Minggu, 20 November 2016

Pengakuan Sengkuni

(Faslun Brantayudha Jayabinangun)

ilustrasi: sengkuni/net

Gonjang-ganjing perang besar Brantayudha di medan Kurukshetra antara Pandawa kontra Kurawa begitu santer diberitakan. Beberapa kali menjadi trending topic. Beberapa hari jadi headline dan breaking news.

Sejenak di sela-sela itu tanpa disadari ada dialog. Di tempat sempit ketika hampir terkuak siapa sebenarnya pembuat kegaduhan ini. Diam-diam Sengkuni dipanggil Paduka Yang Mulia Dretarastra. Sengkuni diadili dan dipojokkan di depan Duryadana dan kakaknya Dewi Gandari. Bukan Sengkuni kalau tidak ada jawaban. Ia pun menjawab semua pertanyaan Yang Mulia Drestarasta.
“Sengkuni!”
“Iya Yang Mulia.”
“Saya mau bertanya, jawab yang benar. Jangan kau tambah dan kurangi. Katakan apa adanya. Lakon Brantayudha Jayabinangun ini, kamu ikut buat atau tidak?”
“Iya, saya ikut Yang Mulia.”
“Sejak kapan?”
“Sejak awal mulai akhir. Sejak permainan dadu itu.”
“Yang membuat Pandawa bermain dadu itu siapa?”
“Ya saya. Karena saya bandarnya.”
Yang Mulia Drestarasta pun semakin marah. Lantas terus bertanya dari baris ke baris.
"Terus apa niatmu? Apa misimu? Sampai kau tega berbuat gaduh negara ini?"
“Apa memang kamu datang bersamanya kakakmu ke sini, sudah punya niat ingin menumpas keturunan Begawan Abiyasa?”
“Tidak Yang Mulia.”
“Terus bagaimana, karena suasananya seperti sekarang ini. Coba pikirkan perang Pandawa-Kurawa sampai anakku mati semua."
"Coba ulangi apa yang kau harapkan? Ada rencana apa? Bukan perang yang kita bahas tapi apa yang ada dalam hatimu dan di pikiranmu sampai membuat perang seperti ini?”
Sengkuni tampak berang. Ia tak mau disalahkan begitu saja. Tak mau ditanya bak menghakimi. Terdakwa Sengkuni. Ia pun kemudian balik bertanya kepada Yang Mulia.
“Sebelum berkata banyak. Saya mau bertanya dulu. Apa orang sebanyak ini hanya saya yang paling jelek sendiri? Apa wayang sekotak ini hanya Sengkuni yang paling jelek?”
“Lha terus, baikmu di mana?”
“Tunggu dulu Yang Mulia. Perlu diingat Yang Mulia. Jangan sampai melupakan jasa orang lain. Memang saya mengakui salah. Namun apa Yang Mulia tidak merasa salah?”
“Kurang ajar kau? Tak pukul hingga kepalamu. Kamu mau mencari kambing hitam dan mencari-cari akarnya lalu mencatut membawa namaku.”
“Tunggu dulu Yang Mulia. Saya mau bertanya, Kurawa itu anaknya siapa?”
“Kurawa itu anak saya. Dasar orang gila. Kurawa itu anakku, yang juga kakakmu Gandari.”
"Berapa jumlahnya?"
"100."
"Bagus mana orang tua yang membuat anak tetapi tidak pernah merawat, atau tidak membuat anak-anak tapi mau merawat dan memberikan jalan kemuliaan kepada anak itu?"
“Yang Mulia dulu pernah berkata kepada saya. Sengkuni aku titipkan keponakanmu, carikan kemuliaan. Nah, sekarang Duryadana jadi raja itu yang merekayasa siapa? Saya. Dursasana jadi mahapatih saya yang merekayasa Yang Mulia?. Saya.”
“Perkara mencari kemuliaan dengan jalan yang baik khan banyak?”
“Ah Yang Mulia. Baik dan tidak itu bergantung siapa yang melakukannya. Baik untuk saya belum tentu bagus bagi Yang Mulia. Tetapi pekerjaan saya sudah selesai. Saya merawat anak-anak titipan Yang Mulia dan sekarang semuanya sudah jadi.”
“Tetapi saya tetap mengaku, saya pembuat gaduh seperti sekarang ini. Tetapi ingat Yang Mulia, rusaknya Sengkuni bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk memuliakan keluarga Yang Mulia. Sengkuni dosa besar. Membuat keonaran dari awal hingga akhir."
"Dan saya tanggungjawab membuat situasi seperti sekarang ini. Saya akan tebus dosa. Saya tidak mau, Sengkuni mati seperti katak, saya malu. Manusia penuh dengan dosa kalau mati harus terlentang, gagah di medan perang.”
Sengkuni pergi ke medan laga. Ia bertanggung jawab terhadap apa yang telah ia berbuat. Negara gaduh dan menyebabkan perang Brantayudha.
Lalu Prabu Drestarasta berpikir. Ia mengacungkan jempol kepada Sengkuni.
"Nek, tak pikir-pikir, Sengkuni itu semuanya tidak salah. Aku juga salah. Orangtua yang hanya bisa membuat anak-anak dan itu gampang. Mendidik anak menjadi mulia itu yang susah."
“Sengkuni ada benarnya juga. Meskipun sifat orang jelek tapi memiliki kebaikan. Di balik kelakukan jeleknya ada sikap baik, tanggungjawabnya. Kasih sayang kepada keponakanmu.” (*)
/la dalah/ :apa kabar brotoseno: negoro gonjang-ganjing: langit kelap kelip: sabda ki manteb sudarsono

denpasar, 20 november 2016

0 komentar:

Posting Komentar