Minggu, 26 Juli 2015

samboyo

ilustrasi - net

TABURAN bunga di atas pusara kuburan itu tak terlihat lagi. Kembang setaman, mawar, melati, kanthil, irisan daun pandan wangi, dan kenanga yang ditaruh saat nyekar tak tercium lagi. Kijing-kijing menyempitkan ruang gerak di sela-sela kuburan. Tertutup tanah-tanah akibat injakan. Batu nisan lengkap dengan nama almarhum tertata rapi. Kuburan hari itu benar-benar terasa sesak. Warga satu kampung kami larut dalam perayaan. Seperti hari raya. Perasaan begitu gembira menyambut hari nyadranan.
“Amien."
Suara warga saat Pak Kiai membacakan doa. Dan terkadang keluar lantang setengah teriak.
"Kabul kajate."
Teriakan Kang Wasimo tiba-tiba terdengar di tengah suara amien. Bapak paruh baya yang hampir setiap hari mengenakan slambruk. Celana yang pakai Mbah Ngadimo saat pentas jaran kepang. Ia percaya di kuburan itu ada Sing Mbaurekso yang menunggu setiap waktu.
Selesai doa, mereka tampak semringah dan lega. Tiba saatnya yang ditunggu-tunggu. Berkat kondangan nasi bungkus dan kotak yang dibawa masing-masing warga. Awalnya tertib, saat dibagi pamong desa. Nasi yang masih menumpuk di pojok kuburan itu kemudian jadi rebutan. Mereka riang gembira membawa nasi-nasi bungkus itu. Memilih lauk yang dirasa paling enak.
Lantas, berduyun-duyun melintasi rel kereta yang membentang garis tengah wilayah dusun ini. Sambil berjalan banyak membicarakan tentang lauk. Ada ayam, telur, tahu, tempe dan tentunya iwak kali.
Mereka menenteng berkat nasi kotak dan bungkus daun pisang. Satu tak cukup. Bahkan ada yang membawa satu kresek plastik berisi empat hingga lima nasi bungkus. Ada juga yang menyunggi di atas kepalanya tiga kotak nasi.

*****

SETELAH siang kondangan di kuburan, malam dilanjutkan dengan acara tradisi seperti tahun-tahun sebelumnya. Tembang Campursari menyapa dan mengema di pertigaan Dusun Pandansari di Desa Klampisan. Tepat di depan halaman Pak Sukidin Ketua RT. Suara gemuruh anglung bersaut-sautan. Bersamaan itu beriringan suara gendang, gong, dan ketipung.
Pedagang mainan tak pernah ketinggalan. Anak-anak berkerumun membeli atau hanya sekadar melihat. Namun malam itu, memberikan nuansa lain kepadaku. Saat air sungai Mentaos mengalir begitu datar. Sebenarnya semua takkan pernah sama saat tujuh tahun lalu.

