Suara
Paiman tiba-tiba serak. Tepat waktu ia mengakhiri cerita tentang batu-batu
besar yang ada di depannya. Ia sedikit gugup. Tangannya tiba-tiba gemetar. Bahkan rokoknya jatuh. Ia lalu berkata lirik kepadaku.
“Maaf,
Yang Mbaurekso sedang ada di sini!”
Paiman benar-benar menghentikan ceritanya. Lantas ia meninggalku begitu saja tanpa
mengindahkan diriku yang begitu penasaran. Belum selesai. Belum ada ending. Belum ada jawaban. Tentu saja cerita Paiman itu atau diperpanjang lagi jika Mbah Kakung bercerita menjelang malam. Tentang isi hutan jambu mente atau jambu monyet yang berada di pinggir
desa. Hutan luas penuh cerita di lereng Gunung Wilis, Kabupaten Nganjuk, Jawa
Timur. Tentang batu-batu hitam berbentuk bayi, kereta hingga batu peninggalan leluhur
yang tak pernah kami dijamah.
Perjalanan
menyenangkan, apalagi bertemu dengan orang-orang Ngliman. Mereka begitu
antusias bercerita tentang air Terjun Sedudo. Sejarah sampai khasiat awet muda. Dan banyak lagi
cerita-cerita lisan di sekitar kita yang begitu saja terlewatkan.
Namun,
cerita lisan yang begitu terkesan ini justru dipandang sebelah mata. Apalagi bagi mereka yang tak pernah belajar tentang cabang-cabang ilmu sosial. Atau secara radikal menyebut cerita yang dibuat-buat. Mengada-ada. Tidak masuk akal. Tidak
logika.
Bagiku ini adalah ilmu. Sastra lisan yang menjadi bagian dari
Folklor. Ia lahir, tumbuh, dan berkembang berdasarkan situasi dan kondisi
masyarakat membentuk Folklor. Sebuah bentuk seni sastra yang melekat dalam
kehidupan masyarakat. Tentu pada hakekatnya tindakan komunikasi secara vertikal
maupun horizontal, yang disublimasikan sedemikian rupa sehingga tidak tampak
vulgar. Ia memiliki peran sebagai alat komunikasi.
Belum
lagi jika didefinisikan sebagai formulasi dari pengalaman rasa dan kehidupan
batin yang diungkapkan melalui media diskursip. Bahkan tidak bersifat praktis,
bukan pula filosofi atau ilmu agama, politik, dan kaidah sosial lainnya. Folklor
selalu hadir sebagai unsur kebudayaan yang penting sepanjang sejarah kehidupan
manusia. Folklor juga bisa diartikan atau ditafsirkan sebagai media komunikasi berekspresi,
penuh pesan, kesan, dan tanggapan manusia terhadap stimulasi dari
lingkungannya.
Folklor
merupakan bagian dari kesenian tradisional. Sejak dulu telah digunakan sebagai
sarana secara langsung dalam berbagai kegiatan. Ini tentu karena sifat folklor
yang mempunyai keistimewaan yaitu bisa berkomunikasi secara langsung dengan
masyarakat lingkungannya dalam bahasa yang sederhana. Cepat diterima dalam pikiran. Ini bagian episode Folklor. (*)
2016
0 komentar:
Posting Komentar