Rabu, 30 Desember 2015

Lecut Uban

magena-ilustrasi-suara-merdeka

Putih membiru tak bertepi
menabur jatuh di seberang lautan
Debur membentur
Melepas pandangan mata sayu
Gelombang datang, ombak pergi
Pasir pesisir tersenyum lepas

Tubuhku terhenti di sini
Sama seperti dua tahun lalu
Empat dan lima tahun lalu
Bahkan lebih dari itu
Kepala dipenuhi uban
Putih memutih

Tahun telah berganti
Tahun telah berumur
Sunrise berganti sunset

Raga tak berguna bersolek
Berdandan gaun soleh
Ibadah tak karuan
Apalagi memupuk iman
Sembahyang sunah tak terjamah
Sembahyang wajib tak tertib

Pamrih begitu luar biasa
Seolah-olah akulah nabinya
Kuasa mengatur segalanya
Pemberi tuntunan tata cara doa

Biarkan tercela jadi catatan
Biarkan kaki berjalan tanpa henti
Biarkan tangan bertepuk tanpa lengan
Biarkan uban rontok sendiri

Menetes menjadi tinta emas
Karena hari berlalu pergi
Sorot pagi terus bersinar
Mega merah menghilang
Menutup cakrawala
Larutlah membaur terburai
Di hitungan pergantian tahun
(*) 

Denpasar, 31 Desember 2015
Read More

Senin, 21 Desember 2015

Jabat Tangan Sang Utusan

Jemputlah aku di padang mahsyar
Tapi biarkan aku sendiri
Menempuh liku-liku jalan bergaris
Di tanah lapang tak berduri
Meski gontai tapi penuh harapan
Lambaian sengatan panas jadi teman
Karena matahari telah berjarak satu mil

Biar kurasakan keringat mendidih tak terintih
Biar kutempuh waktu tak berlalu
Biar kurunut meski tak urut
Biar kulalui jembatan sehelai rambut itu
Pada akhirnya semua menurut yang ku mau

Kaki-kaki kecil kini telah pincang
Tangan-tangan kecil tanpa tulang
Ku ulangi lagi
Ubun kepala tanpa sadar menyentuh tanah
Sedangkan telapak kaki mengembang di udara

Kalam doa bertebaran di langit-langit
Huruf-huruf berpencar pecah terburai
Tak tertata
Tak terbaca
Berganti hiruk-pikuk cerai-berai
Teriakan-teriakan sorai hingga serak
Tiupan angin tak terukur lagi
Lama terasa hingga membakar

Samar-samar untaian rintik turun
Mengalunkan langgam-langgam cinta
Penuh bait-bait asmara
Berpeluk dan berjabat tangan
Titik-titik peraduan
Pada sang utusan


Denpasar, 21 desember 2015
Read More

Jumat, 18 Desember 2015

Tetes Pilu di Jantung Kota


Sepasang mata 
beribu bola mata 
melihat dan menjadi saksi

Tak ada jera atas tragedi

Bertubi-tubi
Hanya bergumam 
Ini sudah damai
Tak ada lagi dendam
Apalagi sampai mati

Tepat setelah kucuran darah 
hingga jalan kota memerah
Ataukah menghunus samurai
Hingga usus terburai
Ataukah harus ada selongsong peluru 
Menembus ulu
Ataukah mengibarkan kain putih di sudut kota
Lalu diganti bendera kebanggaan 
bukan atas nama bangsa

Ha..ha.. ha...
Para penguasa tertawa
Di balik kursi-kursi jemawa 
Biarkan mereka berkelahi
Apalagi melibatkan kelompok
Toh aku tetap berdiri di onggok

Duka nyawa bergaris
Hujan berganti gerimis 
Bercampur tangis 
Bulan tertutup mendung
Purnama telah pudar 
Meleleh 
Menetes 
Pilu 
Di jantung kota

denpasar, 18 desember 2015
Read More

Selasa, 15 Desember 2015

sengkuni ngudarasa yang mulia

net/ilustrasi
Gonjang-ganjing perang besar Baratayuda di medan Kurukshetra antara Pandawa kontra Korawa begitu santer diberitakan. Beberapa kali menjadi trending topic. Beberapa hari malah dijadikan breaking news. Sejenak di sela itu tanpa disadari ada dialog. Di tempat sempit ketika hampir terkuak siapa sebenarnya pembuat kegaduhan ini. Siapa lagi kalau bukan Sengkuni.

