Rabu, 29 Juli 2015

sajak-sajak pengasingan

ilustrasi-net



tragedi kelam 

keheningan malam itu tak sanggup mengetuk hatiku. terkutuk dalam kebiadaban angkara murka. menggores luka lama yang tak pernah teringat lagi. melintasi nisan di bahan dahan purnama.

bisikan lembut merasuk jiwa dan raga. menghapuskan napas-napas cinta. harapan di angkasa raya. hembuskan benih-benih kejernihan pikiran.

kisah dan kasih terpeluk sendi-sendi jiwa. kalut menguncang tulang-belulang. mencabut menghampiri tanpa mimpi. antara lagu kematian atau alunan sendu.

kemudian sabda-sabda cinta menyayat hati. kalam murni tak jauh ke dalam. pelukan jagat duniawi. menyirami debu-debu iri dan dengki. hasrat melangkah meratapi hingga nanti.

kelam terkubur dalam
indah dan terindah
turun mengguncang jiwa-jiwa terharu
cakrawala berubah jadi nyata

goresan frustasi

perjalanan tak pernah berhenti di sini. masih panjang entah sampai kapan.
namun kaki rasanya tak mampu lagi. harapan hanya impian. memberi terbaik tak kuasa. apalagi menyuguhkan kenyataan. pikir ku.

kembang tak mungkin mekar lagi. semampai hingga jatuh di pagi hari. embun-embun pagi menetes tanpa henti. ketika daun terpancar sinar matahari. terpaku di sebuah tempat itu. setelah berlari tak tentu. berfikir hingga tak sampai waktu. tak menentu.

sayup-sayup angin menyapaku. menolehkan pandangan pada batu itu. air jatuh tepat di tengah lempengan. menatap penuh ingatan. pesan itu. batu sekeras apapun. jika ditetesi akan berlubang. apalagi aku?

beranjak. berjalan. semua belum akhir. demi masa

senja diri 

kemudian berkata-kata. merangkai indah. menyisir alunan sendu. dongeng cerita masa itu. terbingkai meski di antara belukar. kemudian mengisi hari-hari penuh arti. tanpa memandang yang lebih tinggi. berangkat dari awal dan tak terhenti. berpijak dan melintas meski di tepi

kemudian bercengkrama memadu. ya! perbedaan yang pernah ada. menerima dan saling mengisi. bernyanyi meski hanya lantunan syair. kemudian merindu haru dan pilu. membekas di reruntuhan kayu layu. diterpa angin dan tetesan hujan sayu. butiran air mata tandamu. dan kemudian garis tinta itu. ya! tak nampak lagi.

sayap pengampunan

demi masa yang telah terlewati. hapuskanlah keangkuhan diri. bulu-bulu yang mengotori bumi. yang terlena dan lupa diri.

demi jiwa-jiwa yang terpana. sadarkanlah tetesan air mata. beku hati termakan waktu. terbujuk keelokan rayuanmu.

berpijak tak pernah tampak
dituntun tongkat berontak

demi jiwa yang meronta. saat hembusan terakhir. berikanlah jeda berpikir. hingga tak ada lagi selimut kikir. sambut sengal dengan alunan dzikir

merintih menambah pedih. sedih semakin perih. hitungan cambukan tak terkira rasa. terkatung-katung di alam kedua. irisan dan sayatan sengasara.

menghempaskan kebahagiaan
berdiri di hamparan gurun kesepian

demi napas yang terbatas. bentangkanlah sayap pengampunan. runtuhkan jasad-jasad congkak. tundukkan kepala hingga tak beranjak. meski hanya sejenak.

denpasar, 30 juli 2015
Read More

Selasa, 28 Juli 2015

pdip baru saja cicipi koalisi golkar

ilustrasi-net

Pemilihan kepala daerah atau lazim diringkas Pilkada edisi 2015 bakal digelar serentak. Tak terkecuali di Bali. Pulau Dewata pada ajang pesta demokrasi langsung bakal menggelar enam even di enam kabupaten-kota. Adalah Kota Denpasar, Badung, Tabanan, Jembrana, Bangli, dan Karangasem. Praktis Selasa (28/7/2015) masing-masing pasangan bakal calon (balon) bupati dan wakil bupati mendaftarkan diri ke masing-masing komisi pemilihan umum (KPU).

Tentu masing-masing paket punya cara saat mendaftar di KPU. Yang pasti mereka membawa massa sebagai simbol show force awal. Ya paling tidak, ini bagian dari unjuk kekuatan calon pemilih. Ada yang bawa banteng lengkap dengan akseorisnya. Ada juga yang didampingi tokoh kera sakti cerita epos ramayana yaitu hanoman. Ada juga naik naik dokar bak berada di kereka kencana dan masih banyak lagi.

Di Bali tak lazim jika PDI Perjuangan (PDIP) tak memasang calon dari kadernya untuk bertarung pada gong demokrasi ini. Maklum Pulau Dewata adalah kandang banteng perjuangan yang tak pernah surut hingga sekarang. Dan bisa dipastikan para calonnya dengan 'mudah' melenggang ke singgasana bupati dan wakil bupati. Suara fanatik tak kan pernah terkalahkan meski diiming-imingi perubahan atau sekadar sogokan. Ya kemenangan dengan raihan angka 75 persen menjadi angka yang lumrah.

Seperti edisi pilkada serentak ini misalnya, dua kabupaten yaitu Tabanan dan Jembrana, serta Kota Denpasar bisa dikatakan menjadi ladang suara calon dari PDIP. Tentu paket lawan akan ketar-ketir. Maklum keempat paket itu, Ni Putu Eka Wiryastuti dan I Gede Komang Sanjaya atau Eka-Jaya (Tabanan), Artha-Kembang atau Abang (Jembrana), Made Gianyar dan SN Sedana Arta (Bangli), dan cawali dan cawawali kota Denpasar IB Rai Dharmawijaya Mantra-IGN Jaya Negara atau Dharma-Jaya (Denpasar) merupakan paket PDIP dengan sumber basis massa yang real. Keempat juga merupakan paket petahana atau incumbent. Praktis keempat paket ini diprediksi dengan mudah menjungkalkan para penantangannya.

Bagi pasangan Eka-Jaya tentu tak sulit untuk mempertahankan kekuasannya untuk kedua kalinya. Apalagi, secara historis Tabanan ladang termerah bagi PDIP. Paket Abang tentu juga akan mudah mendulang suara. Ini karena, di Jembrana muncul dua paket lagi yaitu pasangan yang diusung Koalisi Bali Mandara (KBM) I Ketut Wirawan-I Made Suardana (Wiradana), dan paket dari Forkap I Komang Sinatra dan I Gusti Agung Ketut Sudanayasa atau SIGY. Kondisi serupa juga terjadi di Kabupaten Bangli. Apalagi pasangan calon wali kota dan wakil wali kota Denpasar Dharma-Jaya yang bakal menghadapi penantang jago KBM Ketut Suwandhi-Made Arjaya.

Nah, kondisi berbeda memang terjadi di Kabupaten Badung dan Karangasem. Dua kabupaten ini dalam dua periode pilkada selalu mengantarkan kemenangan paket yang diusung Golkar dan kawan-kawan. Di Karangasem bakal terjadi tiga pertarungan tiga paket I Made Sukerana dan Komang Kisid (SUKSES)  dengan pengusung Golkar dan kawan-kawan. Masdipa (IGA Mas Sumatri dan Wayan Arthadipa) paket yang digawangi NasDem, dan pasangan andalan PDIP Wayan Sudirta-Ni Made Sumiati.

Khusus di Badung digadang-gadang bakal terjadi pertarungan seru head to head yang Nyoman Giri Prasta - Ketut Suiasa (Giriasa) dan paket Made Sudiana - Nyoman Sutrisno (Badung Bagus). Giri Prasta Ketua DPC PDIP Badung dan Suiasa Ketua DPD II Golkar Badung. Sedangkan Sudiana Wakil ketua DPD II Golkar dan Nyoman Sutrisno politisi Demokrat.

Di kali kedua even pilkada langsung, calon PDIP selalu terjungkal dari pasangan yang digerakkan Golkar. Meski secara akumulasi kursi di DPRD PDIP menguasai. Namun tak cukup membantu calonnya pada persaingan Badung I dan II. Di Kabupaten terkaya di Indonesia ini, calon PDIP terjungkal dengan perolehan suara kalah telak.

Pada edisi 2010 lalu misalnya, pasangan Prof Wita-Wayan Disel (Widi) tak mampu mengimbangi kedigdayaan AA Gde Agung-I Ketut Sudikerta (AS). Tetapi kala itu, Paket Widi memang tidak didukung sama sekali dari partai lain. Bisa dibilang waktu itu, PDIP dikeroyok 13 parpol koalisi yang dimotori Golkar dan Demokrat.

Berbeda dengan tahun ini, pasangan Golkar sudah 'terpecah belah'. Suiasa cawabup dari PDIP merupakan pentolan Golkar Badung karena menjabat Ketua DPD II Golkar Badung. Ia pun tercatat Ketua Tim Pemenangan paket AS pada edisi lima tahun lalu. Sejarah baru bagi PDIP bisa menggandeng Golkar. Sekarang PDIP baru saja mencicipi berkoalisi dengan Golkar di ajang Pilkada. Harapannya tentu dengan format seperti ini akan menjungkalkan pasangan Badung Bagus.

