Sabtu, 24 Desember 2016

Neng Cinta di Ladang Tebu

ilustrasi-tribun jabar

FA'ALA - yaf'ulu - fa'lan - wa maf'aalan - fahuwa faa'ilun - wadzaaka maf'uulun - uf'ul - laa taf'ul - maf'alun maf'alun - mif'alun. Sayup-sayup terdengar lafal-lafal bahasa Arab. Semakin terdengar jelas. Aku teringat benar, ini bagian awal kitab al-Amtsilah at-Tashrifiyyah, kitab sharaf karya KH M Ma'shum Diwek Jombang. Cakrawala petang beranjak meninggalkan mega-mega merah memudar teriris di langit biru, memutih, dan kuning. Berangsur-angsur menghitam. Aku berdiri di teras.
"Takdirku tak bisa berubah. Aku akan dijodohkan," kata Neng Romlah, putri Kiai, waktu itu.
"Tetapi, bagiku ini belum terakhir, justru awal segalanya. Aku akan buktikan. Tidak ada yang tak mungkin," aku mencoba meyakinkan Neng Romlah.
"Bapak? Apalagi Ibu sudah tahu segalanya, tidak mungkin mengizinkan."
Desir angin berembus. Menerpa daun-daun tebu. Saling menyentuh antara satu dengan yang lain. Aku berdiri di antara ikatan-ikatan tebu. Rimbun ladang tebu menutup rapat. Neng Romlah berdiri di pematang luar kebun tebu milik Kiai.
"Aku pulang dulu. Bapak sudah memanggil."
Tak kuhiraukan Neng Romlah pamitan. Jelas bukan perkara mudah. Aku harus meluluhkan hati Kiai, Ibu Nyai, dan keluargaku.
**
"SUDAH siapkah kau menikah?"
Malam itu seolah terang benderang. Bumi bak pecah terbelah. Cahaya bulan seakan-akan tenggelam berganti matahari. Laksana sorot sinarnya hanya tertuju ke arahku. Kepala tertunduk tak berani mengalihkan pandangan ke depan atau samping. Berat bibir membuka berbuah kata.
"Sudahkah kau siap menikah? Kalau kau sendiri tak yakin, bagaimana orang lain? Apakah kau hanya bercanda dan membujuk Romlah?"
Malam semakin larut, belum kunjung berkata. Menjawab pertanyaan yang kunantikan selama ini. Tentang asa dan cinta yang setiap hari kuharapkan. Tentang doaku sepanjang waktu. Cinta yang pernah kuukir penuh dengan khayalan. Mimpi menjadi kenyataan.
Aku akan bersanding dengan Neng Romlah. Terbayang kewajiban dan akhlak menjadi menantu Kiai. Mengajar kitab kuning dan menyimak hafalan bait-bait nadhom para santri. Setelah salat Magrib misalnya, harus rutin menyimak hafalan nadham imriti. Lebih-lebih lagi 1.000 bait nadham Al Fiyah Ibn Malik.
"Terserah. Kamu yang memutuskan. Aku tak akan ikut campur. Kau akan menjadi menantuku. Kau menjadi bagian di sini."
Aku masih membisu. Mata tetap menatap tanah hitam tanpa remang cahaya lampu di depan ndalem rumah Kiai. Teras rumah tua ini, tempat berdiri sekarang ini. Dua tahun sudah, aku menunggu Neng Romlah. Teringat waktu ia bermanja-manja setelah salat Subuh di hari Jumat. Hari libur membaca kitab Tafsir Jalalain dan Saheh Bukhari. Aku muhasabah setiap waktu dan bermunajat berharap kau kembali. Para santri hampir setiap malam membaca wirid untuk kepulanganmu. Berdoa semoga kau selamat. Neng Romlah pergi dari rumah dan semuanya bungkam.
"Lantas apa salahku? Normal saja aku melakukannya? Tidak ada salahnya dan banyak tamsil? Ini murni tentang sifat manusia dan dibenarkan agama. Aku juga tak diam-diam, pamit denganmu."
