Sabtu, 23 Juli 2016

Temu Kopi

ilustrasi/biji kopi/net

“Bagaimana kabarnya dia?”
Nglukman, Ngadiran, Mulyono, Nawir, dan Salekan tak menjawab. Apapun. Mereka tiba-tiba membisu. Mereka hanya menggeleng-gelengkan kepala. Dalam hatiku, mereka mungkin tidak tahu.
“Lalu bagaimana dengan dia?”
Sama. Tak ada jawaban sekalipun. Mereka hanya terdiam. Sesekali mereka mengambil kue-kue yang tersedia di depan kami semua. Kami berlima duduk bersila. Pertemuan ini merupakan anggap saja pertemuan kami setelah berpisah sepuluh tahun.
“Kalau dia di mana sekarang?”
Satu per satu ku tanyakan. Aku larut ingin mengetahui dan mendengarkan cerita mereka. Kopi kembali kutuang. Aromanya begitu terasa.
“Kopi buatan sendiri?”
“Bukan-bukan. Ini tadi Nglukman yang beli di warung Mbok Yem.”
Warung Mbok Yem itu dulu menjadi tempat kami bercengkrama. Tempat paling favorit untuk nongkrong. Sekadar berbincang tentang perkembangan desa, terutama perguruan kami. Atau sekadar iseng berbincang tentang pesona perempuan-perempuan sebaya, tetapi dari desa tetangga.
Meski kini telah berganti anaknya Mbok Yem, tetapi kopi tak berubah kualitasnya. Memang aroma berbeda jauh buatan Mbok Yem. Kami sengaja membeli kopi itu, karena khawatir kalau terlalu larut di warung Mbok Yem, anaknya akan dicurigai tetangga-tetanggaku. Maklumlah, anaknya Mbok Yem kini sudah janda.
“Kalau Pupah, Munah, Sarapoh itu sudah menikah. Dia dapat desa bawah.”
“Justru Saropah sekarang statusnya sudah Bu Lurah.” “Setahun yang lalu ia jadi Lurah. Ia menggantikan suaminya yang sudah dua kali jadi Lurah.”
Nglukman begitu enteng bercerita tentang perempuan-perempuan sebayaku. Teman-teman yang dulu akrab di madarosah (baca madrasah).
“Wah, jago benar Saropah.”
“Iya, lha dari dulu memang dia khan pintar. Apalagi kalau pas mukhadarah. Dia juga jago kalau hapalan. Apalagi kalau sudah imlak, dia pasti pulang duluan.” Nglukman terus ingat tentang kenangan itu.
“Bukan kaya kamu. Hapalan setengah, setengahnya berdiri di belakang papan tulis.”
“Hahaha.” Kami pun tertawa terbahak.
Sambil memalingkan wajah, aku berusaha mencari teko kopi. Aku pun masih terngiang-ngiang tentang mereka. Pertanyaan-pertanyaan pertama, kedua, dan ketiga belum dijawab.
“Kopinya sudah habis?”
Pelan-pelan kutuang, namun tak ada yang mengucur. Tutup teko ku buka. Benar saja kopi sudah habis.
“Lalu mereka di mana? Ke mana? Apakah mereka sudah meninggal?”
denpasar, 22 juli 2016
‪#‎temu‬ ‪#‎kopi‬
Read More

Selasa, 19 Juli 2016

bunga bidadariku


(buat rusita yudiarsih)
bungaku
pagi ini 
ku lantunkan kata-kata suci
tentang bidadariku
biarkan kau jadi bungaku
maka sambut puja dan pujiku
bidadariku
senyummu tak pernah lesu
menyemai dalam kalbu
mengembang ke sendi-sendi
merasuk setiap denyut nadi
bungaku
berkembang
mekar sekar
memikat
bidadariku
kau berikan aroma wangi
semerbak hingga berbiak
menebarkan keriangan
berderai-derai
sorak-sorai
denpasar, 20 juli 2016
‪#‎bunga‬ ‪#‎bidadariku‬
Read More