Jumat, 24 Juni 2016

nun mati dan tanwin

ilustrasi/net

pada waktunya
jujur aku belum berani bertemu denganmu
apalagi aku harus menyambutmu
di tengah malam aku terus menengadah
agar kau tak segera mendekatiku
pada waktunya 
siksamu tak terukur oleh peluh
rintihku tak membuat iba
apalagi teriakanku
tak terdengar
sama sekali
pada waktunya
kau jelas 
kau terang
terkadang kau masuk 
melebur berdengung dan tak
atau kau sengaja balik mengganti
lalu kau menyamarkan 
sambil sembunyi
pada waktunya
kau dan aku terasa dekat
tak ada jarak
di depanku, samping kanan kiri
lalu kau datang di atas 
tepat menutup wajahku
pada waktunya 
aku teriak 
an-in-un!
hingga serak 
napas tersengal-sengal
lalu aku pesan
yan-yin-yun!
denpasar, 2016
‪#‎nunmati‬ ‪#‎tanwin‬ ‪#‎aninun‬ ‪#‎yanyinyun‬ ‪#‎nukiltajwid‬
Read More

Selasa, 14 Juni 2016

NASI BUNGKUS

nasi bungkus jinggo/net/ilustrasi

Musim yang aneh. Hujan terasa panas. Hujan hanya pada jam tertentu di hari tak tentu. Panas menyengat. Aku beranjak dari Lapangan Bajra Sandhi di Renon Denpasar. Seorang nenek kira-kira berusia 56 tahun berjalan penuh semangat. Menyusuri jalan civic center kantor gubernur. Di atas kepala terdapat keranjang berisi nasi bungkus. Aku mengenal nenek ini. Ia jujur, lugu, dan humor khas selalu membuat tersenyum. Supadmi begitulah nama yang dikenal di kalangan pegawai.

Aku beberapa hari ini membuntutinya. Sengaja, supaya tahu di mana nenek ini tinggal. Ketika jam pulang pegawai, ia keluar menuju ke arah selatan. Terus ke selatan. Di mana ia tinggal, tak banyak yang tahu. Aku sempat bertanya kepada pegawai kantor gubernur yang kebetulan sangat akrab dengan Supadmi, namun hasil nol. Mereka pun menjawab tidak tahu. Kalau pun ada petunjuk. “Pokok rumah paling pojok di kota ini.”

Akhirnya aku memperoleh kesempatan bertemu dan wawancara dengan Supadmi. Aku bertanya berbagai hal tentang nasi bungkus. Setiap hari, Supadmi mengaku bisa membawa pulang uang bersih minimal Rp 30 ribu. Supadmi kembali menghitung uang itu. Nasi bungkusnya tak ia buat sendiri sehingga ia menyetor uang kepada pemilik nasi bungkus Rp 1.500 per bungkus. Bertahun-tahun ia bertahan berdagang nasi bungkus. Supadmi mengaku ini bisa obat mujarat menjalani sisa hidupnya.

“Dengan begini, bagi saya sudah cukup bahagia. Tentram hati dan hidup. Yang terpenting hidup tidak merepotkan orang lain,” kata Supadmi.

Lantas aku pamitan. Kami janji bertemu lagi dan mengambil gambar ketika Supadmi jualan.

*****

Momen tepat. Ada gejolak di kalangan penjual nasi bungkus. Pemicunya kebijakan pemerintah yang semakin menjadi-jadi mengenai pajak daerah. Demi mengejar target Pendapatan Asli Daerah (PAD), pemerintah bakal menerapkan pajak nasi bungkus. Aku siap-siap mengambil gambar. Apalagi ada demo. Persatuan pedagang nasi bungkus pun jelas tak terima. Kemudian mereka demo di depan kantor gubernur.

Demo pedagang nasi bungkus masih berlangsung. Tetapi Supadmi seperti tak menghiraukan itu. Supadmi tetaplah Supadmi. Ia memilih berjualan nasi bungkus seperti biasa. Setelah dari kantor gubernur, ia menuju taman. Menyapa para petugas kebersihan. Bercanda dengan mereka yang terlihat larut menyantap nasi bungkus.
“Bu Padmi tidak ikut demo?” tanya petugas kebersihan.
“Saya berdagang saja. Kalau aku demo, terus pasukan pembersih taman siapa yang membawakan makan?jawab Supadmi sembari tersenyum.

