Minggu, 05 Juli 2015

simfoni tepi pantai bali

TAK pernah bosan memandang pantai yang ada di Bali. Hampir di wilayah kabupaten mempunyai bentangan pesisir nan eksotik kecuali Bangli. Kabupaten Badung misalnya, pantai membentang hingga 82 kilometer. Begitu eksotis, indah dipandang dan dinikmati. Pohon nyiur di tepi pantai menambah pemandangan hempasan ombak. Sunrise dan sunset sesuatu yang takkan pernah membosankan. Alam dan pesona pesisir benar-benar mampu membentuk ‘simfoni tepi pantai’.

Namun, kondisi dan pemandangan itu menjadi langka dibandingkan pada tahun-tahun lalu. Jika diukur ulang, mungkin hanya tinggal beberapa kilometer saja yang masih bisa dinikmati secara secara ‘bebas’. Istilah public space yang tidak terusik oleh security yang selalu memeloti.

Cerita puluhan kilometer yang dulunya ditumbuhi pepohonan, kini berganti dengan beton bangunan dengan dalih pengembangan pariwisata. Membangun semaunya dengan alasan sarana akomodasi pariwisata.

Seakan begitu ramah saat dijamah dengan bangunan mewah. Sepertinya tak kenal lagi peruntukkan atau aturan radius sempadan pantai. Di pinggir pantai sudah berdiri bangunan hotel, vila, restauran dan berjejer rumah makan. View yang layak dipasarkan, ada nilai jual.

View pantai di Kuta sudah tidak memungkinkan lagi, kini pembangunan bergeser ke wilayah Kuta Utara, Pantai Kerobokan, Canggu, Cemagi, Pererenan hingga Munggu sudah mulai berdiri bangunan, bahkan hingga rela membangun grip pengaman pantai.Kondisi ini tidak hanya terjadi di wilayah Kuta, Kuta Utara atau Mengwi, tetapi juga merambah wilayah Kuta Selatan.

Pantai Jimbaran kini menjadi pantai makanan, dengan maksud sebagai kawasan pariwisata kuliner. Begitu juga dengan Pantai Balangan. Tidak cukup sampai itu, space bentangan pantai, rencananya juga dibangun kawasan pariwisata dengan tarat internasional, seperti layaknya sebuah kota di Italia.

Belum lagi, kondisi di Pantai Geger, Kelurahan Benoa, Kuta Selatan yang dulunya asri. Air jernih membiru, surga wisatawan asing sebagai tempat berjemur di tempat sunyi. Namun seperti itu tinggal kenangan saja. Kenyamanan menikmati pantai itu mulai terancam. Sebuah mega bangunan hotel resor yang sempat ‘diributkan’ melenggang menjadi hamparan bangunan. Bergeser lagi, Pantai Nusa Dua, tepatnya Selagan Nusa Dua. Satu-satu pantai di kawasan Nusa Dua, yang elok dan nyaman dinikmati secara bebas juga sudah berubah. Bangunan restoran bertaraf internasional melaju seperti dipacu meskipun sempat memicu.

Bangunan-bangunan di pinggir pesisir pantai ini sebenarnya tak luput dari pelanggaran aturan. Banyak bangunan yang menerjang ketentuan jarak sempadan. Dalihnya pembukaan pantai dengan dalih melengkapi fasilitas wisatawan.

Pelanggaran demi pelanggaran tentu akan berdampak. Bangunan demi bangunan berdiri di tepi pantai tanpa dibatasi akan mengurangi potensi. Belum lagi kerugian jasa travel yang harusnya mengantar tamu ke lokasi pantai, kini tinggal di hotel saja. Bukan tidak mungkin, berpengaruh tingkat kunjungan. Wisatawan berpaling berpindah tujuan, mencari ‘simfoni tepi pantai’ yang masih alami.

Aturan dan ketentuan mulai dari Undang-undang hingga Perda yang sudah ada dan ditetapkan seharusnya benar-benar ditegakkan. Ketegasan instansi penegak aturan juga menjadi kunci proteksi terhadap kondisi pesisir pantai. Tidak ada lobi, atau tawar-menawar regulasi. (*)

0 komentar:

Posting Komentar