Jumat, 30 Desember 2016

dialog pen tutul


biarkan mereka turun di jalan
aku diam di pojok di bawah tiang
mengkaji kitab sulam safinah an-naja 
biarkan mereka bercerai berai
aku berlari-lari senang 
karena sudah khatam nadam a lala 
biarkan mereka menghujat lagi mengumpat
aku sedang girang mengeja wazan fa’ala yaf’ulu fa’lan
biarkan mereka prasangka
maaf aku belajar menulis halus khas tsuluts
biarkan mereka menerka dan mereka
maaf aku sibuk mencelupkan pen tutul
memulai menggores faslun-faslun alfiyah ibnu malik

denpasar, 2016

pena tutul-ilustrasi/net

Read More

Senin, 26 Desember 2016

Lonceng


Malam telah larut, sedangkan aku belum tertidur
hari telah terang, sedangkan aku belum pulang
dan petang telah tiba, sedangkan aku tak kunjung menghamba

Aku asyik berkelana di negeri tak bertuan dan bertuhan
bersenda gurau diiringi nyanyian tangisan histeris kegembiraan
berjalan di lorong yang tak pernah sepi dari hiruk pikuk selimut kegelapan
bercengkrama di gang-gang kecil yang menuntun melintasi raut kehasratan
bergumul di rumah tempat menyanjung dan memuja di puncak bukit belaka

Jiwa-jiwa beterbangan, pulanglah
kau telah larut tanpa sadar menghibur raga-raga nan kosong kerontang di alam fana, menyelami lautan dangkal tak berair, mendaki gunung di dataran daratan

Cahaya bulan sebentar lagi redup, bentuk sabit tak tampak lagi, dan matahari enggan bersinar lagi. Ia terbit dari barat dan timur telah menjadi medan perang atas nama paling benar. jiwa, raga, jasad, dan riwayat lalu menyatu. kembali ketiadaan. seperti semula. sebelum aku dan engkau ada.
(*)

denpasar, 2016
ilustrasi - Lonceng penanda kabut di Chersonesos, Krimea, Ukraina (wikipedia)

