Selasa, 21 Juli 2015

euthanasia


ilustrasi-net

JAS hujan meneteskan air membasahi tanah. Cangkul terus ku ayunkan begitu perkasa. Cahaya sorot lampu dari rumah Pak Slamet benar-benar membantuku. Menerobos melalui celah daun pohon. Ku terus melanjutkan. Menggali entah berapa meter atau kurang satu meter. Tidak pernah ku lakukan hal seperti ini sebelumnya. Namun semua tak kuhiraukan.

Keheningan malam terus menyelimuti alam. Begitu semerbak bau wangi menusuk hidung. Di samping kanan kiri tegak pohon-pohon Mojolulo. Buahnya berserakan di atas tanah. Juga ada yang baru jatuh lalu menggelinding. menelusuri jalan setapak di kuburan itu.

"Apakah arti ini semua?"

Selalu muncul dalam pikiran. Terlalu dini menghakimi diri sendiri. Kekacauan hati. Atau sekadar ketakutan dan kegundahan merambah tanpa henti.

"Dia telah meninggal dunia. Biar dia tenang di alam sana."

Seorang tokoh agama menuturkan kepadaku. Nasihat tiba-tiba atau hanya ingatan saja. Kebingungan bergejolak dalam hati.  "Ah, hanya perasaanku saja." Seribu guman dalam hati.

Mulai membuka tutup kebingungan. Mereka berucap karena tidak pernah mengalami suasana sepertiku. Mengarungi hari-hari dengan penuh kesabaran. Di tengah samudra cobaan. Bertahan saat badai menerpa. Seharusnya aku semakin bangga.

Suasana malam itu mencekam tak larut di tubuhku. Batu-batu kecil widhaan yang ditiup setelah membaca Surat Al Ikhlas berserakan. Berpencar. Melepaskan belenggu tanah lalu pergi.

"Kamu ini bagaimana! Itu namanya sudah durhaka kepada orang tua! Lagi pula itu sudah termasuk dalam kategori hukum pidana."

Kata Samsu memberi petuah seperti khotbah. Seringkali hanya sebagai bahan bacaan yang tak sedikit tak diindahkan.

"Saya ini Sarjana Ekonomi. Istri Sarjana Hukum."

Lebih intelektual. Cerdas dan berpendidikan daripada Samsu yang hanya lulusan pesantren. Bagiku semua itu logis. Masuk akal dan lumrah. Hal yang biasa-biasa saja.

Crok, crok, crok, crok.

Galianku semakin dalam menuju ruang landak. Semoga semuanya berjalan dengan lancar dan tak terjerumus. Hujan sedikit demi sedikit mereda. Lukisan bayangan hitam sekadar tampak. Bayangan pohon menjadikan rindang. Sambung satu dengan lainnya saling menutupi. Semerbak cendana sedikit memberikan aroma lain. Jam manusia terlelah tidur. Pulas dibuai balutan malam.

Dua puluh Desember lalu saja, hampir semua menangis meratapinya. Untung Katinem menemukannya dalam keadaan tergeletak tak sadarkan diri di dekat kandang ayam.

"Kamu ini banyak omong. Berani kepada orangtua. Mentang-mentang."

Begitu katanya jika ku nasehati. Semua sudah ikhlas saja jika ia mati.

"Kalau kencing itu di belakang atau di kamar."

Aku mencoba mengingatkannya. Ia setiap ingin kencing langsung telanjang dan di tempat itu juga. Seperti anakku baru satu tahun itu.

"Kalau sudah waktu mati, ya.. pasti akan mati."

Begitu jawaban sederhananya yang membuatku semakin nelangsa. Bahkan saat awal-awal ku dengar tersentak dengan kata-kata itu.

Seperti suatu malam waktu itu. Ia duduk di sofa di ruang tengah. Aku menemaninya. Ku ajak bicara agar tak sering mengelamun.

"Kalau saja, aku kawin lagi. Mungkin kamu tidak kesulitan seperti ini." Katanya tiba-tiba.

"Ah, bagaimana? Umur sudah 67 tahun. Sekarang masih sakit. Aku ikhlas merawat. Aku masih kuat." jawab ku kala itu.

Sebenarnya jengkel juga mendengar kata-kata itu. Bak pepatah tua-tua keladi semakin tua semakin menjadi-jadi. Seolah memberikan jawaban pasti. Tetapi itu memerlukan rentang waktu yang lama. Apalagi sudah lima tahun setengah lebih keadaan seperti ini. Belum lagi biaya pengobatan yang tak terhitung. Tetapi kalau masalah biaya ku pikir bukan hal yang kuperhitungkan. Bagiku kesembuhannya adalah karunia tak terhingga.