Secara geografis, paket Giriasa ini tentu paket 'idaman' bagi warga yang fanatik dengan bentuk wilayah seperti keris ini. Giri dari ujung utara (Pelaga-Kecamatan Petang) dan Suiasa asal ujung selatan (Pecatu-Kecamatan Kuta Selatan). Jauh berbeda ketika dibandingkan secara geografis dengan Paket Badung Bagus yang keduanya berasal dari Badung tengah. Sudiana berasal Canggu, Kecamatan Kuta Utara, sedangkan wakilnya Nyoman Sutrisno tetangga desanya dari Cemagi-Kecamatan Mengwi.

Namun, kader di PDIP belum yakin paket Giriasa bisa memenangi pertarungan ini. Bahkan ada yang menyebut paket ini memang cukup populer di kalangan atas namun tak sepopuler calon lain di kalangan bawah. Bahkan ada bayang-bayang kegagalan PDIP Badung yang ketiga kalinya atau hattrick.

Tentu ini menguntungkan bagi PDIP dan tentu bagi Golkar bila paket Giriasa menang. Paket Giriasa dinilai adalah langkah strategis Golkar di tengah kisruh dua kubu ARB-AL. Golkar sengaja memasang Suiasa dengan asumsi nanti akan mendapatkan jatah Badung II. Sedangkan jika Sudiana-Sutrisno memang bakal akan lebih lagi, Golkar menangi Pilkada lagi. Tetapi semuanya masih perlu dicari kebenarannya. Jadi patut ditunggu, siapa nanti yang bakal pemenang laga head to head Giriasa dan Badung Bagus ini. (*)

denpasar 28 juli 2015
Read More

Senin, 27 Juli 2015

ku panggil petruk saja

ilustrasi-net

mereka sepertinya tak bisa akur
bercerita apa saja meski melintasi alur
ada situasi hanya duduk sambil mendengkur
jika bangun saling singkur
bersama meja dan gelas sesloki lalu jatuh tersungkur

hari berganti makin panas
kemarau panjang tak kunjung hujan
memeras keringat di malam hari bagai terik matahari

konon negara ini besar
menjunjung tinggi perbedaan
bukan saling bertikai

atas nama demokrasi
tak lebih dari konotasi
atau interpretasi sensasi

bayangan kian nyata di depan mata siapa saja
tak ada lagi kata siluman dengan sinopsis tandingan
layaknya sebuah pertandingan
yang jadi tontonan dini hari tadi
sambil membujurkan kaki
ada bayangan dan tandingan
tanpa sembunyi-sembunyi

siang disorot matahari
malam diterangi bulan

negara tandingan
negara bayangan
negara siluman
atau negara?

sang dalang bergegas turun tangan
dengan senang hati mengambil peran
menggerakkan dan memainkan para wayang
membuka alur cerita napas panjang

petruk jadi raja!
ya! petruk berwujud raja
namanya prabu kantong bolong
mana bisa jongos jadi penguasa

yang terpenting protes tatanan tak beres
meski tak lama hanya semalam

ia pun melabrak kahyangan
mengobrak-abrik tatanan
ajang lokasi ladang ketamakan
tempat para elite selingkuh
memanipulasi apa yang dia bisa

semua pun mematuhi titahnya
buka aib semuanya
menjungkir-balikan negeri awang-awung
revolusi dan efesiensi lalu dikenal pemimpin revolusi

ajak kiai semar turun mediasi dan selesai

meski cerita yang konon jadi trending topics
pada masanya atau suatu masa

(*)
Read More

Minggu, 26 Juli 2015

samboyo

ilustrasi - net

TABURAN bunga di atas pusara kuburan itu tak terlihat lagi. Kembang setaman, mawar, melati, kanthil, irisan daun pandan wangi, dan kenanga yang ditaruh saat nyekar tak tercium lagi. Kijing-kijing menyempitkan ruang gerak di sela-sela kuburan. Tertutup tanah-tanah akibat injakan. Batu nisan lengkap dengan nama almarhum tertata rapi. Kuburan hari itu benar-benar terasa sesak. Warga satu kampung kami larut dalam perayaan. Seperti hari raya. Perasaan begitu gembira menyambut hari nyadranan.
“Amien."
Suara warga saat Pak Kiai membacakan doa. Dan terkadang keluar lantang setengah teriak.
"Kabul kajate."
Teriakan Kang Wasimo tiba-tiba terdengar di tengah suara amien. Bapak paruh baya yang hampir setiap hari mengenakan slambruk. Celana yang pakai Mbah Ngadimo saat pentas jaran kepang. Ia percaya di kuburan itu ada Sing Mbaurekso yang menunggu setiap waktu.
Selesai doa, mereka tampak semringah dan lega. Tiba saatnya yang ditunggu-tunggu. Berkat kondangan nasi bungkus dan kotak yang dibawa masing-masing warga. Awalnya tertib, saat dibagi pamong desa. Nasi yang masih menumpuk di pojok kuburan itu kemudian jadi rebutan. Mereka riang gembira membawa nasi-nasi bungkus itu. Memilih lauk yang dirasa paling enak.
Lantas, berduyun-duyun melintasi rel kereta yang membentang garis tengah wilayah dusun ini. Sambil berjalan banyak membicarakan tentang lauk. Ada ayam, telur, tahu, tempe dan tentunya iwak kali.
Mereka menenteng berkat nasi kotak dan bungkus daun pisang. Satu tak cukup. Bahkan ada yang membawa satu kresek plastik berisi empat hingga lima nasi bungkus. Ada juga yang menyunggi di atas kepalanya tiga kotak nasi.

*****

SETELAH siang kondangan di kuburan, malam dilanjutkan dengan acara tradisi seperti tahun-tahun sebelumnya. Tembang Campursari menyapa dan mengema di pertigaan Dusun Pandansari di Desa Klampisan. Tepat di depan halaman Pak Sukidin Ketua RT. Suara gemuruh anglung bersaut-sautan. Bersamaan itu beriringan suara gendang, gong, dan ketipung.
Pedagang mainan tak pernah ketinggalan. Anak-anak berkerumun membeli atau hanya sekadar melihat. Namun malam itu, memberikan nuansa lain kepadaku. Saat air sungai Mentaos mengalir begitu datar. Sebenarnya semua takkan pernah sama saat tujuh tahun lalu.

*****

JAM sebelas malam lebih, ku tembangkan lagu Ojo Dipleroki. Tembang ini tentu tidak asing lagi bagi tetanggaku dan penonton waktu itu. Selalu mengundang penonton untuk berjoget bersama. Para penari kepang terus memukau penonton. Makan kaca lampu. Makan ayam hidup-hidup. Malam itu, sebagai puncaknya disuguhkan atraksi kethean kera jadi-jadian.
Malam itu aku tak sampai di puncak acara. Setelah menembang Ojo Dipleroki mata terasa mengantuk sekali. Memilih keluar, menuju ruang ganti sekadar istirahat menjujurkan tubuh dan merenggangkan otot. Mbah Ngadimo mengizinkan.
“Kamu tak ikut nembang?”
Tiba-tiba suara tak pernah ku kenal menyapa. Kaget bukan main karena saat itu aku hanya mengenakan pakaian dalam. Tetapi sebenarnya hal yang sudah biasa. Selesai pentas, seringkali aku bersama teman sinden lainnya hanya mengenakan seadanya berkumpul evaluasi.
Nggak. Ngantuk.” Jawabku pelan.
“Kalau begitu aku menggangu?”
Aku terbangun dan menoleh ke belakang dan mata sedikit melotot. Seorang laki-laki tampan. Tetapi ada apa sampai masuk ruang ganti? Tak masalah semuanya sudah biasa. Keheranan yang lumprah.
“Namaku Triyanto.”
Merasa tak sabar dengan jawabanku, dia menyambut dengan memperkenalkan dirinya.
“Aku Mariati.”
“Aku ini anak Pak Kidin (Sudikin).” Dia menceritakan perjalanan hidupnya hingga sekarang.
“Kamu sudah lama ikut Sampurno Putro?”
Aku sejenak terdiam. Membisu menangkap cerita-ceritanya begitu runut.
“Kira-kira setelah lulus dari SMA kemarin dan...”
Setelah lulus SMA tak melanjutkan sekolah. Saat itu, mengikuti lomba karaoke Campursari di kampung dan menjadi juara. Mbah Ngadimo tertarik dan  menjadikanku sinden.
Aku menahan rasa terperanjat seolah tersentak. Kaget tangan Tri merangkul pundakku. Sepertinya rikuh. Perasaan lain. Tetapi lama-lama semuanya hilang. Tidak jauh dari hal-hal yang sudah biasa dalam kehidupan saat dapat job menari Tayub. Hal yang sangat biasa. Saat Pak Kidin memasukkan tangannya ke pakaianku sambil menempelkan uang.
Perbincangan kami tak terasa mengajak semakin larut malam. Rasa kantuk yang merambak tubuhku sedikit demi sedikit hilang. Bahkan sekarang badanku tak terasa sakit. Mata berbinar. Terang. Perbincangan semakin meluas dan membuatku tertarik bicara dan bercerita. Terutama soal kesenjangan, kecemburuan dan kecanduan cinta. Kegirangan cinta serta keharmonisan. Menyentuh hati. Memeras perasaan kasih sayang terhenti begitu saja.
“Mbak Mar! Waktunya nembang!”
Tri langsung keluar. Aku segera memakai pakaian lengkap. Malam semakin larut. Penonton terkantuk-kantuk. Terpancar di raut mukanya dari sorot lampu yang menyinari mengenai tepat wajahnya. Terlintas cerita Tri. Pikiran terbawa semua yang dibicarakan dan diceritakan Tri. Ku tembangkan Ande-ande Lumut. Waktu menjelang subuh. Dini hari telah terlewati.
*****