Read More

Sabtu, 24 Desember 2016

Neng Cinta di Ladang Tebu

ilustrasi-tribun jabar

FA'ALA - yaf'ulu - fa'lan - wa maf'aalan - fahuwa faa'ilun - wadzaaka maf'uulun - uf'ul - laa taf'ul - maf'alun maf'alun - mif'alun. Sayup-sayup terdengar lafal-lafal bahasa Arab. Semakin terdengar jelas. Aku teringat benar, ini bagian awal kitab al-Amtsilah at-Tashrifiyyah, kitab sharaf karya KH M Ma'shum Diwek Jombang. Cakrawala petang beranjak meninggalkan mega-mega merah memudar teriris di langit biru, memutih, dan kuning. Berangsur-angsur menghitam. Aku berdiri di teras.
"Takdirku tak bisa berubah. Aku akan dijodohkan," kata Neng Romlah, putri Kiai, waktu itu.
"Tetapi, bagiku ini belum terakhir, justru awal segalanya. Aku akan buktikan. Tidak ada yang tak mungkin," aku mencoba meyakinkan Neng Romlah.
"Bapak? Apalagi Ibu sudah tahu segalanya, tidak mungkin mengizinkan."
Desir angin berembus. Menerpa daun-daun tebu. Saling menyentuh antara satu dengan yang lain. Aku berdiri di antara ikatan-ikatan tebu. Rimbun ladang tebu menutup rapat. Neng Romlah berdiri di pematang luar kebun tebu milik Kiai.
"Aku pulang dulu. Bapak sudah memanggil."
Tak kuhiraukan Neng Romlah pamitan. Jelas bukan perkara mudah. Aku harus meluluhkan hati Kiai, Ibu Nyai, dan keluargaku.
**
"SUDAH siapkah kau menikah?"
Malam itu seolah terang benderang. Bumi bak pecah terbelah. Cahaya bulan seakan-akan tenggelam berganti matahari. Laksana sorot sinarnya hanya tertuju ke arahku. Kepala tertunduk tak berani mengalihkan pandangan ke depan atau samping. Berat bibir membuka berbuah kata.
"Sudahkah kau siap menikah? Kalau kau sendiri tak yakin, bagaimana orang lain? Apakah kau hanya bercanda dan membujuk Romlah?"
Malam semakin larut, belum kunjung berkata. Menjawab pertanyaan yang kunantikan selama ini. Tentang asa dan cinta yang setiap hari kuharapkan. Tentang doaku sepanjang waktu. Cinta yang pernah kuukir penuh dengan khayalan. Mimpi menjadi kenyataan.
Aku akan bersanding dengan Neng Romlah. Terbayang kewajiban dan akhlak menjadi menantu Kiai. Mengajar kitab kuning dan menyimak hafalan bait-bait nadhom para santri. Setelah salat Magrib misalnya, harus rutin menyimak hafalan nadham imriti. Lebih-lebih lagi 1.000 bait nadham Al Fiyah Ibn Malik.
"Terserah. Kamu yang memutuskan. Aku tak akan ikut campur. Kau akan menjadi menantuku. Kau menjadi bagian di sini."
Aku masih membisu. Mata tetap menatap tanah hitam tanpa remang cahaya lampu di depan ndalem rumah Kiai. Teras rumah tua ini, tempat berdiri sekarang ini. Dua tahun sudah, aku menunggu Neng Romlah. Teringat waktu ia bermanja-manja setelah salat Subuh di hari Jumat. Hari libur membaca kitab Tafsir Jalalain dan Saheh Bukhari. Aku muhasabah setiap waktu dan bermunajat berharap kau kembali. Para santri hampir setiap malam membaca wirid untuk kepulanganmu. Berdoa semoga kau selamat. Neng Romlah pergi dari rumah dan semuanya bungkam.
"Lantas apa salahku? Normal saja aku melakukannya? Tidak ada salahnya dan banyak tamsil? Ini murni tentang sifat manusia dan dibenarkan agama. Aku juga tak diam-diam, pamit denganmu."
Lalu aku berjalan dengan pandangan jauh ke selatan. Meski gelap aku hafal jalan setapak itu menuju ladang tebu.
**
"INI sudah malam. Kamu harus pulang. Ayo pulang bersama."
Aku mencoba mendekati Neng Romlah pada suatu malam. Kiai sudah lama mencari dan khawatir. Para santri berusaha mencari di pinggir jalan raya dan halte bus. Sebagian mencari dan memeriksa di ladang tebu.
Tiba-tiba aku berbalik arah dan memisahkan diri dari rombongan. Berjalan dan berlari menerobos rimbun pohon tebu di tengah ladang. Tangan menutup samping mata agar tak terkena daun tebu. Sempat merinding, teringat cerita Kang Umam mengenai kuburan massal peristiwa 1965. Entah benar atau tidak, tetapi cerita itu begitu dipercaya. Pak Yas, pemilik sawah tiga petak ini, hampir setiap malam Jumat menaburkan bunga di lokasi kuburan itu. Namun niat kuat, kegelisahan, dan kekhawatiran mengantarkanku.
Kaki melangkah menuntun menuju tempat yang sebenarnya tak asing bagiku. Benar adanya. Kutemukan sesosok manusia duduk. Napas tersengal-sengal mendekatinya. Kudengar samar-samar isak tangis. Semakin dekat semakin jelas dan pasti Neng Romlah.
"Tempat ini tidak baik bagimu. Apalagi sekarang sudah malam. Biarkan aku yang menjelaskan apa yang sebenarnya, kepada Kiai. Tentang hubunganku denganmu dan Gus Takim." Bujuk rayu agar Neng Romlah mau pulang. Kujelaskan cara pandang dan pilihan Kiai, juga tentang Gus Takim.