Hari itu tampak mendung. Langit pun mulai menghitam. Tidak lama kemudian, air hujan mengucur. Tanah kering mulai basah. Supadmi usai melayani makan siang para petugas kebersihan langsung beranjak. Hujan deras terus mengguyur di kota ini. Supadmi menghentikan langkah kakinya. Ia berusaha menghindari guyuran air hujan pertama. Berhenti di pojok bawah bangunan tempat parkir rumah makan mewah. Supadmi hanya tersenyum dan terdiam sendiri.

Sejalan kemudian, seorang laki-laki beruban keluar dari rumah makan mewah itu. Saat hendak menaiki mobil, laki-laki itu tiba-tiba berhenti. Mungkin saja, ia iba melihat Supadmi yang sedang terjebak hujan. Laki-laki itu mendekati Supadmi. Hanya beberapa menit pertemuan itu. Supadmi sepertinya kenal. Entah apa yang mereka bicarakan. Namun tampak sekali, wajah Supadmi ekspresinya kesal. Bahkan Supadmi langsung pergi. Tidak peduli hujan deras.

“Kenapa Ibu menangis. Mohon maaf bila ada gambar yang tidak berkenan. Saya benar-benar minta maaf Bu.”

Aku mencoba menangkap apa yang terjadi di alam nyata. Aku melihat Supadmi yang masih terbaring di keranjang tempat tidur yang terbuat dari bambu itu. Aku memandang Supadmi dengan penuh pertanyaan. Terus terang baru kali ini aku melihat seorang Supadmi menangis. Tentu perasaan serba salah dan pertanyaan-pertanyaan bercampur-aduk. Sama sekali aku tidak menduga menjadi seperti ini. Aku mencoba mendekati Supadmi.

“Tidak Nak. Tidak. Tidak.”

Supadmi mencoba ingin mengatakan sesuatu sambil menahan isak tangis dengan air mata yang tidak bisa terbendung. Mengalir lurus melintasi kulit keriputnya. Sedangkan aku terus bertanya-tanya dalam angan. Aku bingung. Sama sekali tidak menyangka bisa menjadi seperti ini. Selama ini Supadmi yang kukenal adalah perempuan tahan banting. Penuh canda tawa dan selalu tersenyum kepada siapapun. Atau setidaknya dengan film dokumenter yang ku buat ini bisa membuat Supadmi tersenyum hingga tertawa terpingkal-pingkal. Menyaksikan tingkah-polahnya sehari-hari. Sekadar memberikan contoh dan menginspirasikan kepada orang lain.

Terlebih lagi, dengan rekaman Supadmi ini membuat prestasiku menanjak. Rekaman kehidupan sehari-hari Supadmi ini terpilih dan menjadi juara film dokumenter tingkat nasional. Beberapa bulan lagi, film ini akan diputar di festival film dokumenter di negara tetangga.  

“Tidak Nak. Tidak Nak. Nak tidak ada yang salah.” Supadmi mencoba bergumam lagi, menyakinkan jika apa yang kubuat tidak ada yang salah. Apalagi tidak mengenakkan perasaannya. Tetapi air mata Supadmi terus menetes. Aku bingung. Sesekali aku melirik rangkaian rekaman berdurasi 15 menit itu.
“Ibu tidak bisa mengobati luka hati ini. Terus saja terbawa hingga sekarang ini.”
Tiba-tiba Supadmi mengatakan kalimat panjang. Ia menghela nafas. Air mata sedikit demi sedikit mulai mereda.
 “Ibu tak ada apa-apa. Tetapi ibu masih ingat sekali dengan peristiwa itu.”
Kebingungan semakin bertambah. Ia berusaha bangkit dari tidur. Aku mencoba membantu. Rambut putih terurai tidak teratur. Supadmi berusaha ingin melanjutkan bicaranya.
Peristiwa apa Bu? Luka?”
Aku mencoba bertanya tentang ketidakpahaman dengan beberapa kali perkataan Supadmi. Suasana gubuk bambu di bawah bangunan rumah mewah ini semakin terasa. Gubuk yang sehari-hari menjadi tempat tinggal Supadmi. Aku menghabiskan waktu dua pekan mencari dan akhirnya menemukannya.
“Entahlah Nak.”
“Tetapi ibu kenapa menangis?”
“Ibu hanya tiba-tiba teringat. Masa lalu ibu yang membuat ibu seperti ini. Ibu selama ini berusaha melupakannya.”
Supadmi kemudian menceritakan peristiwa itu. Air mata menetes di pipinya. Aku dengan seksama mendengarkan.
“Kekecewaan ibu tidak bisa diobati. Hanya dalam hati, inilah takdir yang harus ibu jalani.”
“ Ada apa sebenarnya, apa yang terjadi ibu?”

