Selasa, 22 November 2016

Adu Domba dan Penistaan Tuanku Buzzer

(Prasangka dan Konflik Warga Negara di Media Sosial)
ilustrasi-sudut pandang/net

Money rush, pengambilan uang habis-habisan lagi ramai diperbincangkan. “Wow, apalagi ini?” Bahan baru pembicaraan berbagai kalangan. Tak lazimnya orang setingkat menteri hingga politisi. Padahal tak tahu asal muasal-nya dari mana. Apalagi siapa sumber utamanya. Tak usah dicari asbabun nuzul-nya. “Ah itu hanya isu. Itu hoax. Itu hanya viral di dunia maya. Itu hanya pengalihan isu.” Tahu sebenarnya, tetapi kok ya ditanggapi. Parahnya lagi, perihal itu dijadikan bahan dan sumber berita oleh media mainstream (media industri). Lalu apa bedanya dengan entertainment yang “haram” disebut sebagai karya jurnalistik?

Kita tentu juga belum lupa riak dan riuk saling lapor sebelum dan sesudah demonstrasi 4 November 2016. Bekal barang bukti laporan berupa tulisan-tulisan di media sosial yang diunggah pemilik akun, user-nya atau share dari akun atau link lain. Muaranya media sosial semacam Facebook, Twitter, Instagram, Path, WhatsApp, Youtobe dan sanak saudaranya.

Belakangan ini, polisi gegap gempita angkat bicara dan angkat kaki alias melangkah mencari sumber prasangka dan konflik di media sosial. Pembuat, penebar, penyebar, dan dalangnya dipanggil dan diperiksa. Indentifikasi kata per kata, menganalisis kalimat demi kalimat. Mencatat tulisan dan perkataan yang dinilai penebar kebencian atau hate speech, adu domba, prasangka, destruktif dan paling gres “penistaan”. Lebih “genit” lagi kabar yang tersebar atau memang sengaja disebarkan sebuah indikasi makar. Lalu bagaimana tanggapan Presiden? Jangan dijawab dulu, karena Pak Jokowi sudah geleng-geleng kepala melihat isi media sosial. Siapa bisa menangkal kekuatan dan pengaruh negara dunia maya?

Mari kita telusuri antah berantah dunia maya di Indonesia. Berdasarkan survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2016 menyebutkan 132,7 juta orang sudah terkoneksi dengan internet dari total 256 juta penduduk Indonesia, meningkat dari tahun 2015 yang hanya 88 juta orang. Dari 132,7 juta netizen tersebut, internet diakses melalui gawai dan komputer mencapai 67,2 juta, telepon pintar 63,1 juta, dan komputer pribadi 2,2 juta. Netizen merupakan Internet Citizen atau Citizen of the Net atau istilah pengguna internet (user) yang aktif menggunakan media sosial, blog, like, share, komentar, dan sebagainya. Kultur masyarakat berjejaring, kepemilikan dan distribusi informasi menjadi kapital penting dalam membangun nilai-nilai kewarganegaraan internet (netizenship) yang berlaku di dunia maya, seperti interkonektivitas, interaktif, dan dialogis (Castell, 2010).

Menengok ke belakang di medio 2009 lalu, media sosial pernah mencatat “prestasi” gemilang. Aksi 1.000.000 Facebooker “Dukung KPK” dan gerakan “Koin Peduli Prita” menjadi gerakan bersama dan disebarkan melalui Facebook dan Twitter. Netizen waktu itu memilih konsentrasi urusan sosial hukum dibandingkan berbicara politik.

Perkembangan media sosial semakin pesat. Bahkan bisa dikatakan mengalahkan peran media massa meski kemudian diimbangi media online. Media sosial disejajarkan dan mampu menggantikan peran media massa sebagai alat sosial (social tools) yang memiliki pengaruh paling kuat bagi terbentuknya masyarakat publik (public society) atau masyarakat massa (mass society). Media sosial didaulat sebagai pilar demokrasi kelima. Empat pilar demokrasi (Legislatif, Eksekutif, Yudikatif, dan Pers-media massa) dinilai telah tumpul. Media mainstream dinilai bukan lagi alat sosial karena lebih asyik bercengkrama dengan pundi-pundi keuntungan hasil bisnis. Padahal, secara sosiologis ada konsep massa dan publik berada dalam posisi yang ekstrem. Keduanya merujuk pada sisi yang realitas sosial tertentu, namun pada saat yang bersamaan kedua konsep tersebut merupakan hasil konstruksi realitas itu sendiri. Keduanya mengacu pada subyek sosial yang sama, yaitu manusia atau orang-orang sebagai anggota masyarakat. Realitas sosial merupakan penggabungan kedua konsep itu. Realitas sosial menjadi arena atau ruang di mana tempat publik dan massa dikontruksikan sedemikian rupa (Iswandi Syahputra, 2013).