*****

JAM sebelas malam lebih, ku tembangkan lagu Ojo Dipleroki. Tembang ini tentu tidak asing lagi bagi tetanggaku dan penonton waktu itu. Selalu mengundang penonton untuk berjoget bersama. Para penari kepang terus memukau penonton. Makan kaca lampu. Makan ayam hidup-hidup. Malam itu, sebagai puncaknya disuguhkan atraksi kethean kera jadi-jadian.
Malam itu aku tak sampai di puncak acara. Setelah menembang Ojo Dipleroki mata terasa mengantuk sekali. Memilih keluar, menuju ruang ganti sekadar istirahat menjujurkan tubuh dan merenggangkan otot. Mbah Ngadimo mengizinkan.
“Kamu tak ikut nembang?”
Tiba-tiba suara tak pernah ku kenal menyapa. Kaget bukan main karena saat itu aku hanya mengenakan pakaian dalam. Tetapi sebenarnya hal yang sudah biasa. Selesai pentas, seringkali aku bersama teman sinden lainnya hanya mengenakan seadanya berkumpul evaluasi.
Nggak. Ngantuk.” Jawabku pelan.
“Kalau begitu aku menggangu?”
Aku terbangun dan menoleh ke belakang dan mata sedikit melotot. Seorang laki-laki tampan. Tetapi ada apa sampai masuk ruang ganti? Tak masalah semuanya sudah biasa. Keheranan yang lumprah.
“Namaku Triyanto.”
Merasa tak sabar dengan jawabanku, dia menyambut dengan memperkenalkan dirinya.
“Aku Mariati.”
“Aku ini anak Pak Kidin (Sudikin).” Dia menceritakan perjalanan hidupnya hingga sekarang.
“Kamu sudah lama ikut Sampurno Putro?”
Aku sejenak terdiam. Membisu menangkap cerita-ceritanya begitu runut.
“Kira-kira setelah lulus dari SMA kemarin dan...”
Setelah lulus SMA tak melanjutkan sekolah. Saat itu, mengikuti lomba karaoke Campursari di kampung dan menjadi juara. Mbah Ngadimo tertarik dan  menjadikanku sinden.
Aku menahan rasa terperanjat seolah tersentak. Kaget tangan Tri merangkul pundakku. Sepertinya rikuh. Perasaan lain. Tetapi lama-lama semuanya hilang. Tidak jauh dari hal-hal yang sudah biasa dalam kehidupan saat dapat job menari Tayub. Hal yang sangat biasa. Saat Pak Kidin memasukkan tangannya ke pakaianku sambil menempelkan uang.
Perbincangan kami tak terasa mengajak semakin larut malam. Rasa kantuk yang merambak tubuhku sedikit demi sedikit hilang. Bahkan sekarang badanku tak terasa sakit. Mata berbinar. Terang. Perbincangan semakin meluas dan membuatku tertarik bicara dan bercerita. Terutama soal kesenjangan, kecemburuan dan kecanduan cinta. Kegirangan cinta serta keharmonisan. Menyentuh hati. Memeras perasaan kasih sayang terhenti begitu saja.
“Mbak Mar! Waktunya nembang!”
Tri langsung keluar. Aku segera memakai pakaian lengkap. Malam semakin larut. Penonton terkantuk-kantuk. Terpancar di raut mukanya dari sorot lampu yang menyinari mengenai tepat wajahnya. Terlintas cerita Tri. Pikiran terbawa semua yang dibicarakan dan diceritakan Tri. Ku tembangkan Ande-ande Lumut. Waktu menjelang subuh. Dini hari telah terlewati.
*****

BEDA dengan Dusun Pandansari. Desa Mloko lebih semarak lagi meramaikan upacara Nyadranan. Tidak tanggung-tanggung mereka harus membayar iuran Rp 50 ribu tiap kepala keluarga. Tontonan dua hari dua malam penuh. Pagi hari mereka kondangan di puri dekat lapangan desa. Terdapat empat pohon besar rindang. Di sinilah mereka memberikan sesajen dan makanan setiap bulan.
Apalagi bulan Suro mereka setiap hari mereka memberikan bunga. Setelah itu menonton campursari dan kledek hingga sore hari. Malam harinya pagelaran Samboyo seni tari jaran kepang. Mereka pun mengundang grup Sampurno Putro. Berarti aku ikut.
Di balai desa tempat pentas. Sampai akhirnya semua sudah siap dengan kostum. Memang seringkali merangkap menjadi tata rias sehingga terakhir merias dan tampil di pentas.
“Mbak Mar! Ada mencari.”
Aku sudah menyangka Triyanto. Memang benar.
“Nanti malam aku mau bicara.”
Seolah singkat dia berkata dan spontan menganggukkan kepala. Suara para penonton memberikan sambutan para penari kepang, tawa, tepuk tangan, dan sesekali mereka menggoda penari jaran dengan meniup bibir.
Malam semakin larut. Tiba waktunya. Aku izin ke Mbah Ngadimo. Sesuai perjanjian tadi sore, aku harus menunggu di belakang balai desa. Tak lama kemudian laki-laki itu sudah tampak.
“Sudah lama?”
“Belum. Mau bicara apa?”
“Aku mau ada perlu denganmu!”
“Perlu apa?”
“Ayo ke rumah Bu De Sus.”
Tri mengajak dengan cekatan menarik tanganku. Gemulai tangan tak kuasa menolak. Jarak balai desa dengan rumah Bu De Sus tak jauh. Hanya beberapa menit sudah sampai. Asing bagiku rumah begitu besar berarsitektur Jawa. Joglo. Berdinding tebal. Bangunan kuno. Tampak jelas. Di sampingnya ada pohon mangga, rambutan, nangka, dan paling ujung salak. Di halamannya tanaman bunga tertata dan terdapat kebun kecil.
Di dalam. Ruangan begitu luas terdapat kurang dari enam sentong kamar. Triyanto langsung menarikku ke sentong paling ujung. Tak sempat ku lihat keunikan atau keindahan sentong itu. Ia meninggalkanku. Kemudian datang dengan membawa dua gelas.
“Minumlah, santai aja…”
Triyanto memberi segelas kepada ku. Rasa jeruk manis hangat. Ku teguk beberapa saja. Ku kembalikan ke meja kecil dekat pintu.
“Manis? Maklum buatan sendiri.”
“Sebenarnya ada apa?”
Aku mulai membuka penasaran yang membalut di kepala.
Seperti biasa Triyanto hanya menjawab dengan singkat. Tanpa membelitkan kata-kata. Tetapi bagiku ini suatu yang tidak lumprah.
“Mencintai ku?”
Pertanyaan sudah tak dijawab Triyanto. Entah tiba-tiba kepalaku pening. Apakah aku telah diracun? Atau dia memasukkan obat? Aku tak sadar diperlakukan seperti apa oleh Triyanto.
Sayup-sayup suara pecut Mbah Ngadimo tiba-tiba terdengar. Gambelan gendang dan angklungnya lamat-lamat. Aku sadarkan diri sesadar-sadarnya. Aku lihat Triyanto masih tidur di sampingku.
“Tri! Aku kembali ke balai desa. Mereka pasti mencariku.”  Tri mengiyakan dengan gerakan kepala dan sambil berusaha bangun. Aku kembali ke balai desa dan diantar Triyanto.