Diam-diam Sengkuni dipanggil Paduka Yang Mulia Dretarastra. Sengkuni diadili dan dipojokkan di depan Duryadana dan kakaknya Gandari. Seperti pada sidang beberapa hari kemarin. Frasa Yang Mulia selalu keluar dari mulut Sengkuni. Frasa yang tepat digunakan pada zamannya di masa feodalisme. Kalau sekarang tak pantas dong karena telah dihapus sejak tahun 1966 silam dengan ketentuan TAP MPRS. Sengkuni dengan tunduk lesu menjawab semua pertanyaan-pertanyaan Yang Mulia.

“Sengkuni!”
“Iya Yang Mulia.”
“Saya mau bertanya yang benar. Jangan kau tambah dan kurangi. Katakan apa adanya. Lakon Baratayuda Binangun ini, kamu ikut buat atau tidak?”
“Iya saya ikut Yang Mulia.”
“Sejak kapan?”
“Sejak Pandawa bermain dadu.”
“Yang membuat Pandawa bermain dadu itu siapa?”
“Ya saya. Karena saya bandarnya.”

Yang Mulia Drestarasta pun semakin marah. Lantas terus bertanya dari baris ke baris.
“Jadi kamu datang bersama kakakmu sudah punya niat ingin menumpas keturunan Begawan Abiyasa?”
“Tidak Yang Mulia.”
“Terus bagaimana, karena suasananya seperti sekarang ini. Coba pikirkan perang Pandawa-Kurawa sampai anakku mati semua. Jadi coba ulangi apa yang kau harapkan? Ada rencana apa? Bukan perang yang kita bahas tapi apa yang ada dalam hatimu dan di logikamu sampai membuat perang seperti ini?”

Sengkuni tampak berang. Ia tak mau disalahkan begitu saja oleh Yang Mulia. Tak mau ditanya bak menghakimi. Terdakwa Sengkuni. Ia pun kemudian balik bertanya kepada Yang Mulia.

“Sebelum berkata banyak. Apa orang sebanyak ini hanya saya yang paling jelek sendiri? Apa wayang sekotak ini hanya Sengkuni yang paling jelek Yang Mulia?”
Lha baikmu di mana?”
“Begitu tunggu dulu Yang Mulia. Perlu diingat Yang Mulia. Jangan sampai melupakan budi orang lain. Memang saya mengakui salah. Namun apa Yang Mulia tidak merasa salah?”
“Kurang ajar kau? Ku pukul kepalamu. Kamu mencari alasan malah catut-catut bawa nama Yang Mulia?”
“Tunggu dulu Yang Mulia. Saya mau bertanya, Kurawa itu anaknya siapa?”
“Kurawa itu anak saya. Dasar orang gila. Kurawa itu anakku, yang juga kakakmu Gandari.”

“Yang Mulia dulu pernah berkata kepada saya. Sengkuni aku titip keponakanmu, carikan kemuliaan. Sekarang Duryadana jadi raja itu yang merekayasa saya. Dursasana jadi mahapatih saya yang merekayasa Yang Mulia?”
“Perkara mencari kemuliaan dengan jalan yang baik itu banyak.”
“Ah Yang Mulia. Baik dan tidak itu bergantung siapa yang melakukan. Baik saya belum tentu bagus bagi Yang Mulia. Tetapi pekerjaan saya sudah selesai. Saya Yang Mulia titipi anak dan sekarang sudah jadi semua.”

“Tetapi tetap mengaku saya jadi gaduh seperti sekarang ini. Tetapi ingat Yang Mulia, rusaknya Sengkuni bukan untuk diri sendiri, tetapi untuk memuliakan keluarga Yang Mulia. Dan saya tanggungjawab membuat situasi seperti sekarang ini. Sekarang saya akan tebus dosa. Saya tidak mau, Sengkuni mati seperti katak, saya malu. Manusia penuh dengan dosa kalau mati harus gagah di medan perang.”

