Sabtu, 18 Juli 2015

batalyon semut

ilustrasi-net


SINAR matahari telah memancar. Warna merah di ufuk timur telah hilang sejak bangun pagiku tadi. Sebenarnya aku tak pernah sempat aku memperhatikan perubahan warna itu. Tetapi mataku melihat mereka. Pakaian seragam rapi keluar rumah memanasi mesin sepeda motor dan mobilnya. Berdasi berjalan tegap muncul dari pintu rumah besar samping gubukku. 

Tak perlu ku sebutkan di mana lokasi gubuk itu, kalian pasti sudah tahu. Aku khawatir kalau kusebutkan, wajahku tiba-tiba memerah. Kalian datang. Ah atau pejabat dan anggota dewan berkunjung.

Sudah lewat jauh, ibu rumah tangga mulai memandang suami yang akan berangkat kerja. Anak-anak bersalaman sambil dicium dahi. Bapak berdasi tak ketinggalan melepaskan kecupan itu. Mereka pun berjalan menuju mobil.

"Mama! Adik berangkat ya."
"Mama! kakak berangkat."
"Ma! Ayah berangkat."
"Hati-hati semuanya. Adik di sekolah jangan nakal. Kakak buku tabungan jangan sampai ketinggalan. Nanti uang Rp 50 ribu ditabung ya. Dan Ayah, pulang tepat waktu."
"Mama akan masakkan makanan kesukaan kalian."
"Ok. Pasti dong mama."
Lambaian tangan mereka melepas dan meninggalkan pintu gerbang rumahnya.

Aku pun meninggalkan mereka juga. Jalan yang setiap hari ku lalui. Setengah kilometer, satu kilometer, dan tiga kilometer bukan hitungan. Sepeda gayung tua menjadi tunggangan. Menemaniku dalam mengarungi perjalanan hidup ini. Lebih dari dua puluh tahun. Bukan tapi sampai umurku menapaki 50 tahun lebih. Mulai masih remaja. kawin, dan sekarang menduda.

"Tidak masalah. Toh semuanya tidak akan ku bawa kalau mati nanti."

Tentu itulah yang selalu menghibur saat rasa ketidakpuasan menyelimutiku. Jangankan harta benda, istripun lari begitu saja karena benda bukan harta.
Sekitar satu jam aku berada di atas sedel sepeda buntungku. Pantat terasa panas menembus celana kombor ala warok. Istilah slabruk. Ya celana pemberian seorang teman pelatih pencak silat di kampungku.

"Tak usah diceritakan panjang lebar."

Ku senderkan sepeda gayung di bawah pohon besar itu. Matahari naik dengan sinar cerah. Beranjak seperti perputaran roda sepeda ku. Satu, dua jam. Terkadang ku lihat tangan. Hitam warnanya. Bukan warna arloji tetapi kulitku. Kantuk mulai terasa. Tetapi uang belum dapat. Belum ada di genggaman tangan.

Deburan ombak mulai terdengar. Karang-karang melintang menunjukkan pecahan alam murni. Alam mennjukkan jati diri membentuk lancip, datar, meruncing, dan hingga tak berbentuk. Awan putih menabur langit biru. Panas terasa. Air putih dari sumur tua dekat rumah menjadi penghilang haus dahaga mulai surut.

"Heran, jam segini belum ada orang yang datang," gumamku.
"Biasanya jam segini sudah dapat Rp 5.000. Tapi hari ini sama sekali belum ada yang masuk saku."

Ku masukkan tangan kanan ke saku celana. Hanya terasa recehan pecahan Rp 500 menganjal tangan. Itu saja yang ku dapat? Jari-jari tak pernah lega dan penasaran. Ku lebih teliti lagi, jemari tanganku merambat. Paling ujung samping kiri saku. Benjolan. Jari menyentuh juga.
"Aduh."

Tangan keterlaluan, bisul hampir seminggu belum meletus malah disenggol. Tak berselang lama, ku lihat ada yang datang.

"Dari mana pak-ibu?"
"Lho, Pak saya ini orang sini. Tadi saya lewat situ, terus mau pulang. Istri saya yang kepengin lihat karang makanya saya mau ke sini. Maklum lagi nyidam, jadi harus dituruti."
"Sudah puas Bu."
"Sudah pak. Ayo pulang. Panas."

"Minta maaf. Ada uang Rp 1.000 saja. Saya dari tadi tidak pengunjung. Memang tidak ada tiketnya, tetapi orang-orang suka rela memberi uang," kataku penuh iba kepada orang tadi.

Tanpa berfikir panjang bapak itu langsung memberi uang kertas. Sesuai yang ku minta, atau sesuai hitungan ku. Rp 1.000. Mereka pergi. Aku kembali bersandar di karang lancip itu.

Tak terasa kantuk mulai menggoda mata. Angin sepoi datang membantu menutup mata diam-diam. Panas tak terasa tertahan baju putih bergaris. Aku terbuai suasana itu.

"Waduh! Kurang ajar." gerutuku.

Aku terbangun saat mimpi sepeda hilang. Aneh hanya kerangkanya yang masih tertinggal. Ban kanisiran yang baru hasil utang lah hilang. Tak mudah dihilangkan pikiran itu. Aku tiba-tiba juga mata langsung tertuju melihat posisi matahari. Waktunya sudah beranjak sore. Suasananya hilang begitu saja. Bertambah semilir angin sepoi khas pantai. Memangnya tertidur berapa jam? Aku bergegas meninggalkan karang itu, dan waktunya pulang. Kerangka sepeda masih utuh tidak jadi hilang.

"Untung hanya mimpi."

Aku ambil dan mulai mengayuh dengan santai.Membawa pulang rejeki hari  ini. Cukup Rp 1.000 untuk beli nasi putih sebungkus di Warung Mbak Ni. Makan sore lauk ikan tongkol pemberian Jik Na. Enak tentunya.

Semangat bukan main. Sebungkus nasi putih telah ku dapat. Setidaknya bisa mengisi perut yang sejak bangun ketiduran tadi keroncongan. Aku langsung parkir sepada di belakang gubuk berukuran empat meter persegi. Namun mataku langsung tertuju pada dua ekor kucing hitam. Seekor sedang hamil tinggal menunggu hari, seekor  lainnya berwarna abu-abu meraung-raung.

"