Jumat, 30 Desember 2016

dialog pen tutul


biarkan mereka turun di jalan
aku diam di pojok di bawah tiang
mengkaji kitab sulam safinah an-naja 
biarkan mereka bercerai berai
aku berlari-lari senang 
karena sudah khatam nadam a lala 
biarkan mereka menghujat lagi mengumpat
aku sedang girang mengeja wazan fa’ala yaf’ulu fa’lan
biarkan mereka prasangka
maaf aku belajar menulis halus khas tsuluts
biarkan mereka menerka dan mereka
maaf aku sibuk mencelupkan pen tutul
memulai menggores faslun-faslun alfiyah ibnu malik

denpasar, 2016

pena tutul-ilustrasi/net

Read More

Senin, 26 Desember 2016

Lonceng


Malam telah larut, sedangkan aku belum tertidur
hari telah terang, sedangkan aku belum pulang
dan petang telah tiba, sedangkan aku tak kunjung menghamba

Aku asyik berkelana di negeri tak bertuan dan bertuhan
bersenda gurau diiringi nyanyian tangisan histeris kegembiraan
berjalan di lorong yang tak pernah sepi dari hiruk pikuk selimut kegelapan
bercengkrama di gang-gang kecil yang menuntun melintasi raut kehasratan
bergumul di rumah tempat menyanjung dan memuja di puncak bukit belaka

Jiwa-jiwa beterbangan, pulanglah
kau telah larut tanpa sadar menghibur raga-raga nan kosong kerontang di alam fana, menyelami lautan dangkal tak berair, mendaki gunung di dataran daratan

Cahaya bulan sebentar lagi redup, bentuk sabit tak tampak lagi, dan matahari enggan bersinar lagi. Ia terbit dari barat dan timur telah menjadi medan perang atas nama paling benar. jiwa, raga, jasad, dan riwayat lalu menyatu. kembali ketiadaan. seperti semula. sebelum aku dan engkau ada.
(*)

denpasar, 2016
ilustrasi - Lonceng penanda kabut di Chersonesos, Krimea, Ukraina (wikipedia)

