Minggu, 31 Januari 2016

Dentum Rodat

ilustrasi-penabuh rebana-ishari-net
Detak tangan mengiringi malam itu
Kecrak-kecrik bunyi pertemuan telapak

Rodat melandai melambaikan tangan
Sesekali jemari menengadah

Pukulan irama tareem inat tak  tak  dik
Atau melebihi tareem rojaz dik tak tak tak
Disambut tareem tak dik tak

Anggukan kepala 
Selagi membungkukkan tubuh

Lantunan perawi mendayu-dayu
Cerik pecah di tengah malam

Malam itu tak terasa jauh
Malam itu terasa teduh
Malam itu terasa cepat subuh

Lafadz begitu pilu larut terhanyut
Babak baru tentang mereka, kami, dan kita

-------*****-------

Denpasar, 2015
Read More

Rabu, 27 Januari 2016

Lalu Kami pun Berdoa

ilustrasi-net
Siang sebelum hujan. Dia menyapa lalu bertanya.

“Takdir sebenarnya bukan masalah kesempatan, tetapi pilihan. Takdir bukan harus ditunggu, tetapi takdir haruslah diraih.”

Lalu terjadi dialog.

“Betul, takdir ada dua. Ada yang sudah tidak bisa diubah, dan ada yang bisa diubah dengan kemauan sndiri. Intinya begini, Tuhan tidak mengubah suatu kaum, apabila kaum itu tidak mengubah sendiri,” kataku.

Takdir yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.
“Terkadang lebih baik merelakan dan biarkan Tuhan yang menentukan. Hanya Tuhan yang mampu menyelesaikan berbagai masalah hidup kita,katanya.

“Yang menentukan masa depan bukan kekayaan, kedudukan, dan kebahagiaan yang  dicapai, namun ke arah mana akan dibawa semua itu.”

“Tuhan telah melengkapi dengan kekuatan menghadapi semua masalah. Memang tak mudah, tapi pasti bisa melaluinya.”  

Biarkan aku menjawab meski seadanya. Dia mendengarkan.
“Iya, terkadang masalah tak mampu diselesaikan manusia.”

“Doa memberikan kekuatan pada mereka yang lemah. Membuat mereka tidak percaya menjadi percaya dan memberikan keberanian pada orang yang ketakutan.”

“Isilah hari-hari dengan doa yang tulus dan ikhlas. Dia yang bisa mengubah takdir. Bukan doa mengancam.

Lalu kami pun berdoa
“Ya Tuhan, dekatkan hamba dengan orang-orang baik, agar hamba bisa mengikuti jejak kebaikannya. Tunjukkanlah jalan agar hamba bisa membantu mereka yang membutuhkan sehingga mereka dapat terlepas dari masalah yang mereka hadapi.”

“Semoga Tuhan tetap memberikan anugerah kesehatan untuk bisa berbuat kepada sesama. Kebajikan yang diridhai-Nya. Amien.”


Denpasar,  2015
Read More

Minggu, 17 Januari 2016

fatwa mereka

ilustrasi-grafis fatwa-net
1#
sampaikanlah kabar tentang mereka
petani yang tersenyum dengan limpahan panennya
petani yang keringatnya terbayar dengan hasil jerih payahnya
atau kisah
petani yang menikmati berasnya sendiri
bukan dari luar negeri

sampaikanlah berita tentang mereka
nelayan yang tertawa dengan ikan-ikan di jala
nelayan yang membawa hasil tangkapan melimpah
nelayan yang tak urung saat berangkat mengarung
nelayan yang permanen bukan musiman
atau paling tidak
nelayan yang menikmati teri dari laut sendiri
bukan dari luar negeri

sampaikanlah warta tentang mereka
pedagang yang semringah saat hitung untung
pedagang yang tak bingung permainan pasar
pedagang yang tak terbiasa mengurangi takaran
pedagang yang tak menaikkan harga
pedagang yang tak mogok karena stok
pedagang yang suka di pasar
atau begini
pedagang yang berjualan produk hasil bumi sendiri
bukan buatan dari luar negeri

sampaikanlah dongeng tentang mereka
buruh yang terbahak-bahak saat buka lapak
buruh yang riang gembira saat menerima gaji
buruh yang tak turun jalan menuntut hak mereka
buruh yang tersenyum menerima tunjangan
atau seperti ini
perusahaan yang menerima buruh dalam negeri
bukan pabrik yang bangga dengan tenaga kerja luar negeri

2#
sampaikanlah maklumat tentang mereka
guru-guru yang bahagia dengan gajinya
guru-guru yang mengajar tanpa pamrih menagih bayaran
guru-guru yang bukan seperti legenda oemar bakrie
atau guru terbaik dalam negeri
bukan guru membanggakan diri
setelah lulus dari luar negeri

sampaikanlah fatwa tentang mereka
ulama suri tauladan
ulama perilaku teladan
ulama pembawa kabar keceriaan kepada umat
ulama pengajarkan kasih sayang
ulama yang mengerti perbedaan
bukan
ulama yang suka mengkafirkan sesama
ulama yang suka mengagung-agungkan sendiri
ulama yang hanya suka tampil di televisi
ulama yang mementingkan diri sendiri