*****
"Aku sudah tak kuat lagi hidup. Lebih baik mati saja…."
"Ada-ada saja."
"Aku sudah tidak kuat lagi." katanya dengan nada membentak.
"Coba carikan obat cepat mati."

Bukan main kaget hatiku. Perkataan itu membuatku semakin tak karuan. Apa dia sudah pikun.

"Kalau kamu tak carikan aku obat. Biarkan aku saja yang mencari sendiri."

Ia begitu memaksakan. Kekhawatiran. Tetapi perkataannya semakin hari semakin tak karuan. Malam mulai larut. Setelah tahun baru berlalu. Tahun ini sakitnya semakin kritis. Harus bolak-balik dirawat di rumah sakit.

"Bagaimana keadaannya dok?"
"Tak ada perkembangan yang berarti!"

Dokter kemudian berlalu meninggalkanku setelah mengecek kondisi terakhirnya.
Pikiran mencari solusi. Bagaimana? Harus dicarikan obat apa? Tiba-tiba tangannya bergerak memanggilku.

"Ada apa?"

Aku berjalan mendekatinya dan semakin dekat. Ruang begitu sepi. Hening. Rapi tetapi penuh dengan warna putih. Semerbak bau wangi hilang berganti aroma menyang saat pagelaran Jaran Kepang dimulai.

"Baiklah!"

Aku selimuti tanda tanya dalam pikiran dan hati. Begitu dengan perasaanku. Penuh dengan keibaan meninggalkannya sendiri di ruang rawat inap dengan keadaan koma.

"Ia punya ilmu kalimunan, ilmu kejawen turunan eyangmu. Saya masih ingat. Dulu pernah bersama-sama, pada ada isu dukun santet. Ia memberikan isyarat kepada saya bahwa ada seorang jahat di rumah Pak Samsu." Pak Lek bercerita tentang kejadian bersamanya.

"Tapi tolonglah Pak Lek. Sekarang sudah sakaratul maut."
Aku berusaha menenangkan diri. Mencari bagaimana yang terbaik.

******

Tetesan hujan kembali membasahi jas hujan yang ku pakai. Suasana larut malam semakin tenggelam. Ditambah rasa dingin merasuk tulang-tulangku.

Crok!

Bunyi cangkul terasa mengenai benda keras. Ujung cangkul tak terlihat jelas. Tanganku kemudian meraih benda. Ku mengira, ini tengkoraknya. Semakin penasaran. Tangan meraih. Benar tengkorak.

******
SAAT itu pula, ku konfirmasi dokter. Namun hasilnya tetap kosong. Solusi membantu secepatnya. Jelas aku tak tega. Jelas tak tega. Ku ulangi pikiran itu. Ku lihat semua keluarga tampak ikhlas melepasnya.

Akupun putuskan. Menghampiri yang sudah sakaratul maut. Ia memegang tanganku sembari menatap tajam kepadaku. Kerdipan matanya mengisyaratkan segera meminta. Tekanan datang. Ia meringis menahan kesakitan. Itu terjadi beberapa kali. Kesakitan sangat tampak diperlihatkan. Membuatku semakin iba.

Berkali-kali ia mengisyaratkan kepadaku. Pikiranku semakin kalut dan ditambah keibaan mendalam. Aku kembali menanyakan kepada dokter sekali lagi. Mereka tak menjawab. Hati dan pikiran teriris dan tersayat-sayat bercampur keibaan dan ketidaktegaan. Ku beranikan keluar ruangan itu. Pikiran begitu kalut ditambah semacam kekhawatiran dan ketakutan. Aku tak kuasa.

Di tengah rasa penuh dengan kerinduan ku dipanggil dokter. Ku percepat langkah. Begitu tergesa-gesa masuk ke ruang inap itu.

"Ba...bagaimana Dok?" Gugup.
"Positif. Penyesalan tiada arti dan anda lihat sendiri."

Dokter seakan mengembalikan pernyataanku. Kemudian meninggalkan ku dalam ruang yang penuh dengan tanda tanya. Begitu cepatkah. Ku perhatikan detail perubahan pada dirinya. Mulai dari mata yang sudah tertutup. Tanganku sambil memegang mencoba memijat tangannya. Dingin. Dan ku perhatikan garis di layar monitor itu sudah tak gerak lagi. Aku pun semakin sedih, menyesal campur dengan kegundahan. Tak ku sangka, air mata pun menetes. Penyesalan yang meronta-ronta kenapa sampai seperti ini.

"Bapaaaak! Bapaaaaak!"

Teriak sekuat tenaga tak tertahan lagi. Tak menghiraukan apa yang akan terjadi. Suara ayam sepertinya menyambut teriakan itu. Diiringi suara gaduh dari penduduk yang tinggal di sekitar kuburan. (*)

denpasar, 22 juli 2015

0 komentar:

Posting Komentar