BEDA dengan Dusun Pandansari. Desa Mloko lebih semarak lagi meramaikan upacara Nyadranan. Tidak tanggung-tanggung mereka harus membayar iuran Rp 50 ribu tiap kepala keluarga. Tontonan dua hari dua malam penuh. Pagi hari mereka kondangan di puri dekat lapangan desa. Terdapat empat pohon besar rindang. Di sinilah mereka memberikan sesajen dan makanan setiap bulan.
Apalagi bulan Suro mereka setiap hari mereka memberikan bunga. Setelah itu menonton campursari dan kledek hingga sore hari. Malam harinya pagelaran Samboyo seni tari jaran kepang. Mereka pun mengundang grup Sampurno Putro. Berarti aku ikut.
Di balai desa tempat pentas. Sampai akhirnya semua sudah siap dengan kostum. Memang seringkali merangkap menjadi tata rias sehingga terakhir merias dan tampil di pentas.
“Mbak Mar! Ada mencari.”
Aku sudah menyangka Triyanto. Memang benar.
“Nanti malam aku mau bicara.”
Seolah singkat dia berkata dan spontan menganggukkan kepala. Suara para penonton memberikan sambutan para penari kepang, tawa, tepuk tangan, dan sesekali mereka menggoda penari jaran dengan meniup bibir.
Malam semakin larut. Tiba waktunya. Aku izin ke Mbah Ngadimo. Sesuai perjanjian tadi sore, aku harus menunggu di belakang balai desa. Tak lama kemudian laki-laki itu sudah tampak.
“Sudah lama?”
“Belum. Mau bicara apa?”
“Aku mau ada perlu denganmu!”
“Perlu apa?”
“Ayo ke rumah Bu De Sus.”
Tri mengajak dengan cekatan menarik tanganku. Gemulai tangan tak kuasa menolak. Jarak balai desa dengan rumah Bu De Sus tak jauh. Hanya beberapa menit sudah sampai. Asing bagiku rumah begitu besar berarsitektur Jawa. Joglo. Berdinding tebal. Bangunan kuno. Tampak jelas. Di sampingnya ada pohon mangga, rambutan, nangka, dan paling ujung salak. Di halamannya tanaman bunga tertata dan terdapat kebun kecil.
Di dalam. Ruangan begitu luas terdapat kurang dari enam sentong kamar. Triyanto langsung menarikku ke sentong paling ujung. Tak sempat ku lihat keunikan atau keindahan sentong itu. Ia meninggalkanku. Kemudian datang dengan membawa dua gelas.
“Minumlah, santai aja…”
Triyanto memberi segelas kepada ku. Rasa jeruk manis hangat. Ku teguk beberapa saja. Ku kembalikan ke meja kecil dekat pintu.
“Manis? Maklum buatan sendiri.”
“Sebenarnya ada apa?”
Aku mulai membuka penasaran yang membalut di kepala.
Seperti biasa Triyanto hanya menjawab dengan singkat. Tanpa membelitkan kata-kata. Tetapi bagiku ini suatu yang tidak lumprah.
“Mencintai ku?”
Pertanyaan sudah tak dijawab Triyanto. Entah tiba-tiba kepalaku pening. Apakah aku telah diracun? Atau dia memasukkan obat? Aku tak sadar diperlakukan seperti apa oleh Triyanto.
Sayup-sayup suara pecut Mbah Ngadimo tiba-tiba terdengar. Gambelan gendang dan angklungnya lamat-lamat. Aku sadarkan diri sesadar-sadarnya. Aku lihat Triyanto masih tidur di sampingku.
“Tri! Aku kembali ke balai desa. Mereka pasti mencariku.”  Tri mengiyakan dengan gerakan kepala dan sambil berusaha bangun. Aku kembali ke balai desa dan diantar Triyanto.

******
HARI-hari berikutnya Triyanto semakin sering bermain ke rumah ku. Kami pun sering berhubungan intim dengan Triyanto. Hasilnya positif hamil. Triyanto menepati janjinya. Dia menikahiku. Pernikahan begitu sederhana walaupun Triyanto tergolong keturunan orang berada. Hanya para kerabat dan teman-teman ku yang datang. Begitu juga Triyanto hanya mengundang kerabat dan teman dekatnya.
Lusi anak pertama lahir. Lusi pun tumbuh dan berusi lima tahun. Wajahnya mirik wajahku. Seperti itu kalau menurutku. Setahun kemudian aku melahirkan anak kedua laki-laki dan kami beri nama Usin.
Namun, kehidupan kami berubah. Triyanto yang selama ini ku kenal. Atau setelah tujuh tahun ku kenal sebagai orang tanggung jawab harus ku tinggalkan. Ku akhiri sendiri hubungan ini. Saat itu sedang sibuk mengurus pagelaran Festival Samboyo di tingkat kecamatan karena sebagai tuan rumah Sampurno Putro. Begitu sibuk.
Tiba-tiba kabar sangat mengejutkan. Hal yang tak lumprah, tetapi wajar. Seperti ingin sekarat meninggalkan alam ini. Badai menghantam perahu di tengah samudra. Sempoyongan. Tertatih. Merintih dan menjerit tanpa batas. Ternyata Triyanto kepergok orang kampung berbuat mesum dengan Minuyah teman kantornya. Mereka pun diarak ke balai desa.
Kesedihan hati tak bisa ku tahan. Aku pun meminta cerai dan berhasil. Ku curahkan hidup kini menghidupi Lusi dan Usin. Meniti hidup mencari penghasilan meneruskan budaya dalam kesedihan yang sulit terlupakan.
Biarlah Mbah Ngadimo sebagai bapak mereka. Walaupun umur semakin senja. Tetapi dia bisa memberi suasana baru dan keharmonisan antara dia denganku. Seperti kalanya pasangan lainnya. Terhadap anak-anak juga. Mbah Ngadimo sosok bapak yang disayangi dan disegani. Bahkan begitu akrabnya, Lusi dan Usin sering tidur di rumah Mbah Ngadimo. Haruskah aku menjalani hidup baru lagi dengan Mbah Ngadimo? Entahlah. (*)

denpasar, 26 juli 2015
Read More

Rabu, 22 Juli 2015

semak peraduan

aku ciptakan lagu merdu 
bukan untuk pengobat rindu
aku ciptakan lagu bersedih
bukan untuk merintih

aku ciptakan lagu gembira
hanya untuk bercanda
aku ciptakan lagu riang
hanya untuk bersenang-senang

tak lama ketika aku melihatmu tertunduk lesu
tak lama setelah aku mencarimu

kejadian itu hanya lintasan waktu
berlalu setelah diterpa pagi hari
siang hari hingga malam hari
dan berganti pagi hari tiba

kejadian itu hanya roda berjalan
berlalu setelah berada di putaran

saatnya engkau bangun
bangkit mengobati yang sakit
berdiri memberi yang dikebiri
berjalan meluruskan ketimpangan
berlari menyapa penuh arti
tentang semua hal
tanpa pandang siapa mereka

mari menuju persatuan
mari bersama-sama
bergandengan erat
isyarat perdamaian
tanpa syarat
















ilustrasi-net
Read More

Selasa, 21 Juli 2015

euthanasia


ilustrasi-net

JAS hujan meneteskan air membasahi tanah. Cangkul terus ku ayunkan begitu perkasa. Cahaya sorot lampu dari rumah Pak Slamet benar-benar membantuku. Menerobos melalui celah daun pohon. Ku terus melanjutkan. Menggali entah berapa meter atau kurang satu meter. Tidak pernah ku lakukan hal seperti ini sebelumnya. Namun semua tak kuhiraukan.

Keheningan malam terus menyelimuti alam. Begitu semerbak bau wangi menusuk hidung. Di samping kanan kiri tegak pohon-pohon Mojolulo. Buahnya berserakan di atas tanah. Juga ada yang baru jatuh lalu menggelinding. menelusuri jalan setapak di kuburan itu.

"Apakah arti ini semua?"

Selalu muncul dalam pikiran. Terlalu dini menghakimi diri sendiri. Kekacauan hati. Atau sekadar ketakutan dan kegundahan merambah tanpa henti.

"Dia telah meninggal dunia. Biar dia tenang di alam sana."

Seorang tokoh agama menuturkan kepadaku. Nasihat tiba-tiba atau hanya ingatan saja. Kebingungan bergejolak dalam hati.  "Ah, hanya perasaanku saja." Seribu guman dalam hati.

Mulai membuka tutup kebingungan. Mereka berucap karena tidak pernah mengalami suasana sepertiku. Mengarungi hari-hari dengan penuh kesabaran. Di tengah samudra cobaan. Bertahan saat badai menerpa. Seharusnya aku semakin bangga.

Suasana malam itu mencekam tak larut di tubuhku. Batu-batu kecil widhaan yang ditiup setelah membaca Surat Al Ikhlas berserakan. Berpencar. Melepaskan belenggu tanah lalu pergi.