Lalu aku berjalan dengan pandangan jauh ke selatan. Meski gelap aku hafal jalan setapak itu menuju ladang tebu.
**
"INI sudah malam. Kamu harus pulang. Ayo pulang bersama."
Aku mencoba mendekati Neng Romlah pada suatu malam. Kiai sudah lama mencari dan khawatir. Para santri berusaha mencari di pinggir jalan raya dan halte bus. Sebagian mencari dan memeriksa di ladang tebu.
Tiba-tiba aku berbalik arah dan memisahkan diri dari rombongan. Berjalan dan berlari menerobos rimbun pohon tebu di tengah ladang. Tangan menutup samping mata agar tak terkena daun tebu. Sempat merinding, teringat cerita Kang Umam mengenai kuburan massal peristiwa 1965. Entah benar atau tidak, tetapi cerita itu begitu dipercaya. Pak Yas, pemilik sawah tiga petak ini, hampir setiap malam Jumat menaburkan bunga di lokasi kuburan itu. Namun niat kuat, kegelisahan, dan kekhawatiran mengantarkanku.
Kaki melangkah menuntun menuju tempat yang sebenarnya tak asing bagiku. Benar adanya. Kutemukan sesosok manusia duduk. Napas tersengal-sengal mendekatinya. Kudengar samar-samar isak tangis. Semakin dekat semakin jelas dan pasti Neng Romlah.
"Tempat ini tidak baik bagimu. Apalagi sekarang sudah malam. Biarkan aku yang menjelaskan apa yang sebenarnya, kepada Kiai. Tentang hubunganku denganmu dan Gus Takim." Bujuk rayu agar Neng Romlah mau pulang. Kujelaskan cara pandang dan pilihan Kiai, juga tentang Gus Takim.
"Iya, aku mengerti tentang itu. Tetapi besok ada rencana itu. Gus Takim ke ndalem bersama keluarga. Aku dengar langsung Bapak dan Ibu bicara itu." Neng Romlah mulai bicara meski pelan.
"Percayalah padaku. Percayalah kepada Kiai. Tidak mungkin. Itu hanya sepenggal yang kaudengar. Waktu kamu keluar, ada pembicaraan lain. Percayalah. Kiai tidak akan melanjutkan dan memaksamu. Aku sangat yakin, karena kau adalah putri satu-satunya Kiai."
Malam semakin larut. Sayup-sayup angin menusuk tubuh. Dingin mulai terasa dan tak tertahan. Neng Romlah hanya terdiam.
**
"INI bukan karena balas budiku."
Kata Kiai sebelum membuka peristiwa penting. Aku dipanggil langsung Kiai tanpa didampingi pengurus. Bapaknya Neng Romlah, calon mertuaku. Aku hanya diam dengan pandangan ke bawah.
"Intinya, aku tahu kamu ini siapa dan keluargamu. Aku sudah bicara banyak dengan bapakmu mengenai hubunganmu dan Romlah. Kamu kuterima. Kamu jadi menantuku."
Kiai terus bicara, sedangkan aku masih terdiam seribu bahasa. Aku tak menyangka dan belum percaya sepenuhnya dengan pembicaraan malam ini. Mengapa kiai menikahkan Neng Romlah denganku, membatalkan perjodohan dengan Gus Takim. Segalanya jelas lebih mentereng Gus Takim. Dari silsilah, bapakku mengajar mengaji di surau, sedangkan bapaknya Gus Takim kiai pesantren tersohor dengan alumni rata-rata menjadi kiai. Alumninya sering mendapat beasiswa studi ke Timur Tengah.