"Iya, aku mengerti tentang itu. Tetapi besok ada rencana itu. Gus Takim ke ndalem bersama keluarga. Aku dengar langsung Bapak dan Ibu bicara itu." Neng Romlah mulai bicara meski pelan.
"Percayalah padaku. Percayalah kepada Kiai. Tidak mungkin. Itu hanya sepenggal yang kaudengar. Waktu kamu keluar, ada pembicaraan lain. Percayalah. Kiai tidak akan melanjutkan dan memaksamu. Aku sangat yakin, karena kau adalah putri satu-satunya Kiai."
Malam semakin larut. Sayup-sayup angin menusuk tubuh. Dingin mulai terasa dan tak tertahan. Neng Romlah hanya terdiam.
**
"INI bukan karena balas budiku."
Kata Kiai sebelum membuka peristiwa penting. Aku dipanggil langsung Kiai tanpa didampingi pengurus. Bapaknya Neng Romlah, calon mertuaku. Aku hanya diam dengan pandangan ke bawah.
"Intinya, aku tahu kamu ini siapa dan keluargamu. Aku sudah bicara banyak dengan bapakmu mengenai hubunganmu dan Romlah. Kamu kuterima. Kamu jadi menantuku."
Kiai terus bicara, sedangkan aku masih terdiam seribu bahasa. Aku tak menyangka dan belum percaya sepenuhnya dengan pembicaraan malam ini. Mengapa kiai menikahkan Neng Romlah denganku, membatalkan perjodohan dengan Gus Takim. Segalanya jelas lebih mentereng Gus Takim. Dari silsilah, bapakku mengajar mengaji di surau, sedangkan bapaknya Gus Takim kiai pesantren tersohor dengan alumni rata-rata menjadi kiai. Alumninya sering mendapat beasiswa studi ke Timur Tengah.
Apakah karena aku berubah? Sejak pertemuan dengan Neng Romlah tempo itu memotivasiku tekun belajar. Mendengarkan nasihat ustaz, menghafal kitab nahwu dan sharaf hingga bisa membaca kitab kuning gundulan tanpa harakat. Menulis Arab pegon untuk menerjemahkan kitab kuning. Menulis ulang beberapa kitab, diskusi, dan ceramah. Kesabaran mengubahku dan berbuah. Puncaknya aku menyelesaikan hafalan nadham Alfiyah di depan kiai.
"Juga bukan karena kau sudah berubah. Kau sempurna menguasai ilmu alat, tetapi bukan karena itu." Aku ingat lagi kata-kata kiai.
"Apakah karena peristiwa di ladang tebu itu?" Mataku semakin menatap jalan setapak di depan. Aku percaya inilah alasan Kiai. Neng Romlah yang kabur dari rumah, sembunyi di tengah ladang tebu tempat terindahku. Tempat sunyi semedi menghafal dan belajar kitab pelajaran. Atau tempat persembunyian setelah bertemu dengan Neng Romlah. Aku berhasil membujuk Neng Romlah pulang.
"Ini bukan karena kamu bisa mengajak pulang Romlah waktu itu," kata Kiai mematahkan ingatanku.
Aku masih bertanya-tanya dalam hati. Ataukah cinta tulus membuka jalan terjal di awal. Kasih sayang telah mencairkan gunung es. Ketulusan adalah jalan, cinta muaranya, dan kasih sayang wujudnya. Keikhlasan dan kesetiaanku kepada Neng Romlah meluluhkan hatinya, Kiai, dan Bu Nyai. Kepala menunduk dan mata menatap lurus di titik tanah. Aku mencoba memberanikan diri bertanya kepada Kiai dengan suara lirih.
"Nanti kamu akan tahu sendiri. Yang terpenting kamu harus siap lahir dan batin. Kamu siap, kan?"
"Inggih, Kiai. Iya, Kiai, saya siap. Saya sanggup."
Tanpa berujar apa pun, lantas Kiai berlalu. Kiai mengakhiri bincang malam itu. Masuk ndalem dan menutup pintu. Jantungku masih berdebar. Aku masih sendiri di teras.
**
"APAKAH niat itu masih ada?"
Aku dikejutkan suara Neng Romlah yang tiba-tiba berada di dekatku.
"Tidak, tidak. Aku tidak akan menuruti hawa nafsu, menerobos batas dinding kesetiaan. Aku telah menemukan jawaban tentang apa yang dikatakan almarhum Kiai. Keikhlasan dan kesetiaanku padamu."
Kukecup kening Neng Romlah. Ia pun memeluk dan mendekapku.
"Maafkan, aku berbuat yang tak pernah pernah kauharapkan. Aku telah nekat dan menjauh dari dirimu. Aku tidak tahan. Hatiku selalu tergoyah setiap malam. Air mata menetes terurai. Untaian doa, minta petunjuk di kala sujud tahajud. Aku mencoba bersabar dan berusaha tegar. Ucapan dan nasihat Bapak dan Ibu tentang sifat keserakahan dan kesetiaan manusia adalah benar."
"Setiap detik, bisikan syaitan selalu muncul. Selimut gumpalan kebencianku kepada Neng Siti. Meskipun saudara, tetapi entahlah. Aku tak sanggup membayangkan, ketika kau menikahinya. Dan aku bersamamu."
"Begitu juga denganku, maafkanlah. Aku sekarang mengerti. Aku begitu yakin hikmah di balik semua ini. Kau makin cantik dan pintar. Ilmu dari Kairo selama dua tahun benar-benar kaukuasai. Aku sangat beruntung. Dan yang terpenting, mengingatkanku tentang arti sebuah kesetiaan. Halal bagiku, tetapi sakit bagimu."
Kami saling berpandangan. Senyum Neng Romlah, kubalas. Lalu kami bergegas melepas petang yang telah mendera menjadi malam.
***
Minggu, 27 November 2016 06:14
http://jabar.tribunnews.com/2016/11/27/neng-cinta-di-ladang-tebu
Read More