***
Terik matahari di luar gubuk terasa panas. Musim hujan semi kemarau. Tak seperti tahun lalu pada Januari, hampir setiap hari diguyur hujan. Bahkan kami disibukkan banjir. Selokan-selokan tidak mampu menampung air bercampur sampah. Bisa dipastikan air meluber di sepanjang jalan Surapati, Hayam Wuruk. Tetapi sekarang? Musim penghujan telah tiba. Namun itu beberapa hari saja. Hujan bak hanya menyambut malam tahun 2016 lalu.
Hampir dua jam aku berada di gubuk Supadmi. Rasa ingin tahu dan iba terus menyelimutiku. Sesekali aku mencoba berkata atau bertanya.
“Nak. Coba ulangi gambar yang tadi.”
Aku lihat Supadmi mulai tegar. Sambil menata kain ia memperhatikan gambar-gambar secara detail. Aku putar ulang. Tepat di gambar waktu Supadmi bertemu dengan laki-laki itu.
Iya itu, Nak.”
Langsung kuhentikan.
“Tidak salah lagi.”
“Siapa Bu? Sepertinya Ibu kenal.”
Laki-laki yang mendekati ibu tadi adalah orang mengajak ke kota ini.”
Supadmi mulai membuka diri. Wajah sedih berubah menjadi keriput-keriput kekecewaan. Aku mulai sadar, sepertinya ada kenangan pahit masa lalu Supadmi. Aku terdiam.
“Lelaki itu bernama Sumarlan. Katanya dia sekarang menjadi sopir pribadi. Saat aku masih berusia 20 tahun antara ibu dan Sumarlan saling mencintai. Tetapi hubungan ini tak direstui orangtua ibu dan Sumarlan.”
Supadmi mengerutkan keningnya dan melanjutkan.
“Sebenarnya ibu sudah cukup. Banyak pertimbangan yang menganjurkan ibu berpisah dengan Sumarlan. Tetapi entahnya, ibu mengikuti Sumarlan. Kabur dari rumah hingga sampai di kota ini.”
“Tetapi itu tidak berlangsung lama. Ibu mulai ragu dengan Sumarlan. Itu karena hampir dua minggu dia tidak datang ke sini. Ibu selalu menunggu kedatangannya. Ibu harus mencari pekerjaan untuk makan sehari-hari.”
“Selama tiga bulan di sini, belum mendapatkan pekerjaan. Mencoba melamar tetapi belum diterima. Begitu juga dengan Sumarlan.”
“Yang membuat ibu kecewa lagi. Pada suatu malam, Sumarlan mengambil barang-barangnya di sini. Tanpa ada kata, langsung pergi begitu saja. Ibu mencoba bertanya, tetapi sama sekali tidak dihiraukan. Pergi begitu saja.”
Air mata Supadmi kembali menetes. Aku tertegun mendengarkan cerita itu.
“Tak lama setelah itu, Ibu melihat Sumarlan sudah bersama dengan perempuan lain.”
Supadmi terus menceritakan hubungannya dengan Sumarlan. Bahkan sebenarnya telah sampai hal yang intim.  
“Apapun ibu lakukan, hingga ibu pernah bekerja di kafe malam. Setelah cukup punya uang, saya keluar. Kemudian membeli kebutuhan tinggal di sini. Makanya, saya sangat kecewa sekali dengan dia. Tetapi semuanya telah terjadi. Saya tercipta perempuan yang biasa menanggung.”
Air mata Supadmi terus menetes dari celah sudut mata. Supadmi menceritakan, kenapa jika ditanya tempat tinggal selalu disembunyikan. Alasan agar para pelanggan kafe malam tidak mencarinya.
“Perjuangan mencari sesuap nasi. Kemauan, tekad, dan semangat Supadmi mengarungi perjalanan hidup. Tidak mudah tetapi dia jalani dengan penuh kesabaran. Kritik dan saran membangun kami harapkan. Sampai jumpa.”
Film dokumenter perjalanan pedagang nasi bungkus telah usai. Aku membereskan laptop dimasukkan dalam tas.
“Ibu, saya sangat terimakasih. Ibu telah membantu saya. Ibu telah membuat saya mengukir prestasi.”
Ibu tidak pernah merasa membantu Nak. Ibu yang terimakasih, mau berkunjung ke sini.”
Tanpa berkata, Supadmi kemudian beranjak dari tempat tidurnya. Sambil tergontai, tangan memegangi tongkat di sebelah tempat berbaringnya. Ia lantas berjalan dan mengambil nasi bungkus yang masih tersisa satu bungkus saja.
(*)

Denpsar, 2016



Read More