ilustrasi/net |
(Provokasi Media dan Jurnalisme Damai)
KEMARIN banyak yang bertanya, “Benar akan ada
demonstrasi besar-besaran 4 November nanti?” “Demo penistaan agama di Jakarta?”
“Isu yang diseret-seret ke ranah politik.” Bukan orang Jakarta yang bertanya.
Tahu dari mana? Membaca berita dan melihat siaran televisi. Beberapa hari ini, media
banyak memuat rumor “Aksi 4 November” (411) 2016. Dampaknya kecemasan dan
kekhawatiran teror berita begitu dahsyat. Kemungkinan ada 200.000-an massa dari
seluruh Indonesia, mulai Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Itu juga
masih rumor belum ada fakta.
Bukankah
tanggal itu tepat hari Jumat? Boleh dong
ada rumor bukan demo tetapi “salat Jumat bersama” di Masjid Istiqlal.
Jarang-jarang salat Jumat di masjid yang dibangun yang diprakarsai Bung Karno
ini. Atau bagi warga dari daerah, kesempatan langka jamaah di masjid terbesar
di Asia Tenggara ini. Setelah salat Jumat diwawancarai jurnalis TVRI tentang
kesan salat Jumat di Masjid Istiqlal.
Namun
apa yang tertulis dan terlihat. Media mengungkap rumor ini sebagai perihal yang
seolah sangat penting hingga genting. Betapa tidak, diamati dari judul-judul
media baik online maupun cetak hingga
televisi menayangkan “simulasi” pengamanan di mana-mana. Aparat berbaris seolah
menghadang kerusuhan. Lalu memasang foto petugas keamanan berjaga di titik
tertentu yang sebenarnya sehari-hari memang jaga di situ. Televisi menayangkan
pasukan keamanan membawa senjata laras panjang. Pasukan tentara berkumpul.
Menuliskan ibukota siaga satu, personel dari beberapa Mapolda ditarik ke
ibukota, TNI siap kawal. TNI all out back
up Polri.
Pemilihan
nasasumber tak kalah “hebatnya”. Wawancara petinggi polisi dan TNI, pejabat,
elit politik, tokoh agama, tokoh masyarakat.
The power of game dan konflik kepentingan yang diakomodasi dalam wadah
jurnalisme perang. Tak kalah “panas” para politisi dan elit politik memberikan
komentar rumor aksi 411 saat diminta menanggapi. Komentarnya semakin memanaskan
suasana. Bahkan ada yang menyebutkan presiden yang menjadi incaran aksi 411.
Lebih ngeri lagi, rumor bakal ada disintegrasi bangsa, sebuah keadaan tidak
bersatu padu, terpecah belah dan hilangnya keutuhan atau persatuan bangsa.
Presiden pun turun tangan sowan
datang ke rumah Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di kediaman
Prabowo, Hambalang, Bogor, 31 Oktober 2016. Keduanya berkuda santai tetapi
kabarnya membicarakan aksi 411.
Genting,
cemas, waswas iya tentunya. Ada yang
bilang “Ini nanti akan terjadi kerusuhan.” “Demo ini mengarah isu SARA.” “Tutup
saja kantor, toko.” “Ini ngomong soal agama.” “Ini tentang mayoritas dan
minoritas.” Aksi 411 menjadi perbincangan di mana-mana. Media massa hingga
media sosial (medsos) ramai dan menjadi trending
topic. Meme-meme rumor ini beredar luas melalui berbagai platform. Teror, siapa
meneror dan siapa yang diteror? “Paranoid” begitu kata Sirikit Syah. Kondisi
media massa, para elit dan warga Jakarta yang tidak berdosa. Semuanya dicekam
ketakutan berlebihan. Semua sepertinya akan menjadi dramatis.
Dan
ini ditangkap dengan “sempurna” oleh industri media. Menempatkannya di halaman
depan. Apalagi madzab jurnalisme halaman depan penuh dengan dramatis paling
digemari dan konon “paling laku dijual”. Ini seperti di awal abad 20 lalu Joseph
Pulitzer ketika membuat keputusan. Waktu itu, baru saja membeli The New York Post. Pulitzer mengubah koran
baik-baik dan sopan itu dengan apa yang disebutnya “front page journalism” (jurnalisme halaman depan), koran yang
halaman depannya penuh warna, HL-nya berhuruf luar biasa besar dan tebal,
fotonya bisa sepanjang lebar koran. Ini kontras dengan tradisi koran di AS
waktu itu, yang berita penting atau tidak pentingnya tak ada bedanya.
