Kamis, 06 April 2017

Naam dan Naim

Rejeban atau rajab seperti ini biasanya sudah persiapan. Menikmati liburan dan merancang sekaligus berangan-angan rencana “kilatan” ramadan nanti. Tulisan Arab gundul dan Jawa pegon menghiasi lembar-lembar kertas buku setebal 150 halaman. Tak terasa sudah seperempat. Ada khat kaufi, diwani, dan terkadang tsulus.
“Inginnya nanti kilatan di Langitan saja. Sebelum pulang bisa ziarah ke Bonang. Kalau uang cukup sekalian ke Drajat,” gumam siang itu.
Tak tampak matahari mulai melingsir. Siang mulai bergeser menjelang sore. Ada yang datang dan tergesa-gesa dengan gaya penuh wibawa.
“Jangan pernah mencela agama dan Tuhan. Allahu Akbar. Kafir.”
“Waduh-waduh. Ini bab apa? Siapa yang kafir dan siapa yang mengkafirkan? Lho-lho?”
“Tuhan saya, Tuhan dinista maka saya membela.”
“Tunggu-tunggu. Duduk dulu. Nah mari bicara baik-baik.”
“Tidak bisa. Ini sudah darurat. Ini namanya menginjak-injak agama.”
“Begini.”
“Agamamu Islam?”
“Naam.”
“Bahasa Arab? Natakallam bi lughoh Arabiyah?”
“Naam.”
“Kalau di Indonesia pakai bahasa Indonesia sajalah, tidak usah sok Arab, sok Inggris. Saya khawatir hanya dari youtube dan terjemahan google. Tidak pernah belajar nahwu, syaraf, dan mufradat lainnya babar pisan (sama sekali).”
“Nah. Tadi takbir?”
“Naam.”
“Apa artinya takbir.”
“Allah Maha Besar.”
“Ya sudah, Tuhan maha besar. Tuhan lebih dari kita. Ngapain seru-seru membela. Apa meremehkan Tuhan? Lalu malah kita saling benci sesama. Berseteru.”
“Kita dari tadi saja belum kenal. Siapa?”
“Naim.”
“O, Naim naam.”
Lalu goresan pena kembali mengalun. Membayangkan bait-bait nadham Imriti selesai pekan depan. (*)

denpasar, 4 maret 2017
ilustrasi-arab pegon/ali

0 komentar:

Posting Komentar