Selasa, 28 November 2017

tiang pun kusembah

tiang listrik/ilustrasi/net

Malam itu begitu riang, tetapi begini-begini;
Kami masih usia belia. Baru saja tamat dari studi S-1, kata orang sarjana muda. Semangat dan kemauan meledak-ledak. Bermodal fotokopi ijazah legalisir banyak, kami pun melamar di mana-mana. Mulai sekolah negeri dan sekolah swasta.
“Kamu dapat informasi lowongan dari mana?”
“Dari koran.”
Singkat cerita kami pun diterima kerja di media. Lalu kami bercengkrama dengan orang-orang yang lebih dulu bekerja di media itu. Malam menjadi istimewa karena itu waktunya jamuan. Semacam jamuan malam atau baiat, konon katanya. Kami berkumpul, bagi yang suka minum silakan, bagi yang tidak ya silakan. Moderat saja dan toleransi. Saling menghormati antar umat peminum dan tidak peminum.
Nah, malam makin larut. Satu botol dua botol telah bercampur cerita.
“Kamu kok tidak minum?”
“Nanti kalau aku minum, siapa yang menjadi penunjuk jalan. Hahahaha.”
“Alasan,”
“Seribu alasan.”
Malam beranjak pergi, sedangkan minuman tidak ada habisnya. Namun dini hari akhirnya memisahkan malam itu. Dan pembicaraan dalam perkumpulan mulai tidak tidak terarah. Akhirnya pun kami bubar. Kami memilih pulang, namun ada teman yang belum beranjak. Dia diam. Lalu berlari dan muntah-muntah. Ia berdiri tepat di bawah tiang depan kantor. sambil muntah ia pun berteriak-berteriak.
“Tuhan-tuhan,”
“Lho-lho, ini tiang listrik kau sebut-sebut tuhan.”
“Sepertinya aku bertemu tuhan.”
“Tuhan gundulmu, ini tiang listrik. Kau mabuk.”
“Asli aku tidak mabuk. Tuhan-tuhan aku menyembahmu.”
Benar dini hari itu berubah menjadi ritual. Seorang dari kami menyebut tiang menjadi tuhan. Ya sudah mumpung tiang masih tegak berdiri. (*)

0 komentar:

Posting Komentar