net/ilustrasi |
Gonjang-ganjing
perang besar Baratayuda di medan Kurukshetra antara Pandawa kontra Korawa
begitu santer diberitakan. Beberapa kali menjadi trending topic. Beberapa hari malah dijadikan breaking news. Sejenak di sela itu tanpa disadari ada dialog. Di
tempat sempit ketika hampir terkuak siapa sebenarnya pembuat kegaduhan ini. Siapa
lagi kalau bukan Sengkuni.
Diam-diam
Sengkuni dipanggil Paduka Yang Mulia Dretarastra. Sengkuni diadili dan dipojokkan
di depan Duryadana dan kakaknya Gandari. Seperti pada sidang beberapa hari
kemarin. Frasa Yang Mulia selalu
keluar dari mulut Sengkuni. Frasa yang tepat digunakan pada zamannya di masa
feodalisme. Kalau sekarang tak pantas dong
karena telah dihapus sejak tahun 1966 silam dengan ketentuan TAP MPRS. Sengkuni
dengan tunduk lesu menjawab semua pertanyaan-pertanyaan Yang Mulia.
“Sengkuni!”
“Iya
Yang Mulia.”
“Saya
mau bertanya yang benar. Jangan kau tambah dan kurangi. Katakan apa adanya. Lakon
Baratayuda Binangun ini, kamu ikut buat atau tidak?”
“Iya
saya ikut Yang Mulia.”
“Sejak
kapan?”
“Sejak
Pandawa bermain dadu.”
“Yang
membuat Pandawa bermain dadu itu siapa?”
“Ya
saya. Karena saya bandarnya.”
Yang
Mulia Drestarasta pun semakin marah. Lantas terus bertanya dari baris ke baris.
“Jadi
kamu datang bersama kakakmu sudah punya niat ingin menumpas keturunan Begawan
Abiyasa?”
“Tidak
Yang Mulia.”
“Terus
bagaimana, karena suasananya seperti sekarang ini. Coba pikirkan perang
Pandawa-Kurawa sampai anakku mati semua. Jadi coba ulangi apa yang kau
harapkan? Ada rencana apa? Bukan perang yang kita bahas tapi apa yang ada dalam
hatimu dan di logikamu sampai membuat perang seperti ini?”
Sengkuni
tampak berang. Ia tak mau disalahkan begitu saja oleh Yang Mulia. Tak mau
ditanya bak menghakimi. Terdakwa Sengkuni. Ia pun kemudian balik bertanya
kepada Yang Mulia.
“Sebelum
berkata banyak. Apa orang sebanyak ini hanya saya yang paling jelek sendiri? Apa
wayang sekotak ini hanya Sengkuni yang paling jelek Yang Mulia?”
“Lha baikmu di mana?”
“Begitu
tunggu dulu Yang Mulia. Perlu diingat Yang Mulia. Jangan sampai melupakan budi orang
lain. Memang saya mengakui salah. Namun apa Yang Mulia tidak merasa salah?”
“Kurang
ajar kau? Ku pukul kepalamu. Kamu mencari alasan malah catut-catut
bawa nama Yang Mulia?”
“Tunggu
dulu Yang Mulia. Saya mau bertanya, Kurawa itu anaknya siapa?”
“Kurawa
itu anak saya. Dasar orang gila. Kurawa itu anakku, yang juga kakakmu Gandari.”
“Yang
Mulia dulu pernah berkata kepada saya. Sengkuni aku titip keponakanmu, carikan
kemuliaan. Sekarang Duryadana jadi raja itu yang merekayasa saya. Dursasana jadi
mahapatih saya yang merekayasa Yang Mulia?”
“Perkara
mencari kemuliaan dengan jalan yang baik itu banyak.”
“Ah
Yang Mulia. Baik dan tidak itu bergantung siapa yang melakukan. Baik saya belum
tentu bagus bagi Yang Mulia. Tetapi pekerjaan saya sudah selesai. Saya Yang
Mulia titipi anak dan sekarang sudah jadi semua.”
“Tetapi
tetap mengaku saya jadi gaduh seperti sekarang ini. Tetapi ingat Yang Mulia, rusaknya
Sengkuni bukan untuk diri sendiri, tetapi untuk memuliakan keluarga Yang Mulia.
Dan saya tanggungjawab membuat situasi seperti sekarang ini. Sekarang saya akan
tebus dosa. Saya tidak mau, Sengkuni mati seperti katak, saya malu. Manusia
penuh dengan dosa kalau mati harus gagah di medan perang.”
Sengkuni
pergi ke medan laga. Ia ingin bertanggungjawab telah berbuat gaduh dan
menyebabkan perang Baratayuda. Lalu Prabu Drestarasta berpikir ulang. Bahkan ia
mengacungkan jempol kepada Sengkuni. Ia juga merasa bersalah lalu berkata. “Sengkuni,
kelakukannya memang jelek tapi kamu masih punya sifat baik, tanggungjawabnya.” (*)
0 komentar:
Posting Komentar