Read More

Sabtu, 24 Desember 2016

Neng Cinta di Ladang Tebu

ilustrasi-tribun jabar

FA'ALA - yaf'ulu - fa'lan - wa maf'aalan - fahuwa faa'ilun - wadzaaka maf'uulun - uf'ul - laa taf'ul - maf'alun maf'alun - mif'alun. Sayup-sayup terdengar lafal-lafal bahasa Arab. Semakin terdengar jelas. Aku teringat benar, ini bagian awal kitab al-Amtsilah at-Tashrifiyyah, kitab sharaf karya KH M Ma'shum Diwek Jombang. Cakrawala petang beranjak meninggalkan mega-mega merah memudar teriris di langit biru, memutih, dan kuning. Berangsur-angsur menghitam. Aku berdiri di teras.
"Takdirku tak bisa berubah. Aku akan dijodohkan," kata Neng Romlah, putri Kiai, waktu itu.
"Tetapi, bagiku ini belum terakhir, justru awal segalanya. Aku akan buktikan. Tidak ada yang tak mungkin," aku mencoba meyakinkan Neng Romlah.
"Bapak? Apalagi Ibu sudah tahu segalanya, tidak mungkin mengizinkan."
Desir angin berembus. Menerpa daun-daun tebu. Saling menyentuh antara satu dengan yang lain. Aku berdiri di antara ikatan-ikatan tebu. Rimbun ladang tebu menutup rapat. Neng Romlah berdiri di pematang luar kebun tebu milik Kiai.
"Aku pulang dulu. Bapak sudah memanggil."
Tak kuhiraukan Neng Romlah pamitan. Jelas bukan perkara mudah. Aku harus meluluhkan hati Kiai, Ibu Nyai, dan keluargaku.
**
"SUDAH siapkah kau menikah?"
Malam itu seolah terang benderang. Bumi bak pecah terbelah. Cahaya bulan seakan-akan tenggelam berganti matahari. Laksana sorot sinarnya hanya tertuju ke arahku. Kepala tertunduk tak berani mengalihkan pandangan ke depan atau samping. Berat bibir membuka berbuah kata.
"Sudahkah kau siap menikah? Kalau kau sendiri tak yakin, bagaimana orang lain? Apakah kau hanya bercanda dan membujuk Romlah?"
Malam semakin larut, belum kunjung berkata. Menjawab pertanyaan yang kunantikan selama ini. Tentang asa dan cinta yang setiap hari kuharapkan. Tentang doaku sepanjang waktu. Cinta yang pernah kuukir penuh dengan khayalan. Mimpi menjadi kenyataan.
Aku akan bersanding dengan Neng Romlah. Terbayang kewajiban dan akhlak menjadi menantu Kiai. Mengajar kitab kuning dan menyimak hafalan bait-bait nadhom para santri. Setelah salat Magrib misalnya, harus rutin menyimak hafalan nadham imriti. Lebih-lebih lagi 1.000 bait nadham Al Fiyah Ibn Malik.
"Terserah. Kamu yang memutuskan. Aku tak akan ikut campur. Kau akan menjadi menantuku. Kau menjadi bagian di sini."
Aku masih membisu. Mata tetap menatap tanah hitam tanpa remang cahaya lampu di depan ndalem rumah Kiai. Teras rumah tua ini, tempat berdiri sekarang ini. Dua tahun sudah, aku menunggu Neng Romlah. Teringat waktu ia bermanja-manja setelah salat Subuh di hari Jumat. Hari libur membaca kitab Tafsir Jalalain dan Saheh Bukhari. Aku muhasabah setiap waktu dan bermunajat berharap kau kembali. Para santri hampir setiap malam membaca wirid untuk kepulanganmu. Berdoa semoga kau selamat. Neng Romlah pergi dari rumah dan semuanya bungkam.
"Lantas apa salahku? Normal saja aku melakukannya? Tidak ada salahnya dan banyak tamsil? Ini murni tentang sifat manusia dan dibenarkan agama. Aku juga tak diam-diam, pamit denganmu."
Lalu aku berjalan dengan pandangan jauh ke selatan. Meski gelap aku hafal jalan setapak itu menuju ladang tebu.
**
"INI sudah malam. Kamu harus pulang. Ayo pulang bersama."
Aku mencoba mendekati Neng Romlah pada suatu malam. Kiai sudah lama mencari dan khawatir. Para santri berusaha mencari di pinggir jalan raya dan halte bus. Sebagian mencari dan memeriksa di ladang tebu.
Tiba-tiba aku berbalik arah dan memisahkan diri dari rombongan. Berjalan dan berlari menerobos rimbun pohon tebu di tengah ladang. Tangan menutup samping mata agar tak terkena daun tebu. Sempat merinding, teringat cerita Kang Umam mengenai kuburan massal peristiwa 1965. Entah benar atau tidak, tetapi cerita itu begitu dipercaya. Pak Yas, pemilik sawah tiga petak ini, hampir setiap malam Jumat menaburkan bunga di lokasi kuburan itu. Namun niat kuat, kegelisahan, dan kekhawatiran mengantarkanku.
Kaki melangkah menuntun menuju tempat yang sebenarnya tak asing bagiku. Benar adanya. Kutemukan sesosok manusia duduk. Napas tersengal-sengal mendekatinya. Kudengar samar-samar isak tangis. Semakin dekat semakin jelas dan pasti Neng Romlah.
"Tempat ini tidak baik bagimu. Apalagi sekarang sudah malam. Biarkan aku yang menjelaskan apa yang sebenarnya, kepada Kiai. Tentang hubunganku denganmu dan Gus Takim." Bujuk rayu agar Neng Romlah mau pulang. Kujelaskan cara pandang dan pilihan Kiai, juga tentang Gus Takim.
"Iya, aku mengerti tentang itu. Tetapi besok ada rencana itu. Gus Takim ke ndalem bersama keluarga. Aku dengar langsung Bapak dan Ibu bicara itu." Neng Romlah mulai bicara meski pelan.
"Percayalah padaku. Percayalah kepada Kiai. Tidak mungkin. Itu hanya sepenggal yang kaudengar. Waktu kamu keluar, ada pembicaraan lain. Percayalah. Kiai tidak akan melanjutkan dan memaksamu. Aku sangat yakin, karena kau adalah putri satu-satunya Kiai."
Malam semakin larut. Sayup-sayup angin menusuk tubuh. Dingin mulai terasa dan tak tertahan. Neng Romlah hanya terdiam.
**
"INI bukan karena balas budiku."
Kata Kiai sebelum membuka peristiwa penting. Aku dipanggil langsung Kiai tanpa didampingi pengurus. Bapaknya Neng Romlah, calon mertuaku. Aku hanya diam dengan pandangan ke bawah.
"Intinya, aku tahu kamu ini siapa dan keluargamu. Aku sudah bicara banyak dengan bapakmu mengenai hubunganmu dan Romlah. Kamu kuterima. Kamu jadi menantuku."
Kiai terus bicara, sedangkan aku masih terdiam seribu bahasa. Aku tak menyangka dan belum percaya sepenuhnya dengan pembicaraan malam ini. Mengapa kiai menikahkan Neng Romlah denganku, membatalkan perjodohan dengan Gus Takim. Segalanya jelas lebih mentereng Gus Takim. Dari silsilah, bapakku mengajar mengaji di surau, sedangkan bapaknya Gus Takim kiai pesantren tersohor dengan alumni rata-rata menjadi kiai. Alumninya sering mendapat beasiswa studi ke Timur Tengah.
Apakah karena aku berubah? Sejak pertemuan dengan Neng Romlah tempo itu memotivasiku tekun belajar. Mendengarkan nasihat ustaz, menghafal kitab nahwu dan sharaf hingga bisa membaca kitab kuning gundulan tanpa harakat. Menulis Arab pegon untuk menerjemahkan kitab kuning. Menulis ulang beberapa kitab, diskusi, dan ceramah. Kesabaran mengubahku dan berbuah. Puncaknya aku menyelesaikan hafalan nadham Alfiyah di depan kiai.
"Juga bukan karena kau sudah berubah. Kau sempurna menguasai ilmu alat, tetapi bukan karena itu." Aku ingat lagi kata-kata kiai.
"Apakah karena peristiwa di ladang tebu itu?" Mataku semakin menatap jalan setapak di depan. Aku percaya inilah alasan Kiai. Neng Romlah yang kabur dari rumah, sembunyi di tengah ladang tebu tempat terindahku. Tempat sunyi semedi menghafal dan belajar kitab pelajaran. Atau tempat persembunyian setelah bertemu dengan Neng Romlah. Aku berhasil membujuk Neng Romlah pulang.
"Ini bukan karena kamu bisa mengajak pulang Romlah waktu itu," kata Kiai mematahkan ingatanku.
Aku masih bertanya-tanya dalam hati. Ataukah cinta tulus membuka jalan terjal di awal. Kasih sayang telah mencairkan gunung es. Ketulusan adalah jalan, cinta muaranya, dan kasih sayang wujudnya. Keikhlasan dan kesetiaanku kepada Neng Romlah meluluhkan hatinya, Kiai, dan Bu Nyai. Kepala menunduk dan mata menatap lurus di titik tanah. Aku mencoba memberanikan diri bertanya kepada Kiai dengan suara lirih.
"Nanti kamu akan tahu sendiri. Yang terpenting kamu harus siap lahir dan batin. Kamu siap, kan?"
"Inggih, Kiai. Iya, Kiai, saya siap. Saya sanggup."
Tanpa berujar apa pun, lantas Kiai berlalu. Kiai mengakhiri bincang malam itu. Masuk ndalem dan menutup pintu. Jantungku masih berdebar. Aku masih sendiri di teras.
**
"APAKAH niat itu masih ada?"
Aku dikejutkan suara Neng Romlah yang tiba-tiba berada di dekatku.
"Tidak, tidak. Aku tidak akan menuruti hawa nafsu, menerobos batas dinding kesetiaan. Aku telah menemukan jawaban tentang apa yang dikatakan almarhum Kiai. Keikhlasan dan kesetiaanku padamu."
Kukecup kening Neng Romlah. Ia pun memeluk dan mendekapku.
"Maafkan, aku berbuat yang tak pernah pernah kauharapkan. Aku telah nekat dan menjauh dari dirimu. Aku tidak tahan. Hatiku selalu tergoyah setiap malam. Air mata menetes terurai. Untaian doa, minta petunjuk di kala sujud tahajud. Aku mencoba bersabar dan berusaha tegar. Ucapan dan nasihat Bapak dan Ibu tentang sifat keserakahan dan kesetiaan manusia adalah benar."
"Setiap detik, bisikan syaitan selalu muncul. Selimut gumpalan kebencianku kepada Neng Siti. Meskipun saudara, tetapi entahlah. Aku tak sanggup membayangkan, ketika kau menikahinya. Dan aku bersamamu."
"Begitu juga denganku, maafkanlah. Aku sekarang mengerti. Aku begitu yakin hikmah di balik semua ini. Kau makin cantik dan pintar. Ilmu dari Kairo selama dua tahun benar-benar kaukuasai. Aku sangat beruntung. Dan yang terpenting, mengingatkanku tentang arti sebuah kesetiaan. Halal bagiku, tetapi sakit bagimu."
Kami saling berpandangan. Senyum Neng Romlah, kubalas. Lalu kami bergegas melepas petang yang telah mendera menjadi malam.
***
Minggu, 27 November 2016 06:14
http://jabar.tribunnews.com/2016/11/27/neng-cinta-di-ladang-tebu
Read More

Jumat, 02 Desember 2016

Segelas Bir Henk Wullems Buat Timnas

Henk Wullems saat mendampingi tim Persegi Bali FC, 2007 lalu. (ali)

Tim Nasional (Timnas) Indonesia melenggang ke semi final Piala AFF 2016. Di tengah keterbatasan persiapan dan berbagai kendala “khas” Indonesia, Boaz Solossa dan kawan-kawan melangkah lebih jauh. Kaki-kaki sebelas patriot bangsa beranjak lebih jauh dibandingkan edisi 2012 dan 2014. Timnas mampu mengobati rindu rakyat Indonesia terhadap dahaga, tontonan, analisis sepak bola setelah sanksi FIFA.
Jauh sebelum itu, rasa pesimistis dimulai dengan hasil tak menggembirakan di laga awal turnamen yang dulu disebut Piala Tiger ini. Timnas kalah 4-2 melawan Thailand menjadi pukulan telak anak asuh Alfred Riedl. Pun kekhawatiran semakin menjadi-jadi karena hitung-hitungan peluang lolos dari fase grup A semakin berat. Pada laga kedua yang seharusnya bisa menang, namun hasil akhirnya imbang 2-2 ketika bersua dengan tim tuan rumah Filipina. Posisi Indonesia pun sebagai juru kunci di klasemen sementara.
Tiba waktunya laga pamungkas, Indonesia harus bermain hidup mati dengan Singapura (Jumat, 25 November 2016). Meski, sempat tertinggal lewat gol salto Khairul Amri pada babak pertama. Namun, pemain Indonesia tidak pantang menyerah. Mereka bangkit pada babak kedua. Hasilnya, Andik Vermansyah dan Stefano Lilipaly mampu menjebol gawang Singapura yang dikawal HA Sunny. Skor tipis 2-1 cukup membuat Indonesia melaju ke babak semi final.
Pesta telah dimulai. Trending topic #TimnasDay bertahan hingga larut malam dan dini hari menyambut gegap gempita timnas Indonesia dipastikan lolos ke semi final waktu itu. Di laga semi final, Indonesia ditantang Timnas Vietnam. Lolos timnas seolah menjadi obat kerinduan dan kebahagiaan hidup bernegara Indonesia.
“Mari bersulam,” kata Meneer Henk Wullems usai mendampingi pemainnya memenangi pertandingan. Ia tampak semringah dan sesekali tertawa lepas. Di depannya tampak segelas bir. Ya, hampir setiap kesempatan, pelatih kelahiran Netherlands, 21 Januari 1936 silam ini minum segelas bir. Baik ketika duduk-duduk di pagi hari di restoran hotel tempat menginapnya. Begitu menikmati sekalipun gaji tak kunjung dibayar pengurus klub. Seteguk demi teguk segelas bir itu berkurang. Pelatih Timnas Indonesia periode 1997-1998 ini juga cukup lihai menuang minuman tertua yang dibuat manusia ini. Ia sangat hati-hati menuang agar tidak rusak. Saat buih-buih bir belum turun, itulah waktunya ia meneguknya.
Ia pun sempat marah ketika pelayan restoran memberikan segelas bir namun tanpa buih.
“Mengapa harus bir Meneer?” Cermati saja makna, tanda, dan simbol semantik Henk tentang hal itu.