Celakanya,
topik beritanya berupa rumor. Memang berita asalnya dari rumor tetapi harus dilanjutkan menjadi utuh
sehingga tidak menimbulkan fakta yang tidak lengkap (premature facts). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti
rumor pun cukup jelas (gunjingan) yang berkembang
dari mulut ke mulut. Sedangkan ilmu Komunikasi menyebutkan, rumor pada dasarnya
merupakan hasil reinterpretasi dari interpretasi sebelumnya terhadap fakta yang
tidak lengkap yang menyebar melalui komunikasi sosial. Bisa saja rumor menjadi unintentional rumors atau desas-desus
yang muncul tanpa sengaja yang terjadi karena adanya ketidakjelasan keadaan
atau ketidakpastian yang berlebihan. Maka,
itu bisa terselesaikan dengan rumusan Allport dan Postman menanggulangi rumor bisa
dilakukan secara preventif, yaitu memberikan informasi faktual yang
terverifikasi. Atau juga melalui rumusannya “Hukum Dasar Rumor” dengan
mengistilahkan golden hour yaitu waktu
emas menangani rumor.
Atau
apakah ini lebih pada agenda setting
seperti yang diungkapkan Maxwell C McCombs dan Donald L Shaw yang melakukan
penelitian surat kabar di 1946 silam. Tentu, ini lebih baik karena agenda setting mengasumsikan adanya
hubungan positif antara penilaian yang diberikan media pada suatu persoalan
dengan perhatian yang diberikan khalayak.
April 2001
Kondisi
ini hampir mirip pada masa akhir April 2001. Tepatnya menjelang “Istighotsah NU”
yang digelar 29 April atau sehari menjelang sidang DPR 30 April 2001. Waktu itu
disebutkan Istighotsah diperkirakan akan dihadiri 200.000 orang dari berbagai
daerah. Ada berita yang menuliskan akan ada Front Pembela Kebenaran (FPK) pendukung
Gus Dur yang berangkat ke ibukota. Tetapi kemudian lebih banyak disebut Pasukan
Berani Mati (PBM). Media cenderung
mengkonstruksikan PBM sebagai sosok yang menakutkan, garang, dan memiliki
kekuatan luar biasa. Ada juga yang mendeskripsikan PBM dibekali jimat dan ilmu yang
memiliki daya linuwih (melebihi orang
biasa).
Bukankah
kalau di pesantren selain mengaji kitab kuning diajari pencak silat? Juga
wiridan dan bacaan hizib, seperti hizib nashor. Biasa kan? Supaya ilustrasi dramatis, nanti kalau ada santri yang
mengikuti ritual Telasan kenaikan
sabuk diberitakan latihan tenaga dalam. Lebih-lebih dituduh isu santet.
Media
wawancara dengan pejabat, petinggi keamanan, politisi hingga diplomat dan
keluarganya yang tinggal di Jakarta. Mereka dengan berikan pertanyaan yang
kemudian membuat jawaban waswas dan cemas. Begitu juga petinggi kepolisian berkali-kali
membuat pernyataan menjaga keamanan warga di Jakarta. Kepolisian waktu itu menyatakan
mengerahkan setidaknya 42.000 personel untuk mengamankan Jakarta saat Istighotsah.
Tentu efek berita tersebut menjadi teror. Kecemasan dan kekhawatiran bukan
hanya bagi warga Jakarta tapi di daerah. Seolah-olah akan ada chaos, padahal masih rumor.
MediaWatch waktu itu
meneliti dan mencatat empat media atas judul, foto, grafis, diksi dan posisi
berita rumor tersebut. Penelitian juga dilakukan di atas grafis atau foto dengan
menggunakan dua variabel tanda sintagma dan paradigma yang merupakan cabang
semiotik. Hasilnya, media cendrung menulis berita sifatnya provokatif. Mengabarkan
PBM sebagai pasukan yang memang dibentuk untuk melawan siapa pun yang berusaha
menjatuhkan Gus Dur.
Pers
memiliki hak memilih termasuk memilih narasumber dan berita apa yang layak
dimuat. Jadi tidak haram, menulis berita mendinginkan suasana, bukan sekadar berita
mengumbar dan mengkonsumsi fakta belaka. Media sudah selayaknya mengedepankan
“Jurnalisme Damai” (Peace Journalism). Berita-berita yang disajikan menyelesaikan konflik
dan pertikaian, serta mendorong solusi konflik dengan prinsip win-win solution seperti yang ditulis teori
dua pendukung jurnalisme damai Jake Lynch dan Annabel McGoldrick. Atau misalnya menempatkan fungsi pers dan
kembali ke khittah Undang-undang Nomor
40 tahun 1999 tentang Pers sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol
sosial. (*)
Denpasar, 1 November 2016
0 komentar:
Posting Komentar