******
HARI-hari berikutnya Triyanto semakin sering bermain ke rumah ku. Kami pun sering berhubungan intim dengan Triyanto. Hasilnya positif hamil. Triyanto menepati janjinya. Dia menikahiku. Pernikahan begitu sederhana walaupun Triyanto tergolong keturunan orang berada. Hanya para kerabat dan teman-teman ku yang datang. Begitu juga Triyanto hanya mengundang kerabat dan teman dekatnya.
Lusi anak pertama lahir. Lusi pun tumbuh dan berusi lima tahun. Wajahnya mirik wajahku. Seperti itu kalau menurutku. Setahun kemudian aku melahirkan anak kedua laki-laki dan kami beri nama Usin.
Namun, kehidupan kami berubah. Triyanto yang selama ini ku kenal. Atau setelah tujuh tahun ku kenal sebagai orang tanggung jawab harus ku tinggalkan. Ku akhiri sendiri hubungan ini. Saat itu sedang sibuk mengurus pagelaran Festival Samboyo di tingkat kecamatan karena sebagai tuan rumah Sampurno Putro. Begitu sibuk.
Tiba-tiba kabar sangat mengejutkan. Hal yang tak lumprah, tetapi wajar. Seperti ingin sekarat meninggalkan alam ini. Badai menghantam perahu di tengah samudra. Sempoyongan. Tertatih. Merintih dan menjerit tanpa batas. Ternyata Triyanto kepergok orang kampung berbuat mesum dengan Minuyah teman kantornya. Mereka pun diarak ke balai desa.
Kesedihan hati tak bisa ku tahan. Aku pun meminta cerai dan berhasil. Ku curahkan hidup kini menghidupi Lusi dan Usin. Meniti hidup mencari penghasilan meneruskan budaya dalam kesedihan yang sulit terlupakan.
Biarlah Mbah Ngadimo sebagai bapak mereka. Walaupun umur semakin senja. Tetapi dia bisa memberi suasana baru dan keharmonisan antara dia denganku. Seperti kalanya pasangan lainnya. Terhadap anak-anak juga. Mbah Ngadimo sosok bapak yang disayangi dan disegani. Bahkan begitu akrabnya, Lusi dan Usin sering tidur di rumah Mbah Ngadimo. Haruskah aku menjalani hidup baru lagi dengan Mbah Ngadimo? Entahlah. (*)

denpasar, 26 juli 2015

0 komentar:

Posting Komentar