"Kamu ini bagaimana! Itu namanya sudah durhaka kepada orang tua! Lagi pula itu sudah termasuk dalam kategori hukum pidana."

Kata Samsu memberi petuah seperti khotbah. Seringkali hanya sebagai bahan bacaan yang tak sedikit tak diindahkan.

"Saya ini Sarjana Ekonomi. Istri Sarjana Hukum."

Lebih intelektual. Cerdas dan berpendidikan daripada Samsu yang hanya lulusan pesantren. Bagiku semua itu logis. Masuk akal dan lumrah. Hal yang biasa-biasa saja.

Crok, crok, crok, crok.

Galianku semakin dalam menuju ruang landak. Semoga semuanya berjalan dengan lancar dan tak terjerumus. Hujan sedikit demi sedikit mereda. Lukisan bayangan hitam sekadar tampak. Bayangan pohon menjadikan rindang. Sambung satu dengan lainnya saling menutupi. Semerbak cendana sedikit memberikan aroma lain. Jam manusia terlelah tidur. Pulas dibuai balutan malam.

Dua puluh Desember lalu saja, hampir semua menangis meratapinya. Untung Katinem menemukannya dalam keadaan tergeletak tak sadarkan diri di dekat kandang ayam.

"Kamu ini banyak omong. Berani kepada orangtua. Mentang-mentang."

Begitu katanya jika ku nasehati. Semua sudah ikhlas saja jika ia mati.

"Kalau kencing itu di belakang atau di kamar."

Aku mencoba mengingatkannya. Ia setiap ingin kencing langsung telanjang dan di tempat itu juga. Seperti anakku baru satu tahun itu.

"Kalau sudah waktu mati, ya.. pasti akan mati."

Begitu jawaban sederhananya yang membuatku semakin nelangsa. Bahkan saat awal-awal ku dengar tersentak dengan kata-kata itu.

Seperti suatu malam waktu itu. Ia duduk di sofa di ruang tengah. Aku menemaninya. Ku ajak bicara agar tak sering mengelamun.

"Kalau saja, aku kawin lagi. Mungkin kamu tidak kesulitan seperti ini." Katanya tiba-tiba.

"Ah, bagaimana? Umur sudah 67 tahun. Sekarang masih sakit. Aku ikhlas merawat. Aku masih kuat." jawab ku kala itu.

Sebenarnya jengkel juga mendengar kata-kata itu. Bak pepatah tua-tua keladi semakin tua semakin menjadi-jadi. Seolah memberikan jawaban pasti. Tetapi itu memerlukan rentang waktu yang lama. Apalagi sudah lima tahun setengah lebih keadaan seperti ini. Belum lagi biaya pengobatan yang tak terhitung. Tetapi kalau masalah biaya ku pikir bukan hal yang kuperhitungkan. Bagiku kesembuhannya adalah karunia tak terhingga.

*****
"Aku sudah tak kuat lagi hidup. Lebih baik mati saja…."
"Ada-ada saja."
"Aku sudah tidak kuat lagi." katanya dengan nada membentak.
"Coba carikan obat cepat mati."

Bukan main kaget hatiku. Perkataan itu membuatku semakin tak karuan. Apa dia sudah pikun.

"Kalau kamu tak carikan aku obat. Biarkan aku saja yang mencari sendiri."

Ia begitu memaksakan. Kekhawatiran. Tetapi perkataannya semakin hari semakin tak karuan. Malam mulai larut. Setelah tahun baru berlalu. Tahun ini sakitnya semakin kritis. Harus bolak-balik dirawat di rumah sakit.

"Bagaimana keadaannya dok?"
"Tak ada perkembangan yang berarti!"

Dokter kemudian berlalu meninggalkanku setelah mengecek kondisi terakhirnya.
Pikiran mencari solusi. Bagaimana? Harus dicarikan obat apa? Tiba-tiba tangannya bergerak memanggilku.

"Ada apa?"

Aku berjalan mendekatinya dan semakin dekat. Ruang begitu sepi. Hening. Rapi tetapi penuh dengan warna putih. Semerbak bau wangi hilang berganti aroma menyang saat pagelaran Jaran Kepang dimulai.

"Baiklah!"

Aku selimuti tanda tanya dalam pikiran dan hati. Begitu dengan perasaanku. Penuh dengan keibaan meninggalkannya sendiri di ruang rawat inap dengan keadaan koma.

"Ia punya ilmu kalimunan, ilmu kejawen turunan eyangmu. Saya masih ingat. Dulu pernah bersama-sama, pada ada isu dukun santet. Ia memberikan isyarat kepada saya bahwa ada seorang jahat di rumah Pak Samsu." Pak Lek bercerita tentang kejadian bersamanya.

"Tapi tolonglah Pak Lek. Sekarang sudah sakaratul maut."
Aku berusaha menenangkan diri. Mencari bagaimana yang terbaik.

******

Tetesan hujan kembali membasahi jas hujan yang ku pakai. Suasana larut malam semakin tenggelam. Ditambah rasa dingin merasuk tulang-tulangku.

Crok!

Bunyi cangkul terasa mengenai benda keras. Ujung cangkul tak terlihat jelas. Tanganku kemudian meraih benda. Ku mengira, ini tengkoraknya. Semakin penasaran. Tangan meraih. Benar tengkorak.

******
SAAT itu pula, ku konfirmasi dokter. Namun hasilnya tetap kosong. Solusi membantu secepatnya. Jelas aku tak tega. Jelas tak tega. Ku ulangi pikiran itu. Ku lihat semua keluarga tampak ikhlas melepasnya.

Akupun putuskan. Menghampiri yang sudah sakaratul maut. Ia memegang tanganku sembari menatap tajam kepadaku. Kerdipan matanya mengisyaratkan segera meminta. Tekanan datang. Ia meringis menahan kesakitan. Itu terjadi beberapa kali. Kesakitan sangat tampak diperlihatkan. Membuatku semakin iba.

Berkali-kali ia mengisyaratkan kepadaku. Pikiranku semakin kalut dan ditambah keibaan mendalam. Aku kembali menanyakan kepada dokter sekali lagi. Mereka tak menjawab. Hati dan pikiran teriris dan tersayat-sayat bercampur keibaan dan ketidaktegaan. Ku beranikan keluar ruangan itu. Pikiran begitu kalut ditambah semacam kekhawatiran dan ketakutan. Aku tak kuasa.

Di tengah rasa penuh dengan kerinduan ku dipanggil dokter. Ku percepat langkah. Begitu tergesa-gesa masuk ke ruang inap itu.

"Ba...bagaimana Dok?" Gugup.
"Positif. Penyesalan tiada arti dan anda lihat sendiri."

Dokter seakan mengembalikan pernyataanku. Kemudian meninggalkan ku dalam ruang yang penuh dengan tanda tanya. Begitu cepatkah. Ku perhatikan detail perubahan pada dirinya. Mulai dari mata yang sudah tertutup. Tanganku sambil memegang mencoba memijat tangannya. Dingin. Dan ku perhatikan garis di layar monitor itu sudah tak gerak lagi. Aku pun semakin sedih, menyesal campur dengan kegundahan. Tak ku sangka, air mata pun menetes. Penyesalan yang meronta-ronta kenapa sampai seperti ini.

"Bapaaaak! Bapaaaaak!"

Teriak sekuat tenaga tak tertahan lagi. Tak menghiraukan apa yang akan terjadi. Suara ayam sepertinya menyambut teriakan itu. Diiringi suara gaduh dari penduduk yang tinggal di sekitar kuburan. (*)

denpasar, 22 juli 2015
Read More

Minggu, 19 Juli 2015

adalah cinta

ilustrasi-net

kepada cinta aku bahagia. kepada cinta aku berjiwa. kepada cinta aku berasa. kepada cinta aku beraga. kepada cinta aku berjiwa.

cinta tak memanjatkan kalam rasa. cinta tak menuliskan ayat bara. cinta tak menghaturkan bait-bait kata. cinta tak senandungkan nyanyian firman semesta. cinta tak lantunkan kalam fana. cinta tak suarakan kekhayatan dunia. dan cinta terdiam.

cinta adalah pagi. cinta adalah siang. cinta adalah petang. cinta adalah malam. cinta adalah dini hari.

cinta mengatakan kepada saya. cinta menceritakan kepada mu. cinta mengenangkan kepada dia. cinta mengujarkan kepada kami. cinta mengajarkan kepada kita.

cinta tak berkepala. cinta tak bermata. cinta tak berhidung. cinta tak bermulut. cinta tak bertangan. cinta tak berkaki.

cinta adalah pemikiran. cinta adalah pendengaran. cinta adalah perkataan. cinta adalah penciuman. cinta adalah perasaan.

cinta adalah matahari. cinta adalah bulan. cinta adalah bintang. cinta adalah sinar. cinta adalah cahaya. cinta adalah pancaran.

cinta tak mencurahkan air mata. cinta tak mengorbankan harta. cinta tak meneteskan air mata. cinta tak mengiris hati. cinta tak menyumbat denyut napas. cinta tak mengabaikan kenyataan. cinta tak memaniskan yang pahit. cinta tak memahitkan yang manis. cinta tak bernyawa.

cinta adalah hidup. cinta tak akan mati. cinta adalah mati. cinta tak akan hidup. cinta adalah terbuka. cinta tak akan tertutup. cinta adalah tertutup. cinta tak akan terbuka.

cinta adalah menyenangkan. cinta adalah menyengsarakan. cinta adalah kebencian. cinta adalah kebenaran. cinta adalah kebetulan. cinta adalah kerinduan. cinta adalah paksaan. cinta adalah keikhlasan. cinta adalah iman. cinta adalah keyakinan.

denpasar, 20 juli 2015
Read More

Sabtu, 18 Juli 2015

batalyon semut

ilustrasi-net


SINAR matahari telah memancar. Warna merah di ufuk timur telah hilang sejak bangun pagiku tadi. Sebenarnya aku tak pernah sempat aku memperhatikan perubahan warna itu. Tetapi mataku melihat mereka. Pakaian seragam rapi keluar rumah memanasi mesin sepeda motor dan mobilnya. Berdasi berjalan tegap muncul dari pintu rumah besar samping gubukku. 

