereka datang dan pergi. Hingga
waktu menjelang petang. Lantas menapaki malam.
“Pak! Anda yang
mendalangi semuanya ini.”
“Mendalangi apa? Enak
saja main tuduh.”
Tiba-tiba tiga
bapak-bapak penuh amarah meraih tanganku. Seorang lagi dengan wajah ditutup
dengan senjata lengkap. Malam begitu kalut. Tanpa ada seorangpun yang tahu.
Namun aku tetap tenang.
“Aku bukan ustaz atau
kiai yang kau tuduh sebagai tukang santet. Atau seorang jaringan.”
“Bukan itu urusan saya
menjelaskan ini. Kami hanya menjalankan perintah.”
“Ah, kamu ini ada-ada
saja. Saya ini hanya dosen. Dosen tahu! Memang ada orang-orang yang hilir mudik
ke sini, tetapi mereka belajar. Belajar ilmu, bukan kanuragan.”
Darah sudah naik di
ubun-ubun. Menyatu mengepal hingga tenaga terpusat di tangan. Jari-jari pun
mengepal. Namun moncong pistol tak mau diajak argumentasi. Mereka telah
meletakkan tepat di tengah jidat. Sembari itu, mengunci kedua tangan ke
belakang punggung. Kemudian mereka membungkus kepalaku hingga tak tahu lagi
mereka ke mana. Aku pun sempat berpikir melawan. Tetapi kalau nekat nanti
berujung pada tembakan kematian.
Rumah yang biasanya
ramai tetapi malam itu benar-benar sepi. Tak ada siapapun. Sepertinya sudah di-setting atau mereka memang diteror dulu.
Mereka diperintahkan meninggalkan rumah sebelum ada peristiwa penggerebakan
itu. Aku tak menyangka dan tak mengira. Aku tak tahu mengapa bisa terjadi
seperti. Apa penyebabkannya? Apa salahku?
Pikiran pendek. Mati
penuh arti dan kuburan dijejali bunga. Tangisan semangat mengobarkan tanah
makamku. Bunga-bunga semerbak menghiasi ke semua pemakaman. Mati tanpa arti
bagi mereka, tetapi kehormatan bagi kami. Cinta kasih menyeruak ke daratan
perjuangan. Antara hak dan kewajiban mereka biarkan tanpa ada keseimbangan. Apa
mereka mengerti. Ketegangan dengan mereka semakin memuncak. Perjuangan telah di
atas tekat hingga tinggal menolak. Para
nabi pun telah pulang ke rumah orang tuanya. Para pastur menunggu panggilan
Tuhan. Para kiai mendekati sakratul maut menanti malaikat pencabut nyawa. Aku pun tak ingat apa-apa. (*)
Denpasar, 2016
like,,,,, kata2 ini" masa muda, cerita kaum murtad".... bisa dimaknai lebih dalam, untuk mempersiapkan masa depan lebih baik. dengan tidak terlena pada kesementaraan..
BalasHapus