Melihat angka pengguna media sosial, jelas menjadi medium yang menggiurkan. Bayangkan saja, sekali berkicau atau tweet pesan tersampaikan, tidak susah-susah mengumpulkan orang banyak dan menekan biaya. Bisa dilakukan user sendiri atau menggunakan jasa buzzer, influenzer, dan follower. Istilah-istilah itu sebenarnya telah berkembang di tahun 2013 lalu. Lagi-lagi karena potensi Indonesia sebagai negara dengan pengguna Twitter terbesar di dunia. Selain itu, netizen Indonesia juga paling rajin chat dan senang “berbagi”. Dalam tulisannya, Reuters menyebutkan buzzer adalah akun Twitter dengan syarat memiliki lebih dari 2.000 follower (saya belum termasuk buzzer). Perusahaan dan biro iklan rela membayar para buzzer ini. Gajinya buzzer kabarnya minimal 21 dolar AS per tweet atau Rp 283.783,784 per tweet. Menggiurkan bukan? Mereka akan mengirim pesan promosi brand atau produk tertentu kepada follower-nya. Biasanya operasi pada jam-jam sibuk high season. Misalnya pukul 07.00 hingga 10.00 atau 16.00 hingga 20.00. (Kalau ada teman share atau tweet sesuatu pada jam-jam tersebut patut diduga ia kejar target).

Bagaimana dengan sekarang? Buzzer tak lagi menyampaikan produk dan brand perusahaan, namun isu-isu yang lain. Dan para user berlomba menjadi buzzer, influenzer atau rela selalu tertindas menjadi follower. Kontennya terserah apa saja, yang penting bisa mempengaruhi massa, toh tidak ada kode etik dalam di negara media sosial. Para user dengan suka rela menjadi buzzer dan ikhlas tidak digaji sekalipun (yang penting eksis dan dipandang lebih dulu tahu). User telah paham, representasi dan partisipasi melalui netizenship itu diakui melalui seberapa banyak informasi yang dipunya dan dibagi kepada sesama netizen sehingga kemudian menciptakan buzzer, influenzer, dan follower yang itu bergantian posisi satu sama lain, bergantung informasi yang didapatkan. Ketiga posisi tersebut sebenarnya menandakan informasi memengaruhi perilaku politik individu ataupun kolektif dan kemampuan kolektif dan individu.

User berubah menjadi buzzer, influenzer tanpa berfikir panjang menciptakan dan menyebarkan prasangka versi Gordon Allport. Sebuah pernyataan atau kesimpulan tentang sesuatu berdasarkan perasaan atau pengalaman dangkal terhadap seseorang atau sekelompok orang tertentu. Antipati berdasarkan generalisasi yang salah atau generalisasi yang tidak luwes. Buzzer kini bukan mengelola jasa urusan bisnis, namun sebagai pengelola isu, pencipta prasangka, penista, dan tentunya pencipta konflik yang menggunakan strategi politik devide et impera atau adu domba yang sudah lama tak digunakan.

Konten berisi lontaran saling menjelek-jelekkan sikap dan perilaku pribadi, golongan, kelompok bersebar. Saling hujat, fitnah, mengagung-agungkan dan merendahkan golongan dan kelompok tertentu. Satunya menuduh menista dan yang lain menduga-duga. Tak ada batas dan tak peduli menyinggung suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) tertentu. Parahnya lagi, dalam demokrasi Indonesia digital Indonesia, perbedaan cara pandang isu dan kepentingan di dunia maya bisa berimplikasi langsung pada segregasi penduduk di Indonesia (Wasisto Raharjo Jati, 2016). Konflik muncul di mana-mana, bukan hanya di alam maya namun terbawa di dunia nyata. Meski seperti teori konflik tergolong konflik biasa karena hanya karena kesalahpahaman akibat distorsi informasi yang awalnya didorong faktor emosi, namun konflik fisik menjadi ancaman di rumah multikultural.

Lantas apa perlu tidak lagi menjadi user atau log out menjadi warga negara dunia media sosial? Kemudian negara menutup jejaring media sosial? Seperti kebijakan pemerintah Turki dan beberapa negara yang melarang Facebook dan YouTube karena mengancam pemerintah. Tidak begitu lah. Tentunya dalam rumusan konflik ada beberapa istilah, pencegahan konflik, penyelesaian, pengelolaan konflik, dan resolusi konflik ala Morton Deutsch. Juga penyelesaian dengan istilah transformasi konflik. Sudah banyak user menggelorakan gerakan menjadi netizen transformatif. Gagasan penyelesaian konflik dengan mengatasi sumber-sumber konflik yang lebih luas dengan mengalihkan kekuatan negatif dari sumber perbedaan ke kekuatan positif.

Lalu Socrates pun berujar, “Hanya orang dewasa yang dapat memilih sesuatu berdasarkan kepercayaan dan keyakinan, dan bukan karena faktor emosi dan feeling semata-mata. Self knowledge-nya akan memilih apa yang baik dan buruk, apa boleh atau tidak boleh, apa yang bisa atau tidak bisa dilakukan.”
(*)
Denpasar, 22 November 2016

0 komentar:

Posting Komentar