Sengkuni pergi ke medan laga. Ia ingin bertanggungjawab telah berbuat gaduh dan menyebabkan perang Baratayuda. Lalu Prabu Drestarasta berpikir ulang. Bahkan ia mengacungkan jempol kepada Sengkuni. Ia juga merasa bersalah lalu berkata. “Sengkuni, kelakukannya memang jelek tapi kamu masih punya sifat baik, tanggungjawabnya.” (*)
Read More

Selasa, 08 Desember 2015

ladang baratayuda pilkada

ilustrasi/perang baratayuda
Jam menunjukkan pukul 00.00 Wita. Ini hari telah berganti. Selasa, 8 Desember 2015 telah usai bergeser jadi Rabu, 9 Desember 2015. Ada agenda besar dalam sejarah pemilu di Indonesia di hari ini. Sebanyak 9 provinsi dan 260 kabupaten/kota se-Nusantara bakal menggelar pilkada serentak. Event pertama dalam periodisasi penyelenggaraan pemilu langsung yang digelar secara bersama-sama.

Setiap provinsi beda jumlah pasangan calon atau paslon. Ada yang diunggulkan dan tentunya ada yang non unggulan. Diprediksi menang dengan mudah dan tak mampu bersaing. Bahkan ada juga dicurigai paslon boneka alias umpan agar pilkada berjalan. Para paslon bakal unjuk dan membuktikan kekuatan penyokong. Bagaimana mesin politik partai ataupun pribadi calon bekerja. Tim sukses bekerja dengan cara tertentu bagaimana mampu mendulang suara dan memenangkan para paslonnya. Ini ladang Baratayuda.

Perang besar di Kurukshetra antara keluarga Pandawa kontra Korawa. Perang klimaks dari kisah Mahabharata. Pertempuran kolosal. Seru, bukan karena adu fisik namun perang strategi. Bukan hanya sekadar sifat baik buruk Pandawa dan Kurawa namun ilustrasi strategi dan tata tertib di ladang Baratayuda jauh lebih elok diinterpretasikan.

Begitu juga dengan Pilkada bukan hanya sekadar perang para calon dan kompetisi mengumpulkan poin suara, namun bagaimana sebuah proses demokrasi terjaga. Ibarat pewayangan ada paslon berperan sebagai Pandawa. Juga paslon berperan sebagai Kurawa. Paslon menempatkan peran Pandawa tentu disyaratkan kandidat yang bakal menang. Kandidat yang kalah spontan bakal dinobatkan sebagai Kurawa. Siasat perang Baratayuda bakal berlangsung juga menarik. 

Ada poin penting membaca naskah di atas kertas-kertas cerita Batarayuda. Perang yang dibatasi waktunya baik awal dan akhir per hari. Tak ada serangan fajar. Adu strategi di pertempuran. Para pendukung dengan gagah perkasa jiwa satria. Pun tak kalah menarik ketika Sengkuni yang dikenal tokoh paling licik ikut berperang mempertanggungjawabkan kesalahan dan dosa atas terjadinya perang Baratayuda.  

Secuil pitutur atau nasihat Dretarastra kepada Duryadana yang patut diingat.Kalau mau menangnya ya tentu harus mau kalahnya. Jangan hanya mau menang saja. Kalau kalah mengamuk. Apakah itu ajaran leluhurmu? Jatidiri kamu taruh mana?” kata Dretarastra.

Lantas bagaimana membedakan apakah kandidat termasuk Pandawa atau justru Kurawa? Keteguhan hati dan nurani akan teruji. Semuanya berharap bisa memilih paslon yang bisa mengejawantahkan tokoh Pandawa. Atau kalau kurang yakin minta petuah lagi kepada punawakan. Ada pilihan. Visi dan misi mereka telah dibeberkan. Apalagi bagaimana track record mereka pasti sudah dikantongi para pemilih.

Di Bali misalnya, ada enam kabupaten/kota yang menggelar pilkada. Adalah Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Tabanan, Jembrana, Bangli, dan Karangasem. Masing-masing kabupaten/kota ini memiliki paslon dengan jumlah berbeda. Kota Denpasar ada tiga paslon. Pasangan petahana atau incumbent IB Rai Dharmawijaya Mantra–IGN Jaya Negara. Dua penantangnya paslon Ketut Resmiyasa–IB Batu Agung, dan paslon Made Arjaya–Anak Agung Ayu Rai Sunasri.

Kemudian bergeser ke kabupaten terkaya di Bali yaitu Badung dua paslon. Ada pasangan Nyoman Giriasa-Ketut Suiasa nomor urut 1, dan pasangan I Made Sudiana-I Nyoman Sutrisno nomor 2. Menuju kabupaten Lumbung Padi Tabanan terdapat dua paslon yang berkompetisi. Adalah paslon petahana Ni Putu Eka Wiryastuti dan Komang Gede Sanjaya dan Paslon Wayan Sarjana dan IB Komang Astawa Mertha.