Jumat, 02 Desember 2016

Segelas Bir Henk Wullems Buat Timnas

Henk Wullems saat mendampingi tim Persegi Bali FC, 2007 lalu. (ali)

Tim Nasional (Timnas) Indonesia melenggang ke semi final Piala AFF 2016. Di tengah keterbatasan persiapan dan berbagai kendala “khas” Indonesia, Boaz Solossa dan kawan-kawan melangkah lebih jauh. Kaki-kaki sebelas patriot bangsa beranjak lebih jauh dibandingkan edisi 2012 dan 2014. Timnas mampu mengobati rindu rakyat Indonesia terhadap dahaga, tontonan, analisis sepak bola setelah sanksi FIFA.
Jauh sebelum itu, rasa pesimistis dimulai dengan hasil tak menggembirakan di laga awal turnamen yang dulu disebut Piala Tiger ini. Timnas kalah 4-2 melawan Thailand menjadi pukulan telak anak asuh Alfred Riedl. Pun kekhawatiran semakin menjadi-jadi karena hitung-hitungan peluang lolos dari fase grup A semakin berat. Pada laga kedua yang seharusnya bisa menang, namun hasil akhirnya imbang 2-2 ketika bersua dengan tim tuan rumah Filipina. Posisi Indonesia pun sebagai juru kunci di klasemen sementara.
Tiba waktunya laga pamungkas, Indonesia harus bermain hidup mati dengan Singapura (Jumat, 25 November 2016). Meski, sempat tertinggal lewat gol salto Khairul Amri pada babak pertama. Namun, pemain Indonesia tidak pantang menyerah. Mereka bangkit pada babak kedua. Hasilnya, Andik Vermansyah dan Stefano Lilipaly mampu menjebol gawang Singapura yang dikawal HA Sunny. Skor tipis 2-1 cukup membuat Indonesia melaju ke babak semi final.
Pesta telah dimulai. Trending topic #TimnasDay bertahan hingga larut malam dan dini hari menyambut gegap gempita timnas Indonesia dipastikan lolos ke semi final waktu itu. Di laga semi final, Indonesia ditantang Timnas Vietnam. Lolos timnas seolah menjadi obat kerinduan dan kebahagiaan hidup bernegara Indonesia.
“Mari bersulam,” kata Meneer Henk Wullems usai mendampingi pemainnya memenangi pertandingan. Ia tampak semringah dan sesekali tertawa lepas. Di depannya tampak segelas bir. Ya, hampir setiap kesempatan, pelatih kelahiran Netherlands, 21 Januari 1936 silam ini minum segelas bir. Baik ketika duduk-duduk di pagi hari di restoran hotel tempat menginapnya. Begitu menikmati sekalipun gaji tak kunjung dibayar pengurus klub. Seteguk demi teguk segelas bir itu berkurang. Pelatih Timnas Indonesia periode 1997-1998 ini juga cukup lihai menuang minuman tertua yang dibuat manusia ini. Ia sangat hati-hati menuang agar tidak rusak. Saat buih-buih bir belum turun, itulah waktunya ia meneguknya.
Ia pun sempat marah ketika pelayan restoran memberikan segelas bir namun tanpa buih.
“Mengapa harus bir Meneer?” Cermati saja makna, tanda, dan simbol semantik Henk tentang hal itu.