Kesehatan Jantung Pertahanan
Layaknya karya sastra mencermati pencerahan mengenai citra, metafora, simbol dan matra. Biarkan bir sebagai tanda pesta. Jamuan pesta kecil dengan teman, keluarga, atau pesta setelah mencapai kemenangan tim. Dan Henk sedang merayakan sebuah hasil pertandingan, minimal menghibur diri. Di sela-sela itu, ia menceritakan sekaligus evaluasi. Mirip diskusi kecil namun hasilnya besar terutama kesehatan jantung pertahanan tim ketika begitu banyak gol masuk dibandingkan pemainnya menjebol gawang lawan. Pesta yang tidak membuat terlena karena masih ada pertandingan selanjutnya.
Henk tahu betul karakter pemain-pemain Indonesia. Malang melintang melatih di tim yang berlaga di liga Indonesia menjadi modal cukup menganalisis kemampuan menyerang dan bertahan sebuah tim di Indonesia. Suami Yvone ini terakhir melatih Persegi Bali FC sebelum benar-benar meninggalkan Indonesia. Sesi uji coba lapangan sehari sebelum pertandingan, ia selalu memastikan kekuatan pemain terutama di posisi defender. Ia menginstruksikan pemain belakang harus benar-benar kuat. Ia akan teriak-teriak jika pemain belakang latihan asal-asalnya. Menghadapi lawan yang terkenal sangat agresif Vietnam misalnya, Henk memberikan instruksi khusus pemain belakang. Ia sering briefing khusus kepada trio pemain belakang. Henk memang terkenal dengan formasi 3-5-2. Menurutnya pertahanan yang kuat bisa meredam gebrakan serangan lawan dan meminimalisir jumlah gol yang masuk.
Henk meminta lini belakang belakang fokus sepanjang pertandingan. Mereka harus bisa koordinasi dan tidak salah paham miscommunication. Jadi mereka harus mengerti dan paham pergerakan masing-masing. Henk kembali teriak-teriak di pinggir lapangan karena pemain belakang salah pengertian.
Nah, sembari merayakan pesta lolos ke semi final, catatan Timnas sekarang ini pada lini pertahanan. Riedl sepertinya telah pakem menerapkan formasi 4-4-2. Namun kuartet lini belakang Benny Wahyudi, Fachrudin, Yanto Basna, dan Abdul Lestaluhu masih rawan. Kebobolan 7 gol atau minus 1 dari jumlah gol lesakan ke gawang lawan. Jumlah gol tersebut juga menjadi gol terbanyak setelah Timnas Kamboja di Piala AFF 2016. Cukup gampang, bagaimana gol cepat Thailand di laga pertama. Antisipasi yang buruk Yanto Basna dan salah pengertian dengan penjaga gawang berakibat fatal.
Laga perdana semi final melawan Vietnam, Sabtu (3/12/2016) akan menjadi perhatian khusus pertahanan. Bisa saja Vietnam akan memanfaatkan celah kelemahan Indonesia. Belum lagi, dua bek Yanto B dan Fachrudin yang selalu mengisi starting line up di babak penyisihan harus absen akibat akumulasi kartu. Stok bek memang masih mumpuni. Riedl mungkin akan mencoba Mahanatti L dan Gunawan D Cahyo dibandingkan bek jebolan U-19 Hansamu. Tentu Riedl segera dievaluasi lini krusial ini.
Riedl bisa saja memaksimal masa jeda kemarin memaksimalkan pola pertahanan menghadapi gempuran Vietnam. Memperbaiki mental agar tidak lengah di menit-menit akhir yang menjadi bumerang. Bisa jadi Riedl bereksperimen menerapkan formasi lain. Bukankah eksperimen sah-sah saja pada tim-tim yang sedang mencari titik stabilnya? Biarkan Riedl mencoba dan menciptakan formula terbaik, sehingga Indonesia juara. “Alangkah indahnya.”
Sembari itu, jangan lupa minumnya cukup segelas. Jangan terlalu banyak nanti bisa mabuk dan larut dalam kemenangan. Jangan sampai mabuk dengan hasil sekarang. Pesta belum waktunya pesta pora. Ingat besok lusa masih ada laga lagi. Pesta cukup selesai sampai di sini dulu, harus persiapan menghadapi laga berikutnya yang tak kalah beratnya. Tetap jaga konsistensi karena jalan masih panjang menuju puncak juara. Kutukan runner up harus dikubur dalam-dalam. Jika berhasil meraih gelar pesta besar telah menanti. PSSI dan pemerintah seperti biasa menjanjikan guyuran bonus. “katanya.”
/o o kamu ketahuan pacaran lagi dengan dirinya teman baikku/
/o o kamu ketahuan pacaran lagi dengan dirinya teman baikku/
/tapi tak mengapa aku tak heran karena dirimu cinta sesaatku/
/dararam dararam//dararam dararam//dararam dararam//dararam dararam/
Sambil berdendang dengan terbata-bata lagu Ketahuan milik Matta Band itu, Henk pun meninggalkan Indonesia. “Terima kasih Meneer segelas birnya.” (*)
Read More

Jumat, 25 November 2016

Jumat Berkah Indonesia

andik vermansyah/net

Jumat (25-11-16) berkah, milik Indonesia. Lupakan atas nama agama, atas nama kebencian. Apalagi share-share dan membuat status ranjau virus penebar kebencian. Analisis konyol. Lupakan kebencian, lupakan perbedaan agama, lupakan asal suku dan ras apa.

Inilah Indonesia. Baiklah. Sayup-sayup di ruang kami sorak-sorai “Indonesia, Indonesia, dan Indonesia”. Tepuk gemuruh bak di lingkar tribun Stadion Rizal Memorial, Manila. Rasa benci berubah gegap gempita kerukunan dan kedamaian. Tumpah ruah menjadi satu bangsa, satu bahasa, satu tanah air Indonesia. Aku dan kamu, kami dan kita bersorak hingga serak.

“Indonesia, Indonesia, Indonesia,” tepat setelah sepakan keras Stefano Lilipaly di dalam kotak penalti menggetarkan jala Singapura yang dijaga Hassan Abdullah Sunny. Pertandingan menjadi milik Indonesia. Semangat membakar anak asuh Alfred Riedl.