Kabupaten ujung barat Bali yaitu Kabupaten Jembrana terdapat dua paslon. Pasangan I Komang Sinatra-I Gusti Agung Ketut Sudanayasa menantang paslon petahana I Putu Artha-Made Kembang Hartawan. Kabupaten Bangli Paslon petahana I Made Gianyar-Sang Nyoman Sedana Arta ditantang Ida Bagus Brahma Putra-Ketut Ridet.

Kabupaten Karangasem justru diprediksi paling seru. Di kabupaten dengan julukan Gumi Lahar ini terdapat tiga paslon. Adalah I Gusti Ayu Mas Sumatri-Wayan Artha Dipa (MASDIPA) yang diusung Koalisi Karangasem Hebat, I Made Sukerana-I Komang Kisid (SUKSES) yang diusung Koalisi Partai Golkar, Gerindra dan PKS, serta Paslon I Wayan Sudirta-Ni Made Sumiati (SMS) yang diusung PDI Perjuangan.

Kali ini, bebas silakan menentukan pemenang. Atau memilih tak nimbrung dan bingung tiba di ladang Baratayuda. (*)
Read More

Kamis, 03 Desember 2015

menanti parikesit winisuda

Pagelaran wayang kulit lakon Parikesit/net
PILKADA serentak 9 Desember 2015 ini menjadi sejarah baru pelaksanaan pesta demokrasi di Indonesia di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Ajang yang cukup mengundang perhatian khusus.
Di Bali misalnya ada enam kabupaten/kota yang mengikuti even penuh instrik ini yang konon disebut ‘pesta rakyat’. Adalah Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Tabanan, Jembrana, Bangli, dan Karangasem. Kini tinggal menghitung hari. Para konstentan masing-masing pasangan calon (paslon) telah menebar visi dan misi. Janji perbaikan hingga bantuan. Lumprah mencari simpati calon pemilih dengan penuh antusias.

Apalagi pasangan petahana atau incumbent seperti biasa di atas angin. Justru kini bersiap-siap menyambut euforia kemenangan. Lakon lama tetap berjaya, lakon baru membuat terharu. Bisa juga pertarungan calon melawan boneka.

Penonton berharap para calon ini bertarung dengan sistem demokrasi. Harapan terbesar tentunya akankah calon yang dilantik masih ingat apa yang menjadi janji pada saat kampanye? Kata yang begitu mudah dilontarkan hingga berbusa untuk menarik simpati massa. Mendulang empati demi suara.

Harapan kepada lakon ini tentunya bisa berbuat seperti pada sebuah cerita lama yang ditorehkan lakon Parikesit Winisuda di arena pewayangan. Lakon anak Raden Abimanyu dan Dewi Utari yang menang menduduki jabatan melalui proses demokrasi. 

Tontonan yang menceritakan antara calon yang tidak dan berambisi berkuasa menjadi orang nomor satu di sebuah wilayah. Pertarungan dan persaingan antara Raden Parikesit dan Prabu Wesiaji. Ada yang berperan sebagai Parikesit dan tentunya Wesiaji. Dua kandidat yang cukup berbeda. Parikesit menggunakan cara santun dan kesempatan menduduki puncak kekuasaan yang sebenarnya merupakan warisan dan titipan para pendahulunya.

Meski demikian, Parikesit sadar keberhasilan menjadi raja, bukan karena keprihatinan dan bukan karena kekuatan, kesaktian, dan jasa, namun menepati proses demokrasi. Sedangkan Prabu Wesiaji memilih cara menunjukkan kanuragan kesaktian, kekuatan, modal besar dan pamer jasa besar yang telah dilakukan orangtuanya.

Cerita di akhir perang besar Bharatayudha ini berawal saat Pandawa menang merebut kembali Negara Hastinapura. Lakon Parikesit menjadi tumpuan untuk dipersiapkan menjadi raja.

Namun sebelum menduduki tahta dan dikukuhkan menjadi raja, harus melalui perjuangan layaknya seorang calon berebut menjadi kepala daerah. Parikesit juga diberikan empat syarat demokrasi. 