Kesehatan Jantung Pertahanan
Layaknya karya sastra mencermati pencerahan mengenai citra, metafora, simbol dan matra. Biarkan bir sebagai tanda pesta. Jamuan pesta kecil dengan teman, keluarga, atau pesta setelah mencapai kemenangan tim. Dan Henk sedang merayakan sebuah hasil pertandingan, minimal menghibur diri. Di sela-sela itu, ia menceritakan sekaligus evaluasi. Mirip diskusi kecil namun hasilnya besar terutama kesehatan jantung pertahanan tim ketika begitu banyak gol masuk dibandingkan pemainnya menjebol gawang lawan. Pesta yang tidak membuat terlena karena masih ada pertandingan selanjutnya.
Henk tahu betul karakter pemain-pemain Indonesia. Malang melintang melatih di tim yang berlaga di liga Indonesia menjadi modal cukup menganalisis kemampuan menyerang dan bertahan sebuah tim di Indonesia. Suami Yvone ini terakhir melatih Persegi Bali FC sebelum benar-benar meninggalkan Indonesia. Sesi uji coba lapangan sehari sebelum pertandingan, ia selalu memastikan kekuatan pemain terutama di posisi defender. Ia menginstruksikan pemain belakang harus benar-benar kuat. Ia akan teriak-teriak jika pemain belakang latihan asal-asalnya. Menghadapi lawan yang terkenal sangat agresif Vietnam misalnya, Henk memberikan instruksi khusus pemain belakang. Ia sering briefing khusus kepada trio pemain belakang. Henk memang terkenal dengan formasi 3-5-2. Menurutnya pertahanan yang kuat bisa meredam gebrakan serangan lawan dan meminimalisir jumlah gol yang masuk.
Henk meminta lini belakang belakang fokus sepanjang pertandingan. Mereka harus bisa koordinasi dan tidak salah paham miscommunication. Jadi mereka harus mengerti dan paham pergerakan masing-masing. Henk kembali teriak-teriak di pinggir lapangan karena pemain belakang salah pengertian.
Nah, sembari merayakan pesta lolos ke semi final, catatan Timnas sekarang ini pada lini pertahanan. Riedl sepertinya telah pakem menerapkan formasi 4-4-2. Namun kuartet lini belakang Benny Wahyudi, Fachrudin, Yanto Basna, dan Abdul Lestaluhu masih rawan. Kebobolan 7 gol atau minus 1 dari jumlah gol lesakan ke gawang lawan. Jumlah gol tersebut juga menjadi gol terbanyak setelah Timnas Kamboja di Piala AFF 2016. Cukup gampang, bagaimana gol cepat Thailand di laga pertama. Antisipasi yang buruk Yanto Basna dan salah pengertian dengan penjaga gawang berakibat fatal.
Laga perdana semi final melawan Vietnam, Sabtu (3/12/2016) akan menjadi perhatian khusus pertahanan. Bisa saja Vietnam akan memanfaatkan celah kelemahan Indonesia. Belum lagi, dua bek Yanto B dan Fachrudin yang selalu mengisi starting line up di babak penyisihan harus absen akibat akumulasi kartu. Stok bek memang masih mumpuni. Riedl mungkin akan mencoba Mahanatti L dan Gunawan D Cahyo dibandingkan bek jebolan U-19 Hansamu. Tentu Riedl segera dievaluasi lini krusial ini.
Riedl bisa saja memaksimal masa jeda kemarin memaksimalkan pola pertahanan menghadapi gempuran Vietnam. Memperbaiki mental agar tidak lengah di menit-menit akhir yang menjadi bumerang. Bisa jadi Riedl bereksperimen menerapkan formasi lain. Bukankah eksperimen sah-sah saja pada tim-tim yang sedang mencari titik stabilnya? Biarkan Riedl mencoba dan menciptakan formula terbaik, sehingga Indonesia juara. “Alangkah indahnya.”
Sembari itu, jangan lupa minumnya cukup segelas. Jangan terlalu banyak nanti bisa mabuk dan larut dalam kemenangan. Jangan sampai mabuk dengan hasil sekarang. Pesta belum waktunya pesta pora. Ingat besok lusa masih ada laga lagi. Pesta cukup selesai sampai di sini dulu, harus persiapan menghadapi laga berikutnya yang tak kalah beratnya. Tetap jaga konsistensi karena jalan masih panjang menuju puncak juara. Kutukan runner up harus dikubur dalam-dalam. Jika berhasil meraih gelar pesta besar telah menanti. PSSI dan pemerintah seperti biasa menjanjikan guyuran bonus. “katanya.”
/o o kamu ketahuan pacaran lagi dengan dirinya teman baikku/
/o o kamu ketahuan pacaran lagi dengan dirinya teman baikku/
/tapi tak mengapa aku tak heran karena dirimu cinta sesaatku/
/dararam dararam//dararam dararam//dararam dararam//dararam dararam/
Sambil berdendang dengan terbata-bata lagu Ketahuan milik Matta Band itu, Henk pun meninggalkan Indonesia. “Terima kasih Meneer segelas birnya.” (*)
Read More