Apalagi Indonesia sempat tertinggal 0-1 lebih dulu di babak pertama. Gol dilesakkan pemain senior Singapura Khairul Amri setelah dengan tendangan setengah voli meneruskan umpan sundulan rekannya deras menjebol gawang Indonesia yang dikawal Kurnia Meiga. Andik Vermansyah melecut bara api pasukan Garuda. Pemain asal Surabaya ini menciptakan gol indah di menit ke-62 sehingga mengubah kedudukan 1-1.

Skor tipis 2-1 pada laga pemungkas grup A sudah cukup bagi Indonesia untuk melenggang ke babak semi final AFF Cup 2016.

Berikutnya, kabar gembira dari Hong Kong Open Super Series 2016 (olahraga bulu tangkis). Tiga ganda Indonesia melaju ke babak semi final. Awalnya unggulan kedua di turnamen ini, Praveen Jordan/Debby Susanto sempat terseok-seok di gim pertama, namun bangkit di dua gim berikutnya. Mereka mengalahkan wakil tuan rumah, Lee Chun Hei Reginald/Chau Hoi Wah dengan rubber game 17-21, 22-20 dan 21-14.

Tak mau kalan dengan juniornya, Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir yang baru saja menggenggam juara China Open Super Series Premier 2016 melenggang mulus ke babak semifinal. Mereka menang mudah, atas pasangan Liu Cheng/Li Yihui, Tiongkok dua gim langsung 21-13 dan 21-14.

Satu lagi tiket semifinal berhasil diamankan wakil Indonesia. Kali ini, ganda putra Mohammad Ahsan/Rian Agung Saputro yang baru dipasangkan mampu menjungkalkan asa unggulan satu dari Malaysia, Goh V Shem/Tan Wee Kiong. Ahsan/Rian menang setelah bermain tiga gim, 21-11, 17-21 dan 21-17.

Ah, bangga jadi rakyat Indonesia. Bagi belum paham mengapa olahraga bisa menjadi mengobati jiwa-jiwa yang terkutuk. Inilah jawabannya. “Pada tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat.” Maka mulai sekarang saya putuskan olahraga. (*)

denpasar, 25 november 2016

#JumatBerkah
#Indonesia

Read More

Selasa, 22 November 2016

Adu Domba dan Penistaan Tuanku Buzzer

(Prasangka dan Konflik Warga Negara di Media Sosial)
ilustrasi-sudut pandang/net

Money rush, pengambilan uang habis-habisan lagi ramai diperbincangkan. “Wow, apalagi ini?” Bahan baru pembicaraan berbagai kalangan. Tak lazimnya orang setingkat menteri hingga politisi. Padahal tak tahu asal muasal-nya dari mana. Apalagi siapa sumber utamanya. Tak usah dicari asbabun nuzul-nya. “Ah itu hanya isu. Itu hoax. Itu hanya viral di dunia maya. Itu hanya pengalihan isu.” Tahu sebenarnya, tetapi kok ya ditanggapi. Parahnya lagi, perihal itu dijadikan bahan dan sumber berita oleh media mainstream (media industri). Lalu apa bedanya dengan entertainment yang “haram” disebut sebagai karya jurnalistik?

Kita tentu juga belum lupa riak dan riuk saling lapor sebelum dan sesudah demonstrasi 4 November 2016. Bekal barang bukti laporan berupa tulisan-tulisan di media sosial yang diunggah pemilik akun, user-nya atau share dari akun atau link lain. Muaranya media sosial semacam Facebook, Twitter, Instagram, Path, WhatsApp, Youtobe dan sanak saudaranya.

Belakangan ini, polisi gegap gempita angkat bicara dan angkat kaki alias melangkah mencari sumber prasangka dan konflik di media sosial. Pembuat, penebar, penyebar, dan dalangnya dipanggil dan diperiksa. Indentifikasi kata per kata, menganalisis kalimat demi kalimat. Mencatat tulisan dan perkataan yang dinilai penebar kebencian atau hate speech, adu domba, prasangka, destruktif dan paling gres “penistaan”. Lebih “genit” lagi kabar yang tersebar atau memang sengaja disebarkan sebuah indikasi makar. Lalu bagaimana tanggapan Presiden? Jangan dijawab dulu, karena Pak Jokowi sudah geleng-geleng kepala melihat isi media sosial. Siapa bisa menangkal kekuatan dan pengaruh negara dunia maya?

Mari kita telusuri antah berantah dunia maya di Indonesia. Berdasarkan survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) 2016 menyebutkan 132,7 juta orang sudah terkoneksi dengan internet dari total 256 juta penduduk Indonesia, meningkat dari tahun 2015 yang hanya 88 juta orang. Dari 132,7 juta netizen tersebut, internet diakses melalui gawai dan komputer mencapai 67,2 juta, telepon pintar 63,1 juta, dan komputer pribadi 2,2 juta. Netizen merupakan Internet Citizen atau Citizen of the Net atau istilah pengguna internet (user) yang aktif menggunakan media sosial, blog, like, share, komentar, dan sebagainya. Kultur masyarakat berjejaring, kepemilikan dan distribusi informasi menjadi kapital penting dalam membangun nilai-nilai kewarganegaraan internet (netizenship) yang berlaku di dunia maya, seperti interkonektivitas, interaktif, dan dialogis (Castell, 2010).

Menengok ke belakang di medio 2009 lalu, media sosial pernah mencatat “prestasi” gemilang. Aksi 1.000.000 Facebooker “Dukung KPK” dan gerakan “Koin Peduli Prita” menjadi gerakan bersama dan disebarkan melalui Facebook dan Twitter. Netizen waktu itu memilih konsentrasi urusan sosial hukum dibandingkan berbicara politik.

Perkembangan media sosial semakin pesat. Bahkan bisa dikatakan mengalahkan peran media massa meski kemudian diimbangi media online. Media sosial disejajarkan dan mampu menggantikan peran media massa sebagai alat sosial (social tools) yang memiliki pengaruh paling kuat bagi terbentuknya masyarakat publik (public society) atau masyarakat massa (mass society). Media sosial didaulat sebagai pilar demokrasi kelima. Empat pilar demokrasi (Legislatif, Eksekutif, Yudikatif, dan Pers-media massa) dinilai telah tumpul. Media mainstream dinilai bukan lagi alat sosial karena lebih asyik bercengkrama dengan pundi-pundi keuntungan hasil bisnis. Padahal, secara sosiologis ada konsep massa dan publik berada dalam posisi yang ekstrem. Keduanya merujuk pada sisi yang realitas sosial tertentu, namun pada saat yang bersamaan kedua konsep tersebut merupakan hasil konstruksi realitas itu sendiri. Keduanya mengacu pada subyek sosial yang sama, yaitu manusia atau orang-orang sebagai anggota masyarakat. Realitas sosial merupakan penggabungan kedua konsep itu. Realitas sosial menjadi arena atau ruang di mana tempat publik dan massa dikontruksikan sedemikian rupa (Iswandi Syahputra, 2013).

Melihat angka pengguna media sosial, jelas menjadi medium yang menggiurkan. Bayangkan saja, sekali berkicau atau tweet pesan tersampaikan, tidak susah-susah mengumpulkan orang banyak dan menekan biaya. Bisa dilakukan user sendiri atau menggunakan jasa buzzer, influenzer, dan follower. Istilah-istilah itu sebenarnya telah berkembang di tahun 2013 lalu. Lagi-lagi karena potensi Indonesia sebagai negara dengan pengguna Twitter terbesar di dunia. Selain itu, netizen Indonesia juga paling rajin chat dan senang “berbagi”. Dalam tulisannya, Reuters menyebutkan buzzer adalah akun Twitter dengan syarat memiliki lebih dari 2.000 follower (saya belum termasuk buzzer). Perusahaan dan biro iklan rela membayar para buzzer ini. Gajinya buzzer kabarnya minimal 21 dolar AS per tweet atau Rp 283.783,784 per tweet. Menggiurkan bukan? Mereka akan mengirim pesan promosi brand atau produk tertentu kepada follower-nya. Biasanya operasi pada jam-jam sibuk high season. Misalnya pukul 07.00 hingga 10.00 atau 16.00 hingga 20.00. (Kalau ada teman share atau tweet sesuatu pada jam-jam tersebut patut diduga ia kejar target).