Adalah, harus persetujuan para kerabat dan saudara. Kemudian harus mendapatkan restu dari pinisepuh Parikesit Wasi Jaladara atau Baladewa Sepuh. Berlanjut harus memperoleh dukungan dari rakyat Hastinapura diwakilkan Semar dan tiga anaknya. Syarat terakhir sifat kandel, pusaka Kalamisani yaitu keris berlekuk sembilan yang menggambarkan restu para leluhur, perintis, dan pahlawan yang telah meninggal dunia.

Meskipun telah diprediksikan menjadi calon kuat menjadi raja, namun Parikesit harus melalui jalan terjal. Utusan Prabu Wesiaji dari Negara Pringgandani meminta bagian kekuasaan. Alasannya orangtua Gatotkaca gugur pada Perang Bharatayuda. Tentunya ini mengganggu dari proses persiapan wisuda Parikesit. Bahkan terjadilah pertempuran antara Negara Pringgandani dan Negara Hastinapura yang kemudian dimenangi Parikesit. Harapan penonton tentunya sama. Setelah Pilkada nanti tidak ada lagi persinggungan. Selesai kembali pada rutinitas sehari-hari. Dan yang paling penting para calon yang terpilih ingat dengan visi, misi, dan janjinya. #melekpilkada

(*)
denpasar, 3 desember 2015
Read More

Rabu, 02 Desember 2015

kabar sang anak

ILUSTRASI/NET

“Ha ha ha.”
Dagelan apalagi yang kau suguhkan kepadaku. Aku sudah hapal betul bagaimana kau bercerita. Apalagi membujukku dengan bahan apapun. Terutama kau dongengkan tentang keberhasilan si Jo.
“Kau itu tahu apa? Aku itu yang tahu dari dia di perut ibunya. Lalu jabang bayi sampai sekarang ini. Kau kira aku ini mabuk beneran?”
Perbincangan dua teman dan tetangga antara aku dengan Jono di gubuk di pinggir kota. Siang itu. Suasana mendung terus menutup awan-awan putih. Suasana gelap semakin merapat.
“Bener Di, anakmu sekarang sudah jadi orang pengede.  Kemarin saja ia bersama pak menteri.”
Jono mencoba menyakinkanku. Asap rokok mengepul. Kami berhenti sejenak sembari menikmati tuak di botol kemasan minuman air mineral itu.
“Sudahlah. Kau ini jangan membujukku agar aku berhenti minum. Toh kita sama-sama menikmati. Apalagi batang tak bermerek ini.”
“Sudah-sudah. Bicara yang lain saja. Aku sudah bosan. Aku sudah muak mendengar cerita usang itu.”
Ya sudah kalau kamu tetap tidak percaya. Kau ini bapak tapi tak pernah tahu anak. Di mana di sekarang pun kau tak tahu.”
Jono lagi-lagi mulai mengusik pikiranku. Ia kembali mencampuri urusanku. Seperti hari-hari sebelumnya. Kalau sudah begini aku biasanya membanting satu gelas kaca. Atau kalau tidak mengusir Jono.
Tanpa berpikir panjang aku berdiri dan hendak mengambil piring di dapur. Tak begitu jelas arah jalan itu. Aku terhuyung. Kulangkahkan kaki ini melanjutkan perjalanan. Setengah mata terpejam menahan pening kepala.
Lima langkah telah berlalu. Aku benar-benar sempoyongan. Beban kepala begitu berat. Aku sepertinya menabrak. Tak terasa dan aku tak ingat lagi.
Dua hari berikutnya aku duduk tertegun di depan. Kemarin terlalu banyak minum hingga tak mampu menguasai tubuh ini. Aku terjatuh setelah menabrak lemari lalu pingsan. Sayup-sayup terdengar memanggil. Iya benar saja. Lagi-lagi Jono. Sepertinya tidak ada orang lain selain dirinya. Aku muak.
“Ini ada wartawan yang mencarimu. Bukan mencarimu, tapi mencari bapaknya Pak Menteri.”
Ngawur kamu. Mana ada bapaknya Menteri hidup seperti ini?”
Tak berlangsung lama. Tiba-tiba ada beberapa orang dengan membawa kamera menghampiriku. Ia kemudian bertanya banyak tentang diriku. Mereka mencecar pertanyaan kenapa aku berada di gubuk ini. Aku jawab dan mereka mengerti. Mereka pun berduyun-duyun meninggalku. Begitu juga dengan Jono. “Benar khan? Aku tidak bohong. Anakmu sekarang jadi menteri.”

(*)
Denpasar, 2 Desember 2015
Read More