Apakah karena aku berubah? Sejak pertemuan dengan Neng Romlah tempo itu memotivasiku tekun belajar. Mendengarkan nasihat ustaz, menghafal kitab nahwu dan sharaf hingga bisa membaca kitab kuning gundulan tanpa harakat. Menulis Arab pegon untuk menerjemahkan kitab kuning. Menulis ulang beberapa kitab, diskusi, dan ceramah. Kesabaran mengubahku dan berbuah. Puncaknya aku menyelesaikan hafalan nadham Alfiyah di depan kiai.
"Juga bukan karena kau sudah berubah. Kau sempurna menguasai ilmu alat, tetapi bukan karena itu." Aku ingat lagi kata-kata kiai.
"Apakah karena peristiwa di ladang tebu itu?" Mataku semakin menatap jalan setapak di depan. Aku percaya inilah alasan Kiai. Neng Romlah yang kabur dari rumah, sembunyi di tengah ladang tebu tempat terindahku. Tempat sunyi semedi menghafal dan belajar kitab pelajaran. Atau tempat persembunyian setelah bertemu dengan Neng Romlah. Aku berhasil membujuk Neng Romlah pulang.
"Ini bukan karena kamu bisa mengajak pulang Romlah waktu itu," kata Kiai mematahkan ingatanku.
Aku masih bertanya-tanya dalam hati. Ataukah cinta tulus membuka jalan terjal di awal. Kasih sayang telah mencairkan gunung es. Ketulusan adalah jalan, cinta muaranya, dan kasih sayang wujudnya. Keikhlasan dan kesetiaanku kepada Neng Romlah meluluhkan hatinya, Kiai, dan Bu Nyai. Kepala menunduk dan mata menatap lurus di titik tanah. Aku mencoba memberanikan diri bertanya kepada Kiai dengan suara lirih.
"Nanti kamu akan tahu sendiri. Yang terpenting kamu harus siap lahir dan batin. Kamu siap, kan?"
"Inggih, Kiai. Iya, Kiai, saya siap. Saya sanggup."
Tanpa berujar apa pun, lantas Kiai berlalu. Kiai mengakhiri bincang malam itu. Masuk ndalem dan menutup pintu. Jantungku masih berdebar. Aku masih sendiri di teras.
**
"APAKAH niat itu masih ada?"
Aku dikejutkan suara Neng Romlah yang tiba-tiba berada di dekatku.
"Tidak, tidak. Aku tidak akan menuruti hawa nafsu, menerobos batas dinding kesetiaan. Aku telah menemukan jawaban tentang apa yang dikatakan almarhum Kiai. Keikhlasan dan kesetiaanku padamu."
Kukecup kening Neng Romlah. Ia pun memeluk dan mendekapku.
"Maafkan, aku berbuat yang tak pernah pernah kauharapkan. Aku telah nekat dan menjauh dari dirimu. Aku tidak tahan. Hatiku selalu tergoyah setiap malam. Air mata menetes terurai. Untaian doa, minta petunjuk di kala sujud tahajud. Aku mencoba bersabar dan berusaha tegar. Ucapan dan nasihat Bapak dan Ibu tentang sifat keserakahan dan kesetiaan manusia adalah benar."
"Setiap detik, bisikan syaitan selalu muncul. Selimut gumpalan kebencianku kepada Neng Siti. Meskipun saudara, tetapi entahlah. Aku tak sanggup membayangkan, ketika kau menikahinya. Dan aku bersamamu."
"Begitu juga denganku, maafkanlah. Aku sekarang mengerti. Aku begitu yakin hikmah di balik semua ini. Kau makin cantik dan pintar. Ilmu dari Kairo selama dua tahun benar-benar kaukuasai. Aku sangat beruntung. Dan yang terpenting, mengingatkanku tentang arti sebuah kesetiaan. Halal bagiku, tetapi sakit bagimu."
Kami saling berpandangan. Senyum Neng Romlah, kubalas. Lalu kami bergegas melepas petang yang telah mendera menjadi malam.
***
Minggu, 27 November 2016 06:14
http://jabar.tribunnews.com/2016/11/27/neng-cinta-di-ladang-tebu

0 komentar:

Posting Komentar