Bagaimana dengan sekarang? Buzzer tak lagi menyampaikan produk dan brand perusahaan, namun isu-isu yang lain. Dan para user berlomba menjadi buzzer, influenzer atau rela selalu tertindas menjadi follower. Kontennya terserah apa saja, yang penting bisa mempengaruhi massa, toh tidak ada kode etik dalam di negara media sosial. Para user dengan suka rela menjadi buzzer dan ikhlas tidak digaji sekalipun (yang penting eksis dan dipandang lebih dulu tahu). User telah paham, representasi dan partisipasi melalui netizenship itu diakui melalui seberapa banyak informasi yang dipunya dan dibagi kepada sesama netizen sehingga kemudian menciptakan buzzer, influenzer, dan follower yang itu bergantian posisi satu sama lain, bergantung informasi yang didapatkan. Ketiga posisi tersebut sebenarnya menandakan informasi memengaruhi perilaku politik individu ataupun kolektif dan kemampuan kolektif dan individu.

User berubah menjadi buzzer, influenzer tanpa berfikir panjang menciptakan dan menyebarkan prasangka versi Gordon Allport. Sebuah pernyataan atau kesimpulan tentang sesuatu berdasarkan perasaan atau pengalaman dangkal terhadap seseorang atau sekelompok orang tertentu. Antipati berdasarkan generalisasi yang salah atau generalisasi yang tidak luwes. Buzzer kini bukan mengelola jasa urusan bisnis, namun sebagai pengelola isu, pencipta prasangka, penista, dan tentunya pencipta konflik yang menggunakan strategi politik devide et impera atau adu domba yang sudah lama tak digunakan.

Konten berisi lontaran saling menjelek-jelekkan sikap dan perilaku pribadi, golongan, kelompok bersebar. Saling hujat, fitnah, mengagung-agungkan dan merendahkan golongan dan kelompok tertentu. Satunya menuduh menista dan yang lain menduga-duga. Tak ada batas dan tak peduli menyinggung suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) tertentu. Parahnya lagi, dalam demokrasi Indonesia digital Indonesia, perbedaan cara pandang isu dan kepentingan di dunia maya bisa berimplikasi langsung pada segregasi penduduk di Indonesia (Wasisto Raharjo Jati, 2016). Konflik muncul di mana-mana, bukan hanya di alam maya namun terbawa di dunia nyata. Meski seperti teori konflik tergolong konflik biasa karena hanya karena kesalahpahaman akibat distorsi informasi yang awalnya didorong faktor emosi, namun konflik fisik menjadi ancaman di rumah multikultural.

Lantas apa perlu tidak lagi menjadi user atau log out menjadi warga negara dunia media sosial? Kemudian negara menutup jejaring media sosial? Seperti kebijakan pemerintah Turki dan beberapa negara yang melarang Facebook dan YouTube karena mengancam pemerintah. Tidak begitu lah. Tentunya dalam rumusan konflik ada beberapa istilah, pencegahan konflik, penyelesaian, pengelolaan konflik, dan resolusi konflik ala Morton Deutsch. Juga penyelesaian dengan istilah transformasi konflik. Sudah banyak user menggelorakan gerakan menjadi netizen transformatif. Gagasan penyelesaian konflik dengan mengatasi sumber-sumber konflik yang lebih luas dengan mengalihkan kekuatan negatif dari sumber perbedaan ke kekuatan positif.

Lalu Socrates pun berujar, “Hanya orang dewasa yang dapat memilih sesuatu berdasarkan kepercayaan dan keyakinan, dan bukan karena faktor emosi dan feeling semata-mata. Self knowledge-nya akan memilih apa yang baik dan buruk, apa boleh atau tidak boleh, apa yang bisa atau tidak bisa dilakukan.”
(*)
Denpasar, 22 November 2016
Read More

Minggu, 20 November 2016

Pengakuan Sengkuni

(Faslun Brantayudha Jayabinangun)

ilustrasi: sengkuni/net

Gonjang-ganjing perang besar Brantayudha di medan Kurukshetra antara Pandawa kontra Kurawa begitu santer diberitakan. Beberapa kali menjadi trending topic. Beberapa hari jadi headline dan breaking news.

Sejenak di sela-sela itu tanpa disadari ada dialog. Di tempat sempit ketika hampir terkuak siapa sebenarnya pembuat kegaduhan ini. Diam-diam Sengkuni dipanggil Paduka Yang Mulia Dretarastra. Sengkuni diadili dan dipojokkan di depan Duryadana dan kakaknya Dewi Gandari. Bukan Sengkuni kalau tidak ada jawaban. Ia pun menjawab semua pertanyaan Yang Mulia Drestarasta.
“Sengkuni!”
“Iya Yang Mulia.”
“Saya mau bertanya, jawab yang benar. Jangan kau tambah dan kurangi. Katakan apa adanya. Lakon Brantayudha Jayabinangun ini, kamu ikut buat atau tidak?”
“Iya, saya ikut Yang Mulia.”
“Sejak kapan?”
“Sejak awal mulai akhir. Sejak permainan dadu itu.”
“Yang membuat Pandawa bermain dadu itu siapa?”
“Ya saya. Karena saya bandarnya.”
Yang Mulia Drestarasta pun semakin marah. Lantas terus bertanya dari baris ke baris.
"Terus apa niatmu? Apa misimu? Sampai kau tega berbuat gaduh negara ini?"
“Apa memang kamu datang bersamanya kakakmu ke sini, sudah punya niat ingin menumpas keturunan Begawan Abiyasa?”
“Tidak Yang Mulia.”
“Terus bagaimana, karena suasananya seperti sekarang ini. Coba pikirkan perang Pandawa-Kurawa sampai anakku mati semua."
"Coba ulangi apa yang kau harapkan? Ada rencana apa? Bukan perang yang kita bahas tapi apa yang ada dalam hatimu dan di pikiranmu sampai membuat perang seperti ini?”
Sengkuni tampak berang. Ia tak mau disalahkan begitu saja. Tak mau ditanya bak menghakimi. Terdakwa Sengkuni. Ia pun kemudian balik bertanya kepada Yang Mulia.
“Sebelum berkata banyak. Saya mau bertanya dulu. Apa orang sebanyak ini hanya saya yang paling jelek sendiri? Apa wayang sekotak ini hanya Sengkuni yang paling jelek?”
“Lha terus, baikmu di mana?”
“Tunggu dulu Yang Mulia. Perlu diingat Yang Mulia. Jangan sampai melupakan jasa orang lain. Memang saya mengakui salah. Namun apa Yang Mulia tidak merasa salah?”
“Kurang ajar kau? Tak pukul hingga kepalamu. Kamu mau mencari kambing hitam dan mencari-cari akarnya lalu mencatut membawa namaku.”
“Tunggu dulu Yang Mulia. Saya mau bertanya, Kurawa itu anaknya siapa?”
“Kurawa itu anak saya. Dasar orang gila. Kurawa itu anakku, yang juga kakakmu Gandari.”
"Berapa jumlahnya?"
"100."
"Bagus mana orang tua yang membuat anak tetapi tidak pernah merawat, atau tidak membuat anak-anak tapi mau merawat dan memberikan jalan kemuliaan kepada anak itu?"
“Yang Mulia dulu pernah berkata kepada saya. Sengkuni aku titipkan keponakanmu, carikan kemuliaan. Nah, sekarang Duryadana jadi raja itu yang merekayasa siapa? Saya. Dursasana jadi mahapatih saya yang merekayasa Yang Mulia?. Saya.”
“Perkara mencari kemuliaan dengan jalan yang baik khan banyak?”
“Ah Yang Mulia. Baik dan tidak itu bergantung siapa yang melakukannya. Baik untuk saya belum tentu bagus bagi Yang Mulia. Tetapi pekerjaan saya sudah selesai. Saya merawat anak-anak titipan Yang Mulia dan sekarang semuanya sudah jadi.”
“Tetapi saya tetap mengaku, saya pembuat gaduh seperti sekarang ini. Tetapi ingat Yang Mulia, rusaknya Sengkuni bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk memuliakan keluarga Yang Mulia. Sengkuni dosa besar. Membuat keonaran dari awal hingga akhir."
"Dan saya tanggungjawab membuat situasi seperti sekarang ini. Saya akan tebus dosa. Saya tidak mau, Sengkuni mati seperti katak, saya malu. Manusia penuh dengan dosa kalau mati harus terlentang, gagah di medan perang.”
Sengkuni pergi ke medan laga. Ia bertanggung jawab terhadap apa yang telah ia berbuat. Negara gaduh dan menyebabkan perang Brantayudha.
Lalu Prabu Drestarasta berpikir. Ia mengacungkan jempol kepada Sengkuni.
"Nek, tak pikir-pikir, Sengkuni itu semuanya tidak salah. Aku juga salah. Orangtua yang hanya bisa membuat anak-anak dan itu gampang. Mendidik anak menjadi mulia itu yang susah."
“Sengkuni ada benarnya juga. Meskipun sifat orang jelek tapi memiliki kebaikan. Di balik kelakukan jeleknya ada sikap baik, tanggungjawabnya. Kasih sayang kepada keponakanmu.” (*)
/la dalah/ :apa kabar brotoseno: negoro gonjang-ganjing: langit kelap kelip: sabda ki manteb sudarsono

denpasar, 20 november 2016
Read More

Rabu, 16 November 2016

Rumor Aksi 4 November #411

ilustrasi/net
(Provokasi Media dan Jurnalisme Damai)

KEMARIN banyak yang bertanya, “Benar akan ada demonstrasi besar-besaran 4 November nanti?” “Demo penistaan agama di Jakarta?” “Isu yang diseret-seret ke ranah politik.” Bukan orang Jakarta yang bertanya. Tahu dari mana? Membaca berita dan melihat siaran televisi. Beberapa hari ini, media banyak memuat rumor “Aksi 4 November” (411) 2016. Dampaknya kecemasan dan kekhawatiran teror berita begitu dahsyat. Kemungkinan ada 200.000-an massa dari seluruh Indonesia, mulai Sumatera, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Itu juga masih rumor belum ada fakta.

Bukankah tanggal itu tepat hari Jumat? Boleh dong ada rumor bukan demo tetapi “salat Jumat bersama” di Masjid Istiqlal. Jarang-jarang salat Jumat di masjid yang dibangun yang diprakarsai Bung Karno ini. Atau bagi warga dari daerah, kesempatan langka jamaah di masjid terbesar di Asia Tenggara ini. Setelah salat Jumat diwawancarai jurnalis TVRI tentang kesan salat Jumat di Masjid Istiqlal.

Namun apa yang tertulis dan terlihat. Media mengungkap rumor ini sebagai perihal yang seolah sangat penting hingga genting. Betapa tidak, diamati dari judul-judul media baik online maupun cetak hingga televisi menayangkan “simulasi” pengamanan di mana-mana. Aparat berbaris seolah menghadang kerusuhan. Lalu memasang foto petugas keamanan berjaga di titik tertentu yang sebenarnya sehari-hari memang jaga di situ. Televisi menayangkan pasukan keamanan membawa senjata laras panjang. Pasukan tentara berkumpul. Menuliskan ibukota siaga satu, personel dari beberapa Mapolda ditarik ke ibukota, TNI siap kawal. TNI all out back up Polri.

Pemilihan nasasumber tak kalah “hebatnya”. Wawancara petinggi polisi dan TNI, pejabat, elit politik, tokoh agama, tokoh masyarakat. The power of game dan konflik kepentingan yang diakomodasi dalam wadah jurnalisme perang. Tak kalah “panas” para politisi dan elit politik memberikan komentar rumor aksi 411 saat diminta menanggapi. Komentarnya semakin memanaskan suasana. Bahkan ada yang menyebutkan presiden yang menjadi incaran aksi 411. Lebih ngeri lagi, rumor bakal ada disintegrasi bangsa, sebuah keadaan tidak bersatu padu, terpecah belah dan hilangnya keutuhan atau persatuan bangsa. Presiden pun turun tangan sowan datang ke rumah Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di kediaman Prabowo, Hambalang, Bogor, 31 Oktober 2016. Keduanya berkuda santai tetapi kabarnya membicarakan aksi 411.

Genting, cemas, waswas iya tentunya. Ada yang bilang “Ini nanti akan terjadi kerusuhan.” “Demo ini mengarah isu SARA.” “Tutup saja kantor, toko.” “Ini ngomong soal agama.” “Ini tentang mayoritas dan minoritas.” Aksi 411 menjadi perbincangan di mana-mana. Media massa hingga media sosial (medsos) ramai dan menjadi trending topic. Meme-meme rumor ini beredar luas melalui berbagai platform. Teror, siapa meneror dan siapa yang diteror? “Paranoid” begitu kata Sirikit Syah. Kondisi media massa, para elit dan warga Jakarta yang tidak berdosa. Semuanya dicekam ketakutan berlebihan. Semua sepertinya akan menjadi dramatis.

Dan ini ditangkap dengan “sempurna” oleh industri media. Menempatkannya di halaman depan. Apalagi madzab jurnalisme halaman depan penuh dengan dramatis paling digemari dan konon “paling laku dijual”. Ini seperti di awal abad 20 lalu Joseph Pulitzer ketika membuat keputusan. Waktu itu, baru saja membeli The New York Post. Pulitzer mengubah koran baik-baik dan sopan itu dengan apa yang disebutnya “front page journalism” (jurnalisme halaman depan), koran yang halaman depannya penuh warna, HL-nya berhuruf luar biasa besar dan tebal, fotonya bisa sepanjang lebar koran. Ini kontras dengan tradisi koran di AS waktu itu, yang berita penting atau tidak pentingnya tak ada bedanya.

Celakanya, topik beritanya berupa rumor. Memang berita asalnya dari rumor tetapi harus dilanjutkan menjadi utuh sehingga tidak menimbulkan fakta yang tidak lengkap (premature facts). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti rumor pun cukup jelas (gunjingan)  yang berkembang dari mulut ke mulut. Sedangkan ilmu Komunikasi menyebutkan, rumor pada dasarnya merupakan hasil reinterpretasi dari interpretasi sebelumnya terhadap fakta yang tidak lengkap yang menyebar melalui komunikasi sosial. Bisa saja rumor menjadi unintentional rumors atau desas-desus yang muncul tanpa sengaja yang terjadi karena adanya ketidakjelasan keadaan atau ketidakpastian yang berlebihan.  Maka, itu bisa terselesaikan dengan rumusan Allport dan Postman menanggulangi rumor bisa dilakukan secara preventif, yaitu memberikan informasi faktual yang terverifikasi. Atau juga melalui rumusannya “Hukum Dasar Rumor” dengan mengistilahkan golden hour yaitu waktu emas menangani rumor.

Atau apakah ini lebih pada agenda setting seperti yang diungkapkan Maxwell C McCombs dan Donald L Shaw yang melakukan penelitian surat kabar di 1946 silam. Tentu, ini lebih baik karena agenda setting mengasumsikan adanya hubungan positif antara penilaian yang diberikan media pada suatu persoalan dengan perhatian yang diberikan khalayak.

April 2001
Kondisi ini hampir mirip pada masa akhir April 2001. Tepatnya menjelang “Istighotsah NU” yang digelar 29 April atau sehari menjelang sidang DPR 30 April 2001. Waktu itu disebutkan Istighotsah diperkirakan akan dihadiri 200.000 orang dari berbagai daerah. Ada berita yang menuliskan akan ada Front Pembela Kebenaran (FPK) pendukung Gus Dur yang berangkat ke ibukota. Tetapi kemudian lebih banyak disebut Pasukan Berani Mati (PBM).  Media cenderung mengkonstruksikan PBM sebagai sosok yang menakutkan, garang, dan memiliki kekuatan luar biasa. Ada juga yang mendeskripsikan PBM dibekali jimat dan ilmu yang memiliki daya linuwih (melebihi orang biasa).

Bukankah kalau di pesantren selain mengaji kitab kuning diajari pencak silat? Juga wiridan dan bacaan hizib, seperti hizib nashor. Biasa kan? Supaya ilustrasi dramatis, nanti kalau ada santri yang mengikuti ritual Telasan kenaikan sabuk diberitakan latihan tenaga dalam. Lebih-lebih dituduh isu santet.

Media wawancara dengan pejabat, petinggi keamanan, politisi hingga diplomat dan keluarganya yang tinggal di Jakarta. Mereka dengan berikan pertanyaan yang kemudian membuat jawaban waswas dan cemas. Begitu juga petinggi kepolisian berkali-kali membuat pernyataan menjaga keamanan warga di Jakarta. Kepolisian waktu itu menyatakan mengerahkan setidaknya 42.000 personel untuk mengamankan Jakarta saat Istighotsah. Tentu efek berita tersebut menjadi teror. Kecemasan dan kekhawatiran bukan hanya bagi warga Jakarta tapi di daerah. Seolah-olah akan ada chaos, padahal masih rumor.

MediaWatch waktu itu meneliti dan mencatat empat media atas judul, foto, grafis, diksi dan posisi berita rumor tersebut. Penelitian juga dilakukan di atas grafis atau foto dengan menggunakan dua variabel tanda sintagma dan paradigma yang merupakan cabang semiotik. Hasilnya, media cendrung menulis berita sifatnya provokatif. Mengabarkan PBM sebagai pasukan yang memang dibentuk untuk melawan siapa pun yang berusaha menjatuhkan Gus Dur.

Pers memiliki hak memilih termasuk memilih narasumber dan berita apa yang layak dimuat. Jadi tidak haram, menulis berita mendinginkan suasana, bukan sekadar berita mengumbar dan mengkonsumsi fakta belaka. Media sudah selayaknya mengedepankan “Jurnalisme Damai” (Peace Journalism).  Berita-berita yang disajikan menyelesaikan konflik dan pertikaian, serta mendorong solusi konflik dengan prinsip win-win solution seperti yang ditulis teori dua pendukung jurnalisme damai Jake Lynch dan Annabel McGoldrick. Atau misalnya menempatkan fungsi pers dan kembali ke khittah Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. (*)

Denpasar, 1 November 2016
Read More

Senin, 14 November 2016

“Selamat Tinggal Pelatih Hebat!”

Indra Sjafri/kompas.com

(Belajar Teori Kambing Hitam Sepak Bola dari Indra Sjafri)

Tanggal 2 November 2014 mungkin menjadi momen yang dibenci pencinta sepak bola Indonesia. Angka tersebut tentu masih diingat manajer Bali United Indra Sjafri. Ada apa dengan Coach Indra? Bukankah sekarang juga November? Tunggu dulu.

Jauh sebelum Indra Sjafri, ada nama Otto Rehhagel. Ia  adalah sosok di balik kesuksesan sepak bola “Negeri Para Dewa” Yunani. Kisah itu disebut-sebut sepak bola pragmatisme mengalahkan filosofi Total Voetball ala Belanda, Jogo Bonito indah khas Brasil, Catenaccio di Italia, dan tiki-taka Spanyol.

Euro 2004 selalu diingat pandit dan penggemar sepak bola. Jagat bola dikejutkan dengan tim underdog Yunani. Tim yang sama sekali tak diperhitungkan pada ajang sepak bola paling bergengsi di “Benua Biru” ini akhir mengangkat trofi.  

Pria asal Jerman itulah yang mengubah segalanya. Tim strata bawah mampu menjungkirbalikkan fakta hitung-hitungan di atas kertas. Rehhagel menciptakan permainan praktis dan sepak bola efisien. Tim sering dijadikan lumbung gol bagi lawan-lawannya berubah menjadi skuat dengan pertahanan sangat kuat.

Namun sapa sangka, sebelum kesuksesan itu tiba, Rehhagel menunai kritikan dan cemoohan. Datang ke Yunani pada 2001 dengan track record sebagai pelatih sukses dengan dua gelar Liga Jerman dan gelar Piala UEFA bersama Werder Bremen. Ia menjalani debut dalam laga uji coba pertamanya bersama tim Yunani melawan Finlandia. Anak asuh Rehhagel dipermak dengan memalukan 1-5 oleh Finlandia. Media di Yunani menerbitkan berita berjudul  “Selamat Tinggal Pelatih Hebat!” waktu itu. Tiga tahun kemudian, Rehhagel berhasil menularkan ilmu bermain sepak bolanya kepada pemain Yunani yang masih muda dan keras kepala. Rehhagel sukses menorehkan tinta emas, Yunani juara Euro 2004.

Namun setelah itu, Rehhagel tidak berhasil meloloskan Yunani ke Piala Dunia 2006. Meski sukses meloloskan Yunani di Euro 2008, toh dipecundangi Swedia dan Rusia di dua laga penyisihan. Publik sepak bola Yunani menuntut Rehhagel mengundurkan diri atau dipecat, meski kontraknya hingga 2010. Namun, federasi berkehendak lain, mempertahankan hingga ia resmi mengundurkan diri pada 2010.

Berbeda dengan Indra Sjafri yang justru langsung dipecat PSSI sebagai pelatih Timnas U19 meski kontraknya hingga 2015. Tepat pada Senin (2 November 2014) malam. Padahal, kontrak Indra Sjafri timnas U-19 berakhir pada tahun 2015. Keputusan itu, setelah pelatih yang dikenal dengan filosofi pendek-pendek-panjang (pepepa) gagal mengantarkan Evan Dimas dan kawan-kawan ke ajang Piala Dunia U20 di Selandia Baru 2015 lalu. Juga posisi terperosok di dasar klasemen grup B Piala Asia U-19 di Myanmar (Oktober 2014). Anak asuh Indra Sjafri menelan tiga kali kekalahan dan 0 poin. 

Hitung-hitungan Indra Sjafri telah sukses mempersembahkan trofi Piala AFF 2013 U-19 tak jadi pertimbangan. Apalagi prestasi meloloskan Timnas U-19 ke putaran final Piala Asia. Nama-nama dan skuat Garuda Jaya melejit. Undangan dari mana-mana bak artis. Pujaan pencinta sepak bola seperti menemukan pahlawan baru. Masyarakat menyanjung pasukan Garuda Muda setinggi langit. Ada banyak cacatan-catatan itu bisa dijadikan tolok ukur,  namun catatan “miring” itu sudah cukup sebagai kambing hitam melengserkan Indra Sjafri. Dan Indra tetap dipecat.

Banyak pelatih, pemain, wasit, penonton, rumput, dan tanah lapangan yang merasakan menjadi kambing hitam. Nama-nama pelatih besar pun tidak menjadi jaminan aman dari praktik kambing hitam. Tak heran, jika Simon Crosby di tahun 2001 menuturkan gejala kambing hitam memang terjadi di mana-mana. Keluarga, lingkungan tetangga, sekolah, tim, klub, organisasi, dan negara, karena gejala itu bersumber dari kecemasan.

Mari kita telusuri kambing hitam itu. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kambing hitam /kam·bing hi·tam/ merupakan kata benda kiasan yang berarti orang yang dalam suatu peristiwa sebenarnya tidak bersalah, tetapi dipersalahkan atau dijadikan tumpuan kesalahan.

Dalam khazanah Sosiologi, kambing hitam termasuk teori yang juga dikenal dengan teori scapegoating. Teori ini sudah mengemuka pada zaman Romawi silam. Dasarnya individu tidak bisa menerima perlakuan tertentu yang tidak adil, maka perlakuan itu dapat ditanggungkan kepada orang lain. Bagaimana Hitler mengkambinghitamkan orang Yahudi sebagai penyebab rusaknya sistem politik dan ekonomi negara ketika Jerman mengalami depresi di tahun 1930-an.

Lantas di abad ke-19 juga terjadi praktik pengkambinghitaman. Adalah orang Amerika mengkambinghitamkan orang Islandia sebagai sebab kemiskinan, kriminal, dan korupsi politik. Seperti dalam tulisan Prof Dr Alo Liliweri, MS “Prasangka dan Konflik” ketika orang Islandia bertambah maju dan sukses, maka kambing hitam itu diarahkan kepada orang Jerman, orang Polandia, Tiongkok, dan Jepang.  

Sosiolog Bettelheim dan Janowitz di tahun 1964 pernah melakukan studi prasangka yang menyebutkan kambing hitam merupakan bagian dari teori prasangka pada tingkat makro bersama teori eksploitasi. Atau dalam bahasa sehari-hari kambing hitam berasumsi frustasi merupakan sebab suatu prasangka. Spacegoating lebih menekankan berbagai kesalahan yang muncul dalam suatu masyakarat dapat ditimpakaan atau dialihkan kepada kelompok tertentu.

Kambing hitm merupakan eksplanasi dari pendekatan kultural, namun sebagian mengganggap sebagai pendekatan psiko-dinamuk. Dalam praktik kambing hitam mempermasahkn orang merupakan bentuk pengalihan kesalahan orang lain. Tindakan mengkambinghitamkan orang lain merupakan bagian dari kultur, sehingga sering disebut drama triangle concept (Karpman). Kambing hitam juga bisa bentuk pertahnan diri (self-mechanism).

Studi keduanya juga menemukan mobilitas ke bawah (perubahaan status yang lebih rendah) selalu dicurigai daripada mobilitas ke atas. Jadi ukuran performance menurun, statistik anjlok, maka jadi sasaran empuk kambing hitam karena setiap masyarakat, selalu ada orang atau kelompok orang yang dikorbankan untuk mendapat perlakuan tidak adil. Kambing hitam layak disematkan dalam teori-teori konspirasi dan ini realitas sosial. Menurut Spengler dan Toynbee ini merupakan siklus yang mempunyai ulang-ulangan (recurrent pattern) untuk jatuh banguannya peradapan. Lalu bagaimana dengan Indra Sjafri?

19 Desember 2014 Indra Sjafri meneken kontrak resmi sebagai pelatih Bali United (waktu itu masih Bali United Pusam). Kabar yang mengejutkan ketika Indra Sjafri menyetujui durasi kontrak lima tahun. Alasannya ia mau bergabung dengan klub profesional memiliki kesamaan visi dan misi terutama pembinaan usia muda.

Antusias merintis tim dengan semangat mengorbitkan pemain muda dan pemain lokal. Ia menyadari memberikan kepercayaan penuh kepada pemain muda dengan segala risikonya. Lalu mengkombinasikan semangat pemain dengan mendatangkan duo pemain Korea Selatan, Yoo Jae Hoon (kiper Persipura) dan Dae Won Ha (bek). Bali United benar-benar mampu mengobati dahaga pencinta dan masyarakat sepak bola Bali. Indra Sjafri dan pemainnya layak didukung dan ditonton. Bayangkan Stadion Kapten I Wayan Dipta dengan kapasitas 40.000 penuh. Rekor jumlah penonton di stadion yang dulu dijadikan home base Persegi Bali FC dan Bali Devata FC. Semeton Dewata (julukan suporter Bali United) dan masyarakat berbaur memerahkan stadion Kapten Dipta.

Bali United mengikuti Liga Super Indonesia (LSI) sebelum kemudian dihentikan di tengah jalan. Meski demikian, Serdadu Tridatu (julukan Bali United) aktif latihan dan mengadakan dan mengikuti turnamen. Hasilnya peringkat II sunrise of Java Cup 2015, peringkat IV turnamen Piala Bhayangkara 2016, Peringkat II Trofeo Persija, dan Juara Trofeo Bali Celebest 2016. Selama 2015-2016 anak asuh Indra Sjafri menunjukkan statistik di laga uji coba dan turnamen sebanyak 17 kali menang, 7 seri, dan 20 kalah.

Sedangkan di Indonesia Soccer Championship (ISC) 2016 ini, Bali United sudah sebanyak 26 main, 7 menang, 8 seri, dan 11 kalah. Pasukan Indra Sjafri mengumpulkan 29 poin, dengan 23 gol, 38 kebobolan sehingga posisi 12 di klasemen sementara. Catatan penonton sebelumnya pernah 10.003 pada pekan ke-4 saat Bali United menjamu Semen Padang yang berakhir dengan kemenangan 2-1. Juga pada laga pekan ke-6 saat Bali United meladeni Persela Lamongan dengan skor akhir 3-1 ditonton 15.133 orang. Rata-rata penonton pun masih di atas 5.000. Kira-kira apa dan siapa kambing hitamnya?

Belakangan ini, memunculkan spekulasi Indra Sjafri bakal didepak. Suara lantang dari sub suporter menghendaki Indra Sjafri diganti. Menuntut mundur Indra Sjafri jika tak kunjung anak asuhnya memenangi laga dan meraup tiga poin. Fadil Sausu dan kawan-kawan pun ternyata tak kunjung menang. Apakah kontrak Indra Sjafri diakhiri dan diganti dengan pelatih lain?

Toh, sepak bola tak melulu tentang menang dan kalah atau sekadar catatan di papan skor. Dalam sepak bola sudah masyhur dengan super hero dan anti-hero. Percis, dalam hukum sepak bola ada yang dipuja-puja dan dicampakkan. Juga habis manis sepah dibuang. Sepak bola tak terhindar dari praktik konspirasi. Bukankah sepak bola adalah permainan? Konflik muncul tak masalah bagian dalam agenda. Kambing hitam menjadi alasan tergampang mengambil keputusan. Pemecatan pelatih, keputusan transfer pemain, kontrak pemain, dan banyak lagi dengan ukuran like and dislike sudah biasa. Apalagi kalau berhitung soal keuntungan, tentu menjadi pertimbangan utama dalam industri sepak bola. Banyak penonton dan sponsor.

Hegel dan Marx memandang perkembangan tahapan sejarah merupakan hasil konflik yang meningkat melampaui waktu. Lalu begitu jelas George Herbert Mead, “kehidupan sosial dapat dipahami sebagai suatu proses dan setiap kejadian selalu mengandung waktu lampau, sekarang, dan yang akan datang.” (*)

Denpasar, 6 November 2016
Read More