Tak perlu ku sebutkan di mana lokasi gubuk itu, kalian pasti sudah tahu. Aku khawatir kalau kusebutkan, wajahku tiba-tiba memerah. Kalian datang. Ah atau pejabat dan anggota dewan berkunjung.

Sudah lewat jauh, ibu rumah tangga mulai memandang suami yang akan berangkat kerja. Anak-anak bersalaman sambil dicium dahi. Bapak berdasi tak ketinggalan melepaskan kecupan itu. Mereka pun berjalan menuju mobil.

"Mama! Adik berangkat ya."
"Mama! kakak berangkat."
"Ma! Ayah berangkat."
"Hati-hati semuanya. Adik di sekolah jangan nakal. Kakak buku tabungan jangan sampai ketinggalan. Nanti uang Rp 50 ribu ditabung ya. Dan Ayah, pulang tepat waktu."
"Mama akan masakkan makanan kesukaan kalian."
"Ok. Pasti dong mama."
Lambaian tangan mereka melepas dan meninggalkan pintu gerbang rumahnya.

Aku pun meninggalkan mereka juga. Jalan yang setiap hari ku lalui. Setengah kilometer, satu kilometer, dan tiga kilometer bukan hitungan. Sepeda gayung tua menjadi tunggangan. Menemaniku dalam mengarungi perjalanan hidup ini. Lebih dari dua puluh tahun. Bukan tapi sampai umurku menapaki 50 tahun lebih. Mulai masih remaja. kawin, dan sekarang menduda.

"Tidak masalah. Toh semuanya tidak akan ku bawa kalau mati nanti."

Tentu itulah yang selalu menghibur saat rasa ketidakpuasan menyelimutiku. Jangankan harta benda, istripun lari begitu saja karena benda bukan harta.
Sekitar satu jam aku berada di atas sedel sepeda buntungku. Pantat terasa panas menembus celana kombor ala warok. Istilah slabruk. Ya celana pemberian seorang teman pelatih pencak silat di kampungku.

"Tak usah diceritakan panjang lebar."

Ku senderkan sepeda gayung di bawah pohon besar itu. Matahari naik dengan sinar cerah. Beranjak seperti perputaran roda sepeda ku. Satu, dua jam. Terkadang ku lihat tangan. Hitam warnanya. Bukan warna arloji tetapi kulitku. Kantuk mulai terasa. Tetapi uang belum dapat. Belum ada di genggaman tangan.

Deburan ombak mulai terdengar. Karang-karang melintang menunjukkan pecahan alam murni. Alam mennjukkan jati diri membentuk lancip, datar, meruncing, dan hingga tak berbentuk. Awan putih menabur langit biru. Panas terasa. Air putih dari sumur tua dekat rumah menjadi penghilang haus dahaga mulai surut.

"Heran, jam segini belum ada orang yang datang," gumamku.
"Biasanya jam segini sudah dapat Rp 5.000. Tapi hari ini sama sekali belum ada yang masuk saku."

Ku masukkan tangan kanan ke saku celana. Hanya terasa recehan pecahan Rp 500 menganjal tangan. Itu saja yang ku dapat? Jari-jari tak pernah lega dan penasaran. Ku lebih teliti lagi, jemari tanganku merambat. Paling ujung samping kiri saku. Benjolan. Jari menyentuh juga.
"Aduh."

Tangan keterlaluan, bisul hampir seminggu belum meletus malah disenggol. Tak berselang lama, ku lihat ada yang datang.

"Dari mana pak-ibu?"
"Lho, Pak saya ini orang sini. Tadi saya lewat situ, terus mau pulang. Istri saya yang kepengin lihat karang makanya saya mau ke sini. Maklum lagi nyidam, jadi harus dituruti."
"Sudah puas Bu."
"Sudah pak. Ayo pulang. Panas."

"Minta maaf. Ada uang Rp 1.000 saja. Saya dari tadi tidak pengunjung. Memang tidak ada tiketnya, tetapi orang-orang suka rela memberi uang," kataku penuh iba kepada orang tadi.

Tanpa berfikir panjang bapak itu langsung memberi uang kertas. Sesuai yang ku minta, atau sesuai hitungan ku. Rp 1.000. Mereka pergi. Aku kembali bersandar di karang lancip itu.

Tak terasa kantuk mulai menggoda mata. Angin sepoi datang membantu menutup mata diam-diam. Panas tak terasa tertahan baju putih bergaris. Aku terbuai suasana itu.

"Waduh! Kurang ajar." gerutuku.

Aku terbangun saat mimpi sepeda hilang. Aneh hanya kerangkanya yang masih tertinggal. Ban kanisiran yang baru hasil utang lah hilang. Tak mudah dihilangkan pikiran itu. Aku tiba-tiba juga mata langsung tertuju melihat posisi matahari. Waktunya sudah beranjak sore. Suasananya hilang begitu saja. Bertambah semilir angin sepoi khas pantai. Memangnya tertidur berapa jam? Aku bergegas meninggalkan karang itu, dan waktunya pulang. Kerangka sepeda masih utuh tidak jadi hilang.

"Untung hanya mimpi."

Aku ambil dan mulai mengayuh dengan santai.Membawa pulang rejeki hari  ini. Cukup Rp 1.000 untuk beli nasi putih sebungkus di Warung Mbak Ni. Makan sore lauk ikan tongkol pemberian Jik Na. Enak tentunya.

Semangat bukan main. Sebungkus nasi putih telah ku dapat. Setidaknya bisa mengisi perut yang sejak bangun ketiduran tadi keroncongan. Aku langsung parkir sepada di belakang gubuk berukuran empat meter persegi. Namun mataku langsung tertuju pada dua ekor kucing hitam. Seekor sedang hamil tinggal menunggu hari, seekor  lainnya berwarna abu-abu meraung-raung.

"Sialan. Pasti makan ikan tongkolku."

Aku tergesa-gesa masuk. Suara sepeda gayung jatuh sudah tak kuhiraukan lagi. Ku buka keranjang penutup ikan tongkol itu.

"Masih ada. Ha ha, kucing tidak doyan makan tongkolku. Kasihan nanti aku tidak punya lauk."

Nasi ku buka. Ku teguk air dari kendi samping meja. Melegakan dan biar tak tersendat saat makan. Selesai itu, ku letakkan di meja lagi. Aku melihat semut merah. Berbaris dengan jumlah lebih dari 300 hingga 1.300 ekor. Membentuk batalyon. Ku cermati arah lalu lintas semut itu. Ratusan hingga ribuan ekor semut itu berujung di piring. Berkerumun mengitari dan bergotong royong membawa ikan tongkolku. Tongkol itu kini telah disita semut. Mereka telah berkerumun dan mengitari tongkol. Bahkan tanganku digigit saat akan mengambil tongkol itu. Aku juga mencoba memisahkan semut dari tongkol. (*)

denpasar, 20 juli 2015
Read More

Senin, 13 Juli 2015

menunggu siang hari

net

PAGI, siang, petang, malam, dini hari, dan kembali lagi ke pagi. Putaran rotasi bulan dan matahari yang jauh hinggap berdasarkan teori. Bisa berbalik arah. Atau terputus di tengah perjalanan. Setidaknya ada yang ditunggu dari rangkaian perjalanan itu.

Aku pun sebenarnya tak peduli. Apalagi menghitung. Yang ada hanya melihat kalender itu yang menempel di dinding itu. Setiap hari hanya melihat putaran jarum jam berputar. Tanpa mengetahui dimulai dari angka berapa. Meski tertera angka 1 hingga angka 12. Atau dibilang searah jarum jam. Katanya memang satu hari itu, ada 24 jam. Bukan delapan jam bekerja. Delapan jam tidur dan delapan jam bersenda gurau. Itu saja cukup melelahkan.

"Nur kamu hari ini tidak kerja?" tanya Pak Hasyim melihatku masih berbaring di tempat tidur.

Aku pun tak menjawab. Aku rasa itu pertanyaan yang sangat mudah dijawab. Iya atau tidak. Cukup menganggukkan kepala. Sebenarnya jalannya.

"Tidak usah terlalu dipikirkan. Apa yang sebenarnya Nur pikirkan? Coba ceritakan. Toh, kita khan sudah sah suami istri.”

Pak Hasyim terus berbicara. Tentu seperti menasihatiku. Dengungan suara yang tiba-tiba semakin lama semakin terdengar keras di telingaku. Pak Hasyim kemudian duduk disampingku.

