Kamis, 03 Desember 2015

menanti parikesit winisuda

Pagelaran wayang kulit lakon Parikesit/net
PILKADA serentak 9 Desember 2015 ini menjadi sejarah baru pelaksanaan pesta demokrasi di Indonesia di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Ajang yang cukup mengundang perhatian khusus.
Di Bali misalnya ada enam kabupaten/kota yang mengikuti even penuh instrik ini yang konon disebut ‘pesta rakyat’. Adalah Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Tabanan, Jembrana, Bangli, dan Karangasem. Kini tinggal menghitung hari. Para konstentan masing-masing pasangan calon (paslon) telah menebar visi dan misi. Janji perbaikan hingga bantuan. Lumprah mencari simpati calon pemilih dengan penuh antusias.

Apalagi pasangan petahana atau incumbent seperti biasa di atas angin. Justru kini bersiap-siap menyambut euforia kemenangan. Lakon lama tetap berjaya, lakon baru membuat terharu. Bisa juga pertarungan calon melawan boneka.

Penonton berharap para calon ini bertarung dengan sistem demokrasi. Harapan terbesar tentunya akankah calon yang dilantik masih ingat apa yang menjadi janji pada saat kampanye? Kata yang begitu mudah dilontarkan hingga berbusa untuk menarik simpati massa. Mendulang empati demi suara.

Harapan kepada lakon ini tentunya bisa berbuat seperti pada sebuah cerita lama yang ditorehkan lakon Parikesit Winisuda di arena pewayangan. Lakon anak Raden Abimanyu dan Dewi Utari yang menang menduduki jabatan melalui proses demokrasi. 

Tontonan yang menceritakan antara calon yang tidak dan berambisi berkuasa menjadi orang nomor satu di sebuah wilayah. Pertarungan dan persaingan antara Raden Parikesit dan Prabu Wesiaji. Ada yang berperan sebagai Parikesit dan tentunya Wesiaji. Dua kandidat yang cukup berbeda. Parikesit menggunakan cara santun dan kesempatan menduduki puncak kekuasaan yang sebenarnya merupakan warisan dan titipan para pendahulunya.

Meski demikian, Parikesit sadar keberhasilan menjadi raja, bukan karena keprihatinan dan bukan karena kekuatan, kesaktian, dan jasa, namun menepati proses demokrasi. Sedangkan Prabu Wesiaji memilih cara menunjukkan kanuragan kesaktian, kekuatan, modal besar dan pamer jasa besar yang telah dilakukan orangtuanya.

Cerita di akhir perang besar Bharatayudha ini berawal saat Pandawa menang merebut kembali Negara Hastinapura. Lakon Parikesit menjadi tumpuan untuk dipersiapkan menjadi raja.

Namun sebelum menduduki tahta dan dikukuhkan menjadi raja, harus melalui perjuangan layaknya seorang calon berebut menjadi kepala daerah. Parikesit juga diberikan empat syarat demokrasi. 

Adalah, harus persetujuan para kerabat dan saudara. Kemudian harus mendapatkan restu dari pinisepuh Parikesit Wasi Jaladara atau Baladewa Sepuh. Berlanjut harus memperoleh dukungan dari rakyat Hastinapura diwakilkan Semar dan tiga anaknya. Syarat terakhir sifat kandel, pusaka Kalamisani yaitu keris berlekuk sembilan yang menggambarkan restu para leluhur, perintis, dan pahlawan yang telah meninggal dunia.

Meskipun telah diprediksikan menjadi calon kuat menjadi raja, namun Parikesit harus melalui jalan terjal. Utusan Prabu Wesiaji dari Negara Pringgandani meminta bagian kekuasaan. Alasannya orangtua Gatotkaca gugur pada Perang Bharatayuda. Tentunya ini mengganggu dari proses persiapan wisuda Parikesit. Bahkan terjadilah pertempuran antara Negara Pringgandani dan Negara Hastinapura yang kemudian dimenangi Parikesit. Harapan penonton tentunya sama. Setelah Pilkada nanti tidak ada lagi persinggungan. Selesai kembali pada rutinitas sehari-hari. Dan yang paling penting para calon yang terpilih ingat dengan visi, misi, dan janjinya. #melekpilkada

(*)
denpasar, 3 desember 2015

0 komentar:

Posting Komentar