Denpasar, 2015
Read More

Kamis, 14 Januari 2016

korban tak bernyawa #prayforjakarta


begitu riang memadukan suara
gemulai gerakan tanpa irama
tanpa kenal rupa
bunga berkembang penuh tembang
menari sembari bernyanyi
sayup sendu dipadu syahdu

pelan-pelan suara berubah gaduh
teriakan riuh mengaduh
berhamburan
keluar dari bilik-bilik penerangan
berjalan tertatih
berlari penuh penderitaan
tanpa uraian apapun
bertahan dan menahan

siang terik itu kemarin tak lagi tampak
tak ada sinar dari mana pun
selimut mendung menutup bumi
di tengah sengatan panas meleleh

mereka bercermin penuh luka
mereka menutupkan kedua telapak
tepat di wajah tanpa menengadah
bergelimpangan dan tumbang
nyawa telah melayang

butir gumpalan menetes
mengalir dari himpitan jari
air mata berderai
tak terbendung
sahut teriak serak
tabur bunga belasungkawa
doa kepada mereka

Denpasar, 2016

#prayforjakarta (Majalah Intisari)
Aksi teror kembali terjadi di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (14-1-2016). Peristiwa membuat kita berduka dan belasungkawa. Juga tanda tanya. Apa di balik peristiwa? Pengalihan isu? Siapa pelakunya? Jaringan ini dan itu? Dari siapa? Apakah ini ada hubungannya dengan agenda lain yang terkait dan dikait? Lantas dengan cepat mengidentifikasi kelompok tertentu? Apakah praktik konspirasi?

Peristiwa yang membuat benar-benar gaduh. Berita dan kabar menyebar bak bakteri sejak peristiwa terjadi. Foto terpapar pada sadisme di-unggah begitu saja. Melalui messenger dan media sosial hampir setiap sekerdip mata memandang fanpage tak terlewatkan peristiwa itu. Belum lagi berita-berita online yang tawaduk dengan mazhab speed tanpa kompromi langsung tendang. Tanpa memikirkan apakah dampak bagi pembaca. Tak kalah heroiknya tayangan televisi yang menampilkan cuplikan mengerikan peristiwa itu.

Siapa pun pelakunya dan apapun alasannya ini tidak dibenarkan. Korban telah jatuh. #prayforjakarta #prayforindonesia
Read More

Rabu, 13 Januari 2016

cerita lisan begitu terkesan


Suara Paiman tiba-tiba serak. Tepat waktu ia mengakhiri cerita tentang batu-batu besar yang ada di depannya. Ia sedikit gugup. Tangannya tiba-tiba gemetar. Bahkan rokoknya jatuh. Ia lalu berkata lirik kepadaku.

“Maaf, Yang Mbaurekso sedang ada di sini!”

Paiman benar-benar menghentikan ceritanya. Lantas ia meninggalku begitu saja tanpa mengindahkan diriku yang begitu penasaran. Belum selesai. Belum ada ending. Belum ada jawaban. Tentu saja cerita Paiman itu atau diperpanjang lagi jika Mbah Kakung bercerita menjelang malam. Tentang isi hutan jambu mente atau jambu monyet yang berada di pinggir desa. Hutan luas penuh cerita di lereng Gunung Wilis, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Tentang batu-batu hitam berbentuk bayi, kereta hingga batu peninggalan leluhur yang tak pernah kami dijamah.

Perjalanan menyenangkan, apalagi bertemu dengan orang-orang Ngliman. Mereka begitu antusias bercerita tentang air Terjun Sedudo. Sejarah sampai khasiat awet muda. Dan banyak lagi cerita-cerita lisan di sekitar kita yang begitu saja terlewatkan.

Namun, cerita lisan yang begitu terkesan ini justru dipandang sebelah mata. Apalagi bagi mereka yang tak pernah belajar tentang cabang-cabang ilmu sosial. Atau secara radikal menyebut cerita yang dibuat-buat. Mengada-ada. Tidak masuk akal. Tidak logika. 

Bagiku ini adalah ilmu. Sastra lisan yang menjadi bagian dari Folklor. Ia lahir, tumbuh, dan berkembang berdasarkan situasi dan kondisi masyarakat membentuk Folklor. Sebuah bentuk seni sastra yang melekat dalam kehidupan masyarakat. Tentu pada hakekatnya tindakan komunikasi secara vertikal maupun horizontal, yang disublimasikan sedemikian rupa sehingga tidak tampak vulgar. Ia memiliki peran sebagai alat komunikasi.

Belum lagi jika didefinisikan sebagai formulasi dari pengalaman rasa dan kehidupan batin yang diungkapkan melalui media diskursip. Bahkan tidak bersifat praktis, bukan pula filosofi atau ilmu agama, politik, dan kaidah sosial lainnya. Folklor selalu hadir sebagai unsur kebudayaan yang penting sepanjang sejarah kehidupan manusia. Folklor juga bisa diartikan atau ditafsirkan sebagai media komunikasi berekspresi, penuh pesan, kesan, dan tanggapan manusia terhadap stimulasi dari lingkungannya.

Folklor merupakan bagian dari kesenian tradisional. Sejak dulu telah digunakan sebagai sarana secara langsung dalam berbagai kegiatan. Ini tentu karena sifat folklor yang mempunyai keistimewaan yaitu bisa berkomunikasi secara langsung dengan masyarakat lingkungannya dalam bahasa yang sederhana. Cepat diterima dalam pikiran. Ini bagian episode Folklor. (*)

2016

Sejumlah remaja putri membawa kendi yang berisi air yang diambil dari air pancuran terjun sedudo saat prosesi Siraman Sedudo di Desa Ngliman, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Ritual siraman di air terjun Sedudo tersebut dilaksanakan setahun sekali menjelang purnama bulan Suro (penanggalan Jawa) sebagai simbol pembersihan diri. (ANTARA/Rudi Mulya)

Read More

Selasa, 12 Januari 2016

senyap di taman baca

ilustrasi-ruang perpustakaan-net
             Sudut tembok begitu kokoh. Batu bata bercampur semen tebal tertata rapi. Sela-sela jeruji besi membujur di depan. Suara-suara nyaring penuh amarah. Teriakan lantang mengupas ketidakpuasan. Sedangkan aku tetap bersila di tepi ruang itu. Terkadang bersujud, namun hanya sesekali. Butiran tasbih sejumlah 99 melintas di sela-sela jari tangan kanan. Mulut bergumam dengan kalam-kalam penuh arti. Kata-kata dari langit. Caraku. Itulah juga yang aku sebut bagian dari sembahyang.
Tubuhku semakin kurus meski baru tiga bulan akan berada di sini. Aku terbenam berpikir keras hingga tak lahap makan sajian yang dihidangkan setiap hari. Lebih dari itu, aku tak pernah terbayang ada di sini. Sendiri siang dan malam hari. Terkadang terlintas pikiran apa salahku? Di mana letak kemungkaranku? Atau apa yang membahayakan dari diriku? Suasana batin tak kunjung tenang. Usia setua ini masih meronta. Lantas pasrah dengan proses kematian tubuh dan waktu. Tak perlu waktu lama menunggu. Sebentar lagi pagi beranjak siang.
Bayangan mereka tiba-tiba mengangkat tubuh hingga berdiri. Anak-anak, pemuda-pemudi yang gigih belajar setiap bait yang ku ajarkan. Haus wawasan, arti perbedaan, hingga keyakinan. Datang dari pelbagai daerah dengan penuh semangat melaksanakan satu per satu syariat yang kucontohkan. Atau para orang tua yang dengan senang hati meritualkan rukun-rukun ajaran keyakinan. Dua atau tiga orang lanjut usia khusyuk berdiskusi dengan alam mereka. Terkadang juga berbincang dengan mereka yang umurnya jauh di bawahnya.
Bagiku semuanya adalah perjalanan. Di usia sekarang ini, apalagi yang kucari. Masa bahagia bersama istri, anak, dan cucu telah terpadu. Hura-hura di masa muda telah menjadi bagian cerita. “Kamu murtad. Mendustakan agama. Kau telah cederai ajaran agama. Prasojo Kastomo!”
Sayup-sayup kalimat itu membangkitkan semangat hidupku.
“Saudara-saudara. Kita beribadah menjalankan perintah-Nya. Sesuai dengan ajaran-Nya. Ikhlas, berjalan lurus, semua telah tercukupi. Keluarga telah mengerti dan berbakti kepada orang tua. Keadaan sehat tanpa adanya hal yang menjadi perintang dalam mengarungi perjalanan hidup. Jalan memang tidak selalu lurus, meski begitu kita tetap sandarkan kehidupan ini menjadi keseimbangan. Keseharian kita menjadi perjalanan yang nyata.”
Kata-kata waktu itu yang pernah kuucapkan kepada mereka. Dimengerti tanpa mengindahkan tendensi dan latar belakang. Kujelaskan arti kehidupan yang sebesar-besarnya, bebas tanpa ikatan, atau bersembunyi di balik busana.
“Kita harus hati-hati kepada mereka. Yang berpakaian serba putih, jubah. Membawa tasbih atau salib. Atau pakaian berdasi seolah mereka yang bertingkah baik tanpa ada prasangka dari luar.”
“Kalau mereka yang pakaian semrawut. Rambut gondrong, tato di sekujur tubuh, asap rokok tak lepas dari mulut. Profesi dan pekerjaan berbeda. Justru, kalau saya perhatikan sebenarnya mereka ingin bertanya atau sekadar memberi argumentasi. Tetapi mereka seolah-olah tak peduli. Begitu juga kita. Apalagi hanya instrumen yang mengubah suasana dari malas menjadi lebih agresif untuk memberi argumentasi atau opini ringan. Ah apalagi kalau ada proyek.”
Semua yang hadir bebas bicara. Proses demokrasi berjalan. Tak ada lagi voting namun penguatan argumentasi. Kebebasan seperti ini yang kami jalani.  Selama ini membuat suasana bahagia. Mereka lebih leluasa. Orangtua kasih sayang tulus kepada anak-anak mereka. Begitu juga dengan anak mereka bergerak mengikuti hati dan angan dengan riang tanpa mengecewakan orangtua. Kebaikan manusiawi begitu tampak. Mereka meleburkan latar belakang mengikuti titik fokus yang menjadi panutan.
Namun itu tak sepertiku. Ranu, anakku satu-satunya justru meninggalkan sendiri di rumah sebesar ini. Ia pergi bersama istrinya karena tidak mau ikut campur dengan urusanku. Aku relakan. Bagiku itu pilihan. Taman bunga yang ku pelihara sejak perkawinanku dengan ibunya Ranu kini menjadi tempat peraduan belajar. Aku sehari-hari dibantu pembantu setia Jono dan Mbok Yah. Segala macam urusan rumah tangga termasuk mempersiapkan kegiatan dikerjakan bersama-sama. Hari-hariku tak lepas dari membaca literatur dari buku terbitan dalam negeri dan luar negeri.
Kesepian itu tak berlangsung lama. Rumah tempat tinggalku kini selalu ramai dengan mereka. Ya, anak-anak muda, perempuan karir, ibu-ibu, dan laki-laki lanjut usia. Mereka merasakan kebahagiaan, melepaskan pemikiran atau dogma selama ini. Keceriaan mereka melepas masa senja seperti di pengujung cerita. Mereka datang biasanya pada minggu. Pagi hingga sore hari. Menikmati membaca buku-buku koleksi dan hasil sumbangan dari beberapa teman. Tumpukan perpustakaan terbuka membuat nyaman.
Koleksi buku dan tulisan menjadi daya tarik bagi mereka. Ada sebuah ruang tempat menumpuk dan memajang buku. Tak luas ruang perpustakaan di samping kanan rumah itu. Satu ruang dengan ukuran tujuh meter kali empat meter. Di dalam terdapat rak buku 300 centimeter lawan 50 centimeter dan 200 centimeter sebanyak tiga buah. Buku-buku filsafat menjadi koleksi terbanyak. Mulai dasar-dasar filsafat hingga penerapan. Literatur yang membuatku bertahan ketika di ruang kuliah saat debat dengan mahasiswa.
Kemudian buku fiksi sastra cukup banyak dibaca juga. Karya-karya pujangga lama seperti karya Hamzah Fansuri yang pertama menulis. Juga keelokan Gurindam Dua Belas karya Raja Ali Haji. Pilihannya juga karya-karya Angkatan Balai Pustaka. Ah! Novel Siti Nurbaya karya Marah Roesli tetap menjadi idola dari tahun ke tahun. Juga Salah Asuhan yang menjadi bahan perdebatan. Tak kalah ramainya ketika diskusi dengan teks novel Atheis karya Achdiat Karta Mihardja.
Satu rak khusus tempat buku agama. Teori agama adalah budaya. Sejarah manusia mencari Tuhan, hingga kitab-kitab suci agama yang ada di muka bumi. Tak sekadar itu, tulisan dan koleksi perbandingan agama, kepercayaan, dan keyakinan menjadi bahas diskusi. Bahkan tak sedikit setelah membaca tulisanku, mereka semangat mengikutinya.
Pagi hari mengikuti perkembangan kabar dalam negeri melalui media cetak yang telah menjadi langganan. Perpustakan pribadi seperti menjadi ruang semedi. Kekayaan abstrak. Namun tetap bangga ketika buah tulisan sudah mengantarkanku terbang ke mana-mana. Undangan dari luar daerah hingga ke luar negeri. Tulisan telah tersebar di negeri Nederland hingga Australia.
Tetapi itu bukan kegemaranku menunjukkan diri. Sekadar mengingatkan kepada keangkuhan baru. Muncul bersatu dengan Rahwana yang peka dengan zaman. Sedangkan Pandawa dan Rama terkubur ratusan tahun lalu. Sumbangan jiwanya menginggapi orang-orang yang arif atau sekadar pelampiasan naluri untuk mencairkan suasana. Aku bukan Dorna yang wiracarita Mahabharata mampu menjadi guru para Korawa dan Pandawa. Pintar dalam pertempuran dan membagi ilmu detail kepada murid kesayangannya Arjuna. Bahkan mampu mengalahkan kasih sayangku kepada Ranu dibandingkan Arjuna.
Anak-anak muda yang belajar di rumah tak mensia-siakan waktu. Mereka membaca berbagai buku. Tak jarang mereka juga membawa literatur sendiri. Kizil misalnya, seorang remaja penuh semangat dengan segudang pengetahuan. Ia hapal betul peristiwa 1965. Bahkan begitu detail ketika menjelaskan peristiwa berdarah itu. Tragedi kemanusiaan ia menyebutnya.
Mereka pun membentuk diskusi kecil di bawah pohon beringin di pojok. Di kursi panjang dan belakang perpustakaan. Berawal dari santai namun terkadang terbawa suasana berujung masalah serius. Pak Johan misalnya, ia bertahan dengan argumen harus tetap memperjuangkan nasib buruh ketika berbicara tentang Marsinah. Buruh yang mayatnya ditemukan di hutan di Dusun Jegong, Desa dan Kecamatan Wilangan, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat.
Beberapa di antaranya diskusi dengan ajaran hingga filsafat agama. Meski demikian, mereka justru tumbuh dengan pemikirannya. Namun ada juga mereka semakin kuat iman dan keyakinan beragama. Pak Karyo, dia adalah pensiun guru agama di sekolah dasar. Ia belajar kitab-kitab kuning. Bahkan ia tidak mau sama sekali belajar kitab yang sudah diartikan atau istilahnya kitab jembrokan. Pak Karyo tetap menggunakan pena tultul dengan tinta bahan inti pohon pisang. Ia benar-benar muslim taat. Namun ia tetap terbuka ketika diajak diskusi. Tidak hanya dengan orang-orang sebayanya, namun dengan anak-anak yang umurnya jauh di bawahnya.
“Kang sampeyan percaya dosa itu bisa dihapus?” tanya Paimo saat duduk berdua di kursi belakang rumah di suatu sore itu.
Ya tentu percaya. Setiap tindakan yang didasari dengan niat baik pasti ada pahalanya. Jadi ada amalan-amalan yang bisa menghapus dosa. Tetapi kalau sampeyan percaya.”
Pak Karyo mencoba mendeskripsikan penjelasan. Ia juga sadar lawan bicaranya adalah Paimo yang secara gagasan pikiran kiri. Ia beberapa kali mengatakan hidup ini tanpa harus melibatkan Tuhan. Hidup adalah hidup, tanpa ada campur tangan Tuhan. Namun ia dengan senang hati berbaik antar sesama manusia. Tanpa membedakan apalagi dilandasi kebencian. Paimo dulu pernah nyantri  di beberapa pesantren terkenal di Jawa Timur. Tepatnya di Kabupaten Jombang, tetapi aku lupa menyebutkan nama pondok itu.
Nah amalan itu banyak. Misalnya, berjalan ke masjid, Allah mengangkat satu derajat dan hapus satu dosa. Belum lagi kalau kita puasa Arafah dan Asyura. Puasa Arafah Allah akan menghapus dosa setahun sebelumnya dan setahun setelahnya. Kalau puasa Asyura, Allah bakal menghapus dosa setahun yang telah lalu.”
“Ini menurut keyakinan ku. Tentu akan berbeda ketika situ yang berbicara.”
Pak Karyo kembali menegaskan kepada Paimo bahwa posisi berbicara di bagian kanan. Paimo lantas memegang jidatnya. Sambil bergumam lalu menghisap rokok dalam-dalam.
“Saya sangat sadar Kang. Kita di sini berbicara bukan harus berkeyakinan. Yang terpenting saling menghargai khan? Itu menurut sampeyan dan ini menurut saya.”
“Iya saya sadar itu. Tidak masalah, apalagi saya tahu betul siapa Pai.”
Keduanya tampak terlibat diskusi lebih serius. Waktu itu aku sedang membaca buku di samping mereka. Kira-kira berjarak dua atau tiga meter. Suara mereka yang lantang membuat pembicaraannya terdengar sampai ke telingaku.
“Menurutku begini Kang. Sampeyan pasti ingat dengan teori timbangan amal baik dan buruk. Timbangan itu lah yang menjadi menyakinkan berbuat baik dan buruk manusia. Tetapi bukan bagi saya, bukan semaunya, bukan dilandasi agama.”
Paimo melanjutkan.
“Dosa itu tidak bisa dihapus. Keburukan dan kebaikan itu sama menumpuknya. Maka misalnya berbuat buruk maka berbuat baik sehingga jika nanti ditimbang maka akan berimbang. Atau lebih kebaikannya.”
Mereka kemudian melanjutkan perbincangannya. Sedangkan aku sibuk sendiri dengan bacaan terbaru. Tentang agama yang kini ramai dibicarakan. Agama Baha’i. Ku heran ketika seorang penganutnya ditolak saat membuat KTP.
Waktu terus berjalan. Hari itu, mereka pergi satu per satu. Setelah diskusi siang ramai yang riang. Aku tak merasa ada yang aneh. Bagiku sudah biasa mereka datang dan pergi. Hingga waktu menjelang petang. Lantas menapaki malam.
“Pak! Anda yang mendalangi semuanya ini.”
“Mendalangi apa? Enak saja main tuduh.”
Tiba-tiba tiga bapak-bapak penuh amarah meraih tanganku. Seorang lagi dengan wajah ditutup dengan senjata lengkap. Malam begitu kalut. Tanpa ada seorangpun yang tahu. Namun aku tetap tenang.
“Aku bukan ustaz atau kiai yang kau tuduh sebagai tukang santet. Atau seorang jaringan.”
“Bukan itu urusan saya menjelaskan ini. Kami hanya menjalankan perintah.”
“Ah, kamu ini ada-ada saja. Saya ini hanya dosen. Dosen tahu! Memang ada orang-orang yang hilir mudik ke sini, tetapi mereka belajar. Belajar ilmu, bukan kanuragan.”
Darah sudah naik di ubun-ubun. Menyatu mengepal hingga tenaga terpusat di tangan. Jari-jari pun mengepal. Namun moncong pistol tak mau diajak argumentasi. Mereka telah meletakkan tepat di tengah jidat. Sembari itu, mengunci kedua tangan ke belakang punggung. Kemudian mereka membungkus kepalaku hingga tak tahu lagi mereka ke mana. Aku pun sempat berpikir melawan. Tetapi kalau nekat nanti berujung pada tembakan kematian.
Rumah yang biasanya ramai tetapi malam itu benar-benar sepi. Tak ada siapapun. Sepertinya sudah di-setting atau mereka memang diteror dulu. Mereka diperintahkan meninggalkan rumah sebelum ada peristiwa penggerebakan itu. Aku tak menyangka dan tak mengira. Aku tak tahu mengapa bisa terjadi seperti. Apa penyebabkannya? Apa salahku?
Pikiran pendek. Mati penuh arti dan kuburan dijejali bunga. Tangisan semangat mengobarkan tanah makamku. Bunga-bunga semerbak menghiasi ke semua pemakaman. Mati tanpa arti bagi mereka, tetapi kehormatan bagi kami. Cinta kasih menyeruak ke daratan perjuangan. Antara hak dan kewajiban mereka biarkan tanpa ada keseimbangan. Apa mereka mengerti. Ketegangan dengan mereka semakin memuncak. Perjuangan telah di atas tekat hingga tinggal menolak.  Para nabi pun telah pulang ke rumah orang tuanya. Para pastur menunggu panggilan Tuhan. Para kiai mendekati sakratul maut menanti malaikat pencabut nyawa.  Aku pun tak ingat apa-apa. (*)


Denpasar, 2016
Read More

Senin, 11 Januari 2016

derai embun

ilustrasi-embun-net

Peluk erat sunyi tak bernyanyi. Rasa sayang tak terlampaui. Cinta tak terkira. Pada suatu malam. Tak tergoyahkan dalam buaian bulan dan bintang. Kami pun menikmati. Kisah tak begitu lama. Semasa semut berbaris di teras. Berhamburan ketika sang tuan merentas. bercerai berai tak bermakna. Garis penyesalan jelas melintas. Tak pernah terbayang. Bahkan hanya sebatas kedip mata. Adakah jalan pintas?

Jarum-jarum di dinding menuntun. Bukan pada kesimpulan. Babak baru perjalanan. Benturkanlah kepala pada tembok kokoh itu. Inilah akibat. Inilah azab. Inilah hukuman. Inilah kesengsaraan. Inilah penderitaan. Inilah siksaan. Inilah balasan. Inilah yang pantas.

Langkah bisu menertawakan hingga terseok-seok. Itu berlalu dan akan selalu. Berlahan berderai embun menetes bening di pipi kayu layu. Antara api dan bara. Tampak hina terkubur sirna. Teringat kisah melodi pagi tak pergi. Perjalanan singkat tak pernah senyap. Engkau yang kucinta. Sempurna. Ubahlah segalanya dan semua. Mereka dan aku sendiri. Meski tak pernah kulihat namun terasa. Biarkan rapuh, relai, reput, dan repas terbawa kata-kata.


Denpasar, 2015
Read More

Minggu, 10 Januari 2016

pul-ketimpul kang sot

ilustrasi-banjir-net
Mendung terasa suram. Mengelilingi cakrawala atas kehendak siapa? Siang tampak iba memberi arti. Matahari geli memperlihatkan tubuh dan sinarnya. Pohon menari saat air meludahinya. Burung mengitari sayap yang dikira induk. Tetapi apakah dia induknya?
Perasaan iba menyentuh dengan penuh tanda tanya. Tetapi ada yang terbang menyelamatkan burung itu? Sepintas harus dibiarkan. Itu urusan mereka yang di atas! Pertanyaan dan guman sambil meninggalkan kerumunan burung-burung itu. Sebentar ku ayunkan sepeda onthel menelusuri jalan, tikungan, dan tanjakan. Tak terasa jembatan kayu kelapa membujur. Dulu seingatku terdapat pohon beringin rindang di dua ujung jembatan itu. Setiap hari ku melintas mengajar di sekolah seberang. Sekarang aku hanya pria tua yang pindah dari tempat satu ke tempat yang lain.
Pernah aku akan kendat gantung diri di kamar mandi tetapi tidak jadi talinya putus. Patah tulang pada kaki. Aku pun pernah menancapkan jari telunjuk ke terminal listrik. Namun beruntung listrik ada pemadaman. Aku benar-benar tak kuat melanjutkan beban hidup ini. Pikiran waktu itu. Terlalu cengeng. Di manakah dia sekarang? Sepertinya beranjak dari tempat duduk.
Lantas aku pun berhenti. Tak ada rencana tentang berhenti itu. Hanya pikiran dan nurani tiba-tiba membujuk berhenti. Duduk menyendiri di atas rumput hijau. Aku hanya duduk di bawah beringin itu. Sekadar melepaskan rasa kesal dan capek setelah mengayun sepeda onthel kurang dari satu jam lebih. Sumi! Semacam bayangan yang tiba-tiba datang menyapa. Hanya pikiran yang mungkin terlalu banyak memikirkannya. Apakah dia seperti ku yang harus menanggung semuanya atau lebih?
*****

Sepoi angin menghembus. Malam begitu redup karena mendung. Udara semakin membuat tak karuan. “Adam sekarang aku sudah tahu cintamu, tetapi kamu sudah menikah dengannya.”
Kami pun makin larut dalam buaian cerita.
“Tetapi aku sangat mencintaimu. Apapun alasannya atau sebenarnya.”
“Apakah kamu tidak menimbang dulu atau memikirkan dulu tentang, mungkin keluarga. Atau anakmu yang kini sudah sekolah?”
“Sumi. Itu semua sudah aku pikirkan. Aku sudah mencapai titik.”
Cermin cembung terjadi titik fokus dalam suryakanta membakar kertas.  
“Sumi, sudahlah itu hanya dan menjadi dan tanggungjawab ku. Tak usah kau pikirkan atau kamu jadikan berlarut-larut.”
Cahaya di rumah seolah membantu menjelaskan alasan apa yang ku tawarkan dalam sebuah diskusi.
“Tidak, Adam! Nembe mawon baru saja, ada ulasan memberi alasan dalam pikirku.”
“Hubungan sudah lama dan tidak ada apa-apa? Aku menganggap hanya urusan biasa.”
“Sudahlah! Ini asing bagi mereka tetapi ini suatu budaya. Bukan tapi ini sebuah takdir yang harus mencintaimu. Sebuah kesalahan apabila mereka menyalahkan hubungan kita. Hanya sekadar ini menyalahi aturan atau yang kita kenal dengan penyimpangan sosial norma adat dan agama. Toh mereka sendiri pasti akan melakukannya. Tentu seperti kita, ketika mereka harus berurusan dengan denyut cinta seperti kita. Mereka itu siapa? Tuhan? Mereka itu hanya manusia biasa! Mereka juga bisa melakukan itu. Hak kita juga.” Keterangan yang panjang.
Langit semakin hitam entah mengapa belum turun juga hujan. Hanya suara guntur sahut-menyahut. Memberikan pertanyaan dan jawaban, tanya jawab bak dialog. Hanya bergantung kepada mereka bukan mereka bergantung kepada kita. Tuhan tidak merasa sedih apabila hambaNya tidak menyembahNya itu terserah manusianya saja?
“Adam hanya kepadamu cintaku?”
Hati berdebar tak kuasa menahan kegembiraan. Mengitari semak-semak hati. Merasuk ke seluruh organ tubuh. Seperti semut mengawali kehidupan mencari makanan, mengerubuni makanan.
“Seperti halnya diriku”.
Kebisuan malam itu menjadi nuansa baru. Membuka tali cinta kasih sayang. Semakin rindu dalam hati dan jiwa menjalin hubungan. Sedalam hati manusia. Malam makin larut. Hanya terdengar kebisingan deru mobil, sepeda motor, dan teriakan penjual bakso, tahu tek, mie ayam, pangsit, dan bak pao yang melintas di depan rumah. Tak terasa semakin larut dan romantis. Keheningan dan gonggongan anjing tetangga terdengar. Begitu juga suara binatang malam mulai memberi nuansa lain.
“Sumi, sudahlah jangan dipikirkan. Itu hanya perasaanmu saja.”
“Tetapi Adam?” Sumi memalingkan wajahnya dengan penuh kekhawatiran. Aku pun selalu menyakinkannya.
“Tidak Sumi. Semua sudah ku pikirkan. Apapun resikonya.”
Tak tahu aroma atau gendam apa yang merasuki hatinya. Seperti kisah cerita Arjuna dan perempuan- perempuan cantik yang selalu menggoda dengan ketelanjangan. Tetapi Arjuna kuasa menahan gejolak nafsu yang berakhir dengan hadiah perempuan cantik Setyaningrum. Tetapi berbeda dengan ku yang harus merelakan nafsu merajai jiwa membungkam hati nurani. Melampiaskan titik noda cinta.
Aku di ruang tamu. Malam semakin larut. Mendung pun menutup rapat cahaya bulan sabit. Terlintas bayangan gerak daun-daun tertiup angin sepoi. Dingin terasa di tubuh. Malam Senin Pon kulihat kalender bergambar foto Sumi dengan senyum simpul membias di bibir. Tanpa make up menambah kecantikanya. Jam bergambar logo Korpri menunjukkan pukul 02.00.
Dorongan kuat dari mana? Aku tak sanggup menerka. Gejolak dan gelombang menyeruak kuat. Antara nafsu dan nurani mengalami pertarungan dahsyat. Ku langkahkan kaki menuju kamar.
Kiranya burung memberikan makanan kepada anaknya. Cit, cit, cit, cit,……dari dahan yang tak kelihatan. Pohon yang rindang membentuk kerumunan helaian.
*****

Pak Adam!” Sapa Faris, muridku paling pandai. Seringkali menjadi pahlawan ketika hapalan sila-sila budi pekerti. Menyelematkan mereka yang tidak hafal berdiri hingga jam pelajaran selesai.
Pak Adam, saya ingin bertanya. Kapan seseorang dihukum rajam?”
Lintasan pertanyaan anak ini sepertinya mengingatkan peristiwa hari-hari tersembunyiku dengan Sumi. Tak perlu dijawab atau khawatir karena seharusnya orang seperti ku sudah dihukum rajam mukson.
“Nanti saja kalau akan dibahas di kelas. Bapak akan terangkan detail.”
Mungkin saja penasaran bagi Faris. Aku langsung bergegas meninggalkannya. Berjalan menuju ke ruang guru. Sepertinya anak-anak, terlebih mereka yang selalu simpati kepada ku takkan pernah mau melepaskan dan menjauh dari ku.
Pandangan ku menjauh membuka mata ketika dari atas tampak gelombang deras air. Keruh. Batu-batu besar dan bekas genangan air meluap di plengsengan, banjir.
“Sumi, Sumi…” Cinta dalam batas norma. Keharuman dan kelembutan kulitmu dapat ku rasakan.
Malam itu, 12 November 2002. Dalam buaian kasih sayang, tempat peraduan membekas tetesan darah. Perbaduan cinta membentuk nuansa insani. Kami ulangi berapa kali, tetapi hanya hitungan jari.
“Adam, apakah kau tidak menyesal nanti?”
“Tidak, tidak akan menyesal seumur hidup. Semua ini sebuah perjalanan hidup yang harus dijalani.”
“Adam…, aku hamil!” menatap langit-langit yang gelap.
“Hamil! Aku bertanggung jawab. Akan nikahi mu.”
“Tetapi,…bagaimana dengan Hesti, istrimu?”
“Hesti, Hesti akan…..”
Pring!, Pring! Pyar!  Gemuruh suara menyeruak menindas suara-suara malam. Batu yang terdampar setelah menabrak batu yang lain ketika banjir datang. Tetapi suaranya berbeda. Suara kaca pecah. Belum sempat bangun.
Pak, Pak, nekat sekali!
“Seret ke Balai Desa!”
Pak Guru tidak waras.”
Suara keras dari mereka. Sambil membangun dengan sehelai sarung. Begitu juga dengan Sumi. Mereka tampak begitu beringas.
“Telanjangi saja guru ini.” Kulihat Arpin, muridku yang tak pernah hapal pelajaran dan selalu ku hukum berdiri teriak paling keras. Mereka mengikat dan memotong rambut. “Plontos”. Menarik dan membawa ke balai desa.
*****

Gemuruh suara mereka menyerupai suara batu. Membentur batu satu dengan yang lain. Berkeping-keping dan berpindah tempat.
“Ada orang hanyut!”
Pul-ketimpul Kang Sot.”
Terdengar beberapa orang berteriak. Ku ingat selalu memori itu. Jika ada orang hanyut di sungai, maka mereka berteriak kalimat itu. Ku cari siapa orang dikabarkan hanyut. Berusaha lari menuju kerumunan orang di tepi sungai.
“Memang tadi tiba-tiba banjirnya. Pahadal di sini kan tidak hujan.”
“Tapi lihatlah Pak De, langit di atas putih hujan deras.”
Suara kerumunan terus menggetarkan telingaku. Jatuh dan jauh. Selendang ini! Benar ini milik Sumi, kaus, dan celana milik Aryo. Pakaian ditaruh di atas pinggir sungai kali kidul itu.
“Sumi….Sumi…. .“
Gumam selepas melihat gemuruh arus sungai.

;l

(*****)pl;lmkkl;m;lkm;kl
Read More