"Sudahlah jalani saja apa yang ada di depanmu. Toh itu membuatmu akan lebih baik."

Pesan itu yang seringkali ku dengar. Namun seperti biasa, aku hanya diam. Tak menghiraukan kata-kata itu.

"Nur. Bapak ke kantor dulu."

Pak Hasyim bergegas melangkahkan kakinya meninggalkan ku sendiri di kamar. Sedangkan aku berbaring di atas kasur itu. Lesu sekali rasanya. Pegal dan mulas perut ini. Tetapi ku biarkan berontak di badan. Malas menginjakkan kaki meski sekadar membuang air kecil. Atau melihat suasana di luar. Terasa berat mata ini dibuka. Begitu juga dengan kepala terasa besar. Rasa dingin terasa menusuk tulang belulangku menusuk sumsum.

Demam! Dan menggigil. Gigi atas dan bawah mengigit-gigit bertarung seperti gerakan yang tak mampu terpikirkan. Ku ingat-ingat hari ini. Ya hari Selasa. Kalau tanggalnya terus terang sudah tak ingat lagi.

Percaya sekali. Selasa Kliwon adalah hari paling baik memulai segala urusan. Baik urusan rezeki, pekerjaan, jodoh ataupun memulai mencari atau menuntut ilmu. Benar atau tidaknya, aku juga tak bisa memastikan. Bukankah aku keturunan dukun? Jelas tidak tahu, karena aku belum menemukan keluargaku.

Beruntung aku bertemu dengan Pak Hasyim. Lelaki paruh baya dan istrinya dua. Aku dan Zubaidah. Ya, Zubaidah yang pertama dan aku yang kedua. Selebihnya, aku sudah tidak ingat lagi.

Aku berusaha menenangkan diri. Mata ku buka. Lalu ku tatap langit-langit kamar dan dinding. Penuh dengan hiasan di dinding. Lukisan eksotik pemandangan alam. Petani dan bu tani berangkat ke sawah. Di situ pula ku lihat ada tulisan paling pojok kecil nama pelukis lengkap tanggal, bulan, dan tahunnya.

Ku arahkan pandangan ke satu lukisan lagi. Gambar ilustrasi mendung. Ku alihkan pandangan pada lukisan terakhir. Sebuah lukisan di tengah tepat dengan arah mataku. Sorot mata semakin tajam. Semakin jelas gambar apa yang di lukisan itu. Dua tubuh manusia laki-laki dan perempuan bersolek dan berpakaian khas adat Bali, berdampingan. Jika mataku bisa mengeluarkan cahaya atau semacam aura pasti tepat pada lukisan itu. Bisa jadi lukisan itu jatuh sendiri. Sama seperti lukisan yang lain.

Belum sampai memahami apa yang tersirat lukisan itu, pandanganku jatuh pada fokus berbeda. Mata meninggalkan tiga lukisan itu. Pada benda di bawah lukisan manusia itu. Tepatnya pada jam dinding berwarna putih. Bundar dengan garis tepi diameter 15 centimeter. Garis tepi satu centimeter berwarna hijau. Di tengah jam itu, ada lingkaran berwarna hijau. Tertulis ‘Hasyim & Zubaidah’.

Ku terus pandangi tulisan itu. Namun jarum jam dan detik merusak pandangan nama itu. Gerakan putaran per menit terlalu keras. Terbawa dan jarum itu menunjukkan pukul 08.15. Telat masuk kerja. Aku harus masuk kantor mumpung sebelum terlambat. Tetapi, Pak Sarip pasti mengampuniku. Atau tambah senang jika tahu aku yang datang. Suasana pagi itu benar-benar tak mampu menuntunku. Aku tetap bermalas-malasan beranjak dari kasur. Mata ku tak berhenti melihat jam dinding itu. Bersalahkah aku? Entahlah.

*********
“Pak, sudah lama tidak makan bersama. Apa ada waktu?” Pak Sarip menelepon setelah beberapa lama Pak Hasyim tiba di kantornya.

“Iya Pak! Memang lama sekali tak kita tak bertemu.” Jawab Pak Hasyim dengan nada datar.

Pak Sarip, kini naik jabatan di perusahaan tempat Pak Hasyim bekerja. Ya sudah tiga atau empat bulan ini ada mutasi.

“Nanti bisa khan?”
“Iya Pak. Tapi di mana?”
"Di tempat biasa saja. Ada yang akan saya bicara. Serius dan hanya empat mata. Saya dan Pak."

Keduanya telah sepakat bertemu. Tempatnya rumah makan langganan mereka. Tepat pukul 12.00. Tidak ada aktivitas pada jam itu. Matahari benar-benar berada di atas ubun-ubun. Waktu puncak siang.

Dan itu membuat badan sedikit terasa berkeringat. Sudah lewat waktu bedug. Sudah beres semua urusan dan projek masterplan sudah sesuai dengan rencana. Pak Hasyim bergegas, menuju tempat makan seperti yang telah menjadi kesepatan tadi. Bergegas dengan cepat mobil hitam yang masih mengkilap terpantul sinar matahari.

“Sudah lama nunggu?.” Sapa Pak Hasyim sembari mengulurkan tangan.
“Ah, tidak, sama sekali tidak. Ini khan baru setengah satu.”

Pak Sarip langsung bercakap. Ku lihat arloji Pak Sarip sekilas. Waktu pun berlalu lambat. Seperti jarum arloji itu tak berputar. Kemudian aku lihat arlojiku. Memang baru lima menit berlalu bersama Pak Sarip. Di meja nomor 13, duduk sembari menunggu pesanan. Mereka pun bertegur sapa dan masih berbincang ringan. Belum sampai pada titik persoalan.

Namun. “Maaf, maaf Pak.” Tiba-tiba saja Pak Hasyim tergugup-gugup.
“Saya pulang dulu. Ada sesuatu di rumah dan sangat penting. Sekali lagi maaf Pak.”
Pak Sarip mempersilakan ku meninggalkan dirinya. Aku bergegas menuju mobil.
“Jelas ada apa-apa dengan Nur.” Kata Pak Sarip meski tidak begitu jelas terdengar.

********
PAK Hasyim meninggalkan rumah makan itu dan menuju rumahnya.

“Pak, mudah-mudahan tidak ada apa-apa dan segara sadar. Kondisi tadi memang kritis,” kata dokter Urip, menyambut dengan tenang kedatangan Pak Hasyim. Sambil berbisik kepadaku dengan tangan memberikan kertas lusuh.

‘Pak, suamiku. Maafkan aku selama ini. Aku telah menipu orang yang selama ini sangat baik. Tidak seharusnya Pak menerima balasan seperti ini. Sebuah  kebohongan. Aku benar-benar tak tahu diri. Namun aku merasa sudah waktunya berkata jujur. Perasaan hanya menunggu waktu. Tetap saja aku akan berbohong selamanya."

"Terus terang jabang bayi ini. Yang selama ini Pak sayangi, ini bukanlah anak kita, tapi anak Pak Sarip. Sekali lagi, saya minta maaf yang sebesar-besarnya. Biar saya yang menanggung semua perbuatan ini. Pak tak usah khawatir." Nuraijah. (*)

denpasar, 13 juli 2015
Read More

Minggu, 12 Juli 2015

isak tangis sunrise

net
“Gayatri, hubungan kita sudah lama.” Suara serak membisik di daun telinganya. Ku rebahkan tubuh di atas kasur suite room hotel itu. Malam spesial, karena aku akhirnya bisa bermalam bersama Gayatri. Perempuan manis yang ku kenal hampir beberapa tahun belakangan ini. Mengisi cerita di sisa-sisa umurku. Mengubah jalan naskah sepanjang di akhir masa tuaku. Ku kenal lebih dari perempuan-perempuan periang. Tak pernah bisa dibandingkan dengan perempuan yang hilir-mudik ku kenal selama ini. Apalagi istri-istriku.

Gayatri seolah telah membimbingku. Meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang menjadi candu. Membisikkan bagaimana menikmati hari-hari tanpa dihingapi rasa penyesalan. Membawa pada ketenangan pada titik kedamaian kehidupan. Begitu kiranya. Paling tidak memberikan harapan bahwa manusia hidup di dunia harus berguna kepada sesama.

Jauh lebih dari itu, terselit keinginan dan dorongan agar dia benar-benar menjadi pendampingku. Tujuannya simpel, dia bukan teman kencan lagi. Agar bisa merawatku, paling tidak itu nanti.

“Pak. Aku tidak mau menghancurkan segalanya. Aku adalah teman. Ya, tempat saling berbagi hati dan cinta. Bukan berbagi nafsu.”

Aku terperanjak. Kata-kata keluar dari mulut Gayatri. Lampu padam seakan menyala terang benderang menerangi seisi kamar itu. Kenapa aku terkejut? Ya, tak pernah ku bayangkan sebelumnya. Apalagi bagiku mengajak berkencan perempuan bukan hal sulit. Di sisa-sisa napas panjang ku yang sudah terbiasa dengan para perempuan-perempuan dini hari.

Ku hela napas sambil membenahi pakaian ku. Menatap jam dinding, dan jarum tepat menunjukkan pukul 03.00 Wita. Suara anjing melolong memecah kesunyian dini hari itu. Sahut-sahutan seakan meronta-ronta memecah jendela kaca.

“Tetapi bagi ku, kamu adalah orang yang tepat. Kamu adalah segalanya bagi ku. Aku sudah ucapkan sumpah. Kamu adalah yang terakhir.”

Aku bangkit.

“Ini bagian dari perjalanan Pak. Antara aku dengan Pak sampai seperti sekarang hanya sebuah kebetulan. Tak perlu dihayati. Ini jalan kehidupan sehari-sehari. Apalagi bagiku. Bukan asing lagi, mengenal sosok Bapak, bercengkrama, dan berdua seperti sekarang ini.”

“Jika tumpukan batu karang Pantai Sanur itu tak menepukku. Mengenalkan kepadamu, mungkin aku sudah tidak di sini lagi. Kau sudah tahu banyak tentang diriku. Kau bagaikan bidadari yang tak hanya berparas cantik namun juga….”

Aku mencoba merayu Gayatri dengan derai angin dini hari itu. Mengungkapkan keinginan. Memberikan gambaran tentang masa-masa yang akan terjadi. Memang Gayatri benar-benar cantik. Ku putuskan keluar kamar. Sambil berfikir dan bertanya kenapa dan ada apa Gayatri? Kakiku melangkah ke lobi penginapan itu. Sayup-sayup terdengar suara lantunan dari masjid seberang penginapan. Meski hafal jam diputar lantunan-lantunan itu, tetapi tak tahu apa arti lantunan itu. “Ah.”

Aku berfikir ada apa sebenarnya Gayatri. Mencari tahu. Di sela-sela itu hasrat mengambil hati Gayatri terus tak kunjung padam. Tanpa mengerdipkan mata, menghempaskan nafas panjang sambil bergumam.

*****
Rasa rindu kepada Gayatri tiba-tiba muncul. Menuntun mencari note kecil di meja kamar. Sudah sekian lama aku tak lagi mendengarkan cerita-cerita roman kehidupan. Belajar dari orang yang jauh lebih muda dibandingkan umurku. Dan yang terpenting lagi melihat paras Gayatri. Sekitar dua atau lima bulan. Tepat setelah peristiwa itu.  Ku raih buku telepon. Lalu mencoba telepon ke nomor yang diberikan Gayatri. berulang kali, namun tanpa respon. Parah, hanya terdengar suara pesan operator.

Ku buka-buka lagi catatan kecil. Tujuannya mencari nomor telepon lain. Tak kutemukan dan membuka file foto di handphone. Terbayang lagi bagaimana paras cantik Gayatri. Kuingat waktu bercengkrama bersama anak-anak penjual jagung bakar di tepi Pantai Sanur itu. Dekat dermaga penyeberangan Sanur menuju Nusa Lembongan dan Nusa Penida.

Ku teringat memori itu. Menuntun ingin mengulangi nostalgia di suatu waktu. Ku bergegas berangkat menuju pantai. Meski malam berangsur-angsur berganti dini hari. Tak lama telah sampai. Mobil ku parkir di sebuah hotel ternama itu. Melusuri lorong-lorong sempit pantai Sanur. Aroma menyengat balsam otot di sudut bangunan kecil samping kiri.

*********
Sampai akhirnya di bibir pantai. Pemandangan tak seperti biasanya. Begitu ramai dan riuh. Jauh dari kesunyian yang membawaku pada malam-malam kedamaian. Orang-orang tampak berpelukan. Suara-suara tangisan menusuk pendengaran. Meronta dan berteriak. Mereka berteriak menyebut nama-namanya.

Ku dekati Nyoman, kru boat Sanur-Nusa Lembongan di kerumunan. Keluarga dan teman korban, termasuk kawan Gayatri berdatangan. Ku tanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa dini hari telah ada boat yang menyeberang? Nyoman pun menjelaskan tentang peristiwa tragis itu. Memang tak seperti hari-hari biasa.

Rombongan ini pergi ingin menikmati sunrise di Gili Trawangan. Perjalanan dini hari itu kemudian terjadi. Ombak pasang dini hari menceritakan lain. Satu nama tertuju yang aku tanyakan.

“Man, tahu Gayatri ke mana?”
“Iya Pak. Dia kemarin ikut acara komunitas ODHA ke Gili.”
“Ha!”
“Nggih, Pak. Tyang dapat kabar dari Bli Komang. Kalau Gayatri rasa-rasanya juga ikut.”

Aku berjalan tergesa. Tergopok-gopok dan meminta daftar penumpang ke Gili Trawangan kemarin sore. Pelan-pelan ku peloti nama yang terpampang di buku itu.

“Ah. Aku tak percaya.”

Sayup-sayup ku dengar, nama Gayatri disebut korban tenggelam kapal boat bersama 40 orang penumpang lainnya.  Ada sebagian kenal denganku, namun hanya beberapa saja. Seorang perempuan paruh baya memberikan secarik kertas kepadaku. Tulisan Gayatri.

Ku baca secarik kertas itu. Gayatri banyak menulis tentang permintaan maaf kepadaku. Ia pun menuliskan di paragrah terakhir.  “Pak, ampura tyang positif.”

Aku berfikir inikah alasan Gayatri tak mau denganku? Yanti berusaha menenangkanku sambil bercerita panjang tentang Gayatri. Aktivitasnya, termasuk ia positif terjangkit virus mematikan itu. Aku larut dan meninggalkan Yanti.

Tatapanku jauh di timur  tak berujung. Langit melukiskan warna-warna baru. Aku duduk terpaku dan menunggu. Isak tangis menjelang sunrise tepi pantai Sanur itu. Tak pernah hilang hingga matahari benar-benar terbit. (*)

denpasar, 12 juli 2015
Read More

Jumat, 10 Juli 2015

jamuan jumat terakhir

net

dug-dug-dug. sayup-sayup terdengar suara bedug. tanda aksara menyapa dahaga. tak perlu menunggu lama. hidangan sederhana tanpa meja menyapa. tuangan air bening meregangkan kening setelah keliling. menghempaskan kaki-kaki lusuh mendera pedal paruh nan lapuh. tangan-tangan gemetar meraih ubi jalar. warna ungu menyentuh bibir nan ketir. dikunyah gigi lubang di menutup ronga-ronga mulut.

hening setelah itu. menunggu. masuk. satu per satu. sama seperti hari-hari sebelumnya di pintu.

ingatan kepada mereka serasa menyebutkannya. berhembus kabar-kabar tentang dirinya. di sana atau di sekitar sini. tak pernah teringat kapan peristiwa itu. tak pernah tercatat di dinding-dinding keramat itu. tak terpampang lembaran-lembaran cerita itu. tak perlu lama menghitung. dan tak perlu mengerutkan dahi. karena itu masa itu.

hening meski terdengar deru kendaraan melaju. ku tetap di pinggir serambi luas itu. ya seluas lapangan sepak bola di daerah ku. sejauh mata memandang tampak dahi-dahi menghitam.

diriku tak terbaca lagi. tenggelam bersama mereka di pinggir jalan pintu masuk itu. ku tanya samping kanan dan kiri mereka. jawabannya beragam. saya dari sana. belum makan tiga hari. ingin makan seperti apa yang mereka makan. tak punya uang sama sekali. ingin pulang kepada mereka. mereka siapa tak pernah ada jawabannya.

ku biarkan mereka bersimpuh di atas lantai rusak itu. sedangkan aku beranjak dari tempat duduk. ya setelah kenyang dengan ubi jalar beberapa potong itu. ditambah satu seruput gula bercampur buah belewah. atau air bening segelas ukuran mili itu.

tiba-tiba denyut nadi meninggi. jatung berdebar di tengah altar. bibir kumat-kamit seperti sembelit. menahan dahan tangan tak mampu bergerak. kaki seperti terpatri. buru-buru mata berkaca-kaca. mulut ingin berteriak hingga serak. seperti terkunci tak mampu berbunyi. bisikan-bisikan itu semakin dekat. menyambar dan meronta di daun telinga. semakin lama semakin keras.

meletup menerjang sendi-sendi kepala. sudah terhitung tinggal berapa hari lagi. satu hari dan terus bertambah. semakin jelas. ini jumat. perjamuan telah berakhir. (*)

denpasar, 10 juli 2015

Read More

Rabu, 08 Juli 2015

laila, laili, oh lailu

net

laila, laili, oh lailu. 
engkau mulia tiada bandingnya. paras cantik nan menggoda. kau tak pilih-pilih siapa aku, dia, atau kita. kaum mana yang bisa bersanding denganmu. semua berharap bertemu dan berjumpa denganmu. begitu juga dengan ku.

laila, laili, oh lailu. 
ku tutup telinga hingga tuli bisikan. ku sumpal hidung hingga saluran napas tak beronga. kurapatkan kedua bibir lalu kunci berkata diam. membisu.

laila, laili, oh lailu. 
ku ikat kedua tangan lalu membentang. meraih dan meraba butiran-butiran lingkar kayu. ku pasung kaki hingga berlutut tersujud. kepala terbentur menatap lantai-lantai kusam bertuliskan kesucian.

laila, laili, oh lailu. 
ku heningkan malam-malamku. mengejar paras cantik biduan. semangat dengan penuh harap. hari-hari ganjil terhitung malam menggigil. hari genap menjadi gelap. mengisi ruang kedap tanpa lampu-lampu dunia. pancaran kecil dari sudut-sudut ruang semakin mengecilkan tubuh bercampur luruh.

laila, laili, oh lailu.
jarum jam terus menunjuk angka. waktu berputar mengelilingi kubah-kubah tanpa henti. sedangkan aku masih membelenggu menanti untaian cinta dan kasihmu.

laila, laili, oh lailu.
ku bayangkan bagaimana menikmatimu selama 1000 bulan. bercumbu penuh dengan gairah hingga mata memerah. bergumul dengan bidadari-bidadari suci. menghiasi wajah-wajah penuh amarah. kemuliaan yang tak pernah terbayarkan.

laila, laili, oh lailu.
hingga hari ini belum melihatmu. memandang pun tak sampai. menyapamu. hanya cerita tentang dirimu. keajaiban nyata. misteri yang tak pernah terjawab logika. antara nalar dan keyakinan. 

laila, laili, oh lailu.
di tengah ketidakmampuan dan uji kesabaran aku berharap. meski hanya sekejap mata. menyaksikan sayap jibril mengepak turun ke bumi. mengisi hati dengan sepenuh nurani. hingga catatan takdir tahunan penuh ampunan.

denpasar, tengah malam, 8 juli 2015
Read More

Minggu, 05 Juli 2015

simfoni tepi pantai bali

TAK pernah bosan memandang pantai yang ada di Bali. Hampir di wilayah kabupaten mempunyai bentangan pesisir nan eksotik kecuali Bangli. Kabupaten Badung misalnya, pantai membentang hingga 82 kilometer. Begitu eksotis, indah dipandang dan dinikmati. Pohon nyiur di tepi pantai menambah pemandangan hempasan ombak. Sunrise dan sunset sesuatu yang takkan pernah membosankan. Alam dan pesona pesisir benar-benar mampu membentuk ‘simfoni tepi pantai’.

Namun, kondisi dan pemandangan itu menjadi langka dibandingkan pada tahun-tahun lalu. Jika diukur ulang, mungkin hanya tinggal beberapa kilometer saja yang masih bisa dinikmati secara secara ‘bebas’. Istilah public space yang tidak terusik oleh security yang selalu memeloti.

Cerita puluhan kilometer yang dulunya ditumbuhi pepohonan, kini berganti dengan beton bangunan dengan dalih pengembangan pariwisata. Membangun semaunya dengan alasan sarana akomodasi pariwisata.

Seakan begitu ramah saat dijamah dengan bangunan mewah. Sepertinya tak kenal lagi peruntukkan atau aturan radius sempadan pantai. Di pinggir pantai sudah berdiri bangunan hotel, vila, restauran dan berjejer rumah makan. View yang layak dipasarkan, ada nilai jual.

View pantai di Kuta sudah tidak memungkinkan lagi, kini pembangunan bergeser ke wilayah Kuta Utara, Pantai Kerobokan, Canggu, Cemagi, Pererenan hingga Munggu sudah mulai berdiri bangunan, bahkan hingga rela membangun grip pengaman pantai.Kondisi ini tidak hanya terjadi di wilayah Kuta, Kuta Utara atau Mengwi, tetapi juga merambah wilayah Kuta Selatan.

Pantai Jimbaran kini menjadi pantai makanan, dengan maksud sebagai kawasan pariwisata kuliner. Begitu juga dengan Pantai Balangan. Tidak cukup sampai itu, space bentangan pantai, rencananya juga dibangun kawasan pariwisata dengan tarat internasional, seperti layaknya sebuah kota di Italia.

Belum lagi, kondisi di Pantai Geger, Kelurahan Benoa, Kuta Selatan yang dulunya asri. Air jernih membiru, surga wisatawan asing sebagai tempat berjemur di tempat sunyi. Namun seperti itu tinggal kenangan saja. Kenyamanan menikmati pantai itu mulai terancam. Sebuah mega bangunan hotel resor yang sempat ‘diributkan’ melenggang menjadi hamparan bangunan. Bergeser lagi, Pantai Nusa Dua, tepatnya Selagan Nusa Dua. Satu-satu pantai di kawasan Nusa Dua, yang elok dan nyaman dinikmati secara bebas juga sudah berubah. Bangunan restoran bertaraf internasional melaju seperti dipacu meskipun sempat memicu.

Bangunan-bangunan di pinggir pesisir pantai ini sebenarnya tak luput dari pelanggaran aturan. Banyak bangunan yang menerjang ketentuan jarak sempadan. Dalihnya pembukaan pantai dengan dalih melengkapi fasilitas wisatawan.

Pelanggaran demi pelanggaran tentu akan berdampak. Bangunan demi bangunan berdiri di tepi pantai tanpa dibatasi akan mengurangi potensi. Belum lagi kerugian jasa travel yang harusnya mengantar tamu ke lokasi pantai, kini tinggal di hotel saja. Bukan tidak mungkin, berpengaruh tingkat kunjungan. Wisatawan berpaling berpindah tujuan, mencari ‘simfoni tepi pantai’ yang masih alami.

Aturan dan ketentuan mulai dari Undang-undang hingga Perda yang sudah ada dan ditetapkan seharusnya benar-benar ditegakkan. Ketegasan instansi penegak aturan juga menjadi kunci proteksi terhadap kondisi pesisir pantai. Tidak ada lobi, atau tawar-menawar regulasi. (*)
Read More

Jumat, 03 Juli 2015

opera tiang pancang










ilustrasi/net


jam dinding di lorong itu menunjukkan pukul 23.00. serasa dekat tubuhku dengan bumi. aku berusaha meluruskan kaki. ku tarik selimut kusut. lalu ku peluk erat. malam itu semakin dini. perasaanku semakin menjadi-jadi.

semilir angin malam terasa dari celah-celah yang tak pernah ku tahu. menembus batas tubuh dan merasuk ke tulang-tulang. aku semakin menggigil. panas dingin bercampur pikiran tak karuan.

ah ini adalah takdir. di mana aku mati hari ini dan di sini. lagi-lagi suara-suara menusuk telinga. keheningan malam itu berubah keangkeran luar biasa. aku berada di mana bahkan tak terasa.

suara membuatku semakin merinding. desing peluru sepertinya. sudahlah ini takdirmu

bayangan tubuh berbaju lengkap menjemputku. memberiku jubah hitam tanpa pernah terpejam. berjalan hingga melintas batas. menuju tanah lapang penuh dengan darah. membawaku keheningan di ujung kematian. jauh tanpa pernah aku ceritakan. mata tertutup dan kaki dan tangan tetap diborgol.

cerita itu memberi isyarat. berdiri tegak menempel di tiang pancang. target di bagian dada kiriku dipasang. tujuh penembak jitu beregu di depanku. mengangkat AK-47 dan senapan serbu. tujuh atau delapan menit mengerang. dan menutup mataku.

tiba-tiba air mataku menetes. saat peluru itu meluncur menuju jidatku

sayang tunggulah aku di alam berbeda. sayang cintaku tak kan pernah berhenti di sini. sayang bawalah cintaku hingga aku mengenang. sayang cumbuilah aku sebelum jauh menunggu. sayang rawatlah anak kita.
tak usah kau ceritakan tentang perjalanan hidupku. tetapi didik dia agar tak sampai sepertiku

lamunan dan nostalgia tunggal menghilang begitu saja. suara bising kembali mengagetkan. aku semakin bercengkarama dalam ketakutan. semakin membayangkan semakin tak tahan.

ini takdir atau bukan? suatu hari ketika seorang rohaniawan menghampiriku. takdir ketetapan Tuhan atau tangan manusia? pertanyaan berulang. seperti menggigau atau sekadar bicara. tegar dan yakin iman akan menguatkanmu. harapan mujizat itu.

di luar sana foto terpajang di mana-mana. tersebar di seluruh penjuru. atau selfie mejeng denganku. gerakan mendukungku dan menolakku. bukan hanya dari saudara. dari mana saja penuh arti. mirip artis dan politisi.
selebihnya tak pernah ku tahu. apa yang mereka lakukan.

aku pun berujar dalam hati. sudah tutup mata. tak lama ku kira. harum semerbak. membawa kabar itu. apakah aku masih di dunia?

denpasar, 9 Maret 2015
Read More

Kamis, 02 Juli 2015

jam dua belas pas


jam dua belas pas. kamis malam jumat pasaran legi
waktu asyik mulai bercumbu. di bawah langit-langit plafon itu
membuktikan nikmatnya surgawi. yang bersumber dari cerita lalu

jam dua belas pas. baru saja istirahat mengusap keringat
menatap dan memandang isi gudang. mencari dan menata tenaga
tentunya ditemani kretek dari saku

jam dua belas pas. mulai terbangun
dari mimpi indah nan romantis. cerita nostalgia
bersanding dengannya

jam dua belas pas. waktunya makan siang
keringat diperas tanpa batas. keluar dari tubuh berkulit keras
meninggalkan tumpukan karung-karung kertas

jam dua belas pas. aku beranjak dari tempat tidur
terbangun dengar dengkur. terlelap bicara uzur. dini hari tafakur

jam dua belas pas. waktu bernyanyi landai
mengumpat amarah hari ini. dikelilingi angin sepoi.
ketika tanpa ada yang pasti

jam dua belas pas. waktu itu. waktu ini.
waktu sana dan waktu sini

jam dua belas pas. jarum berhenti

denpasar, 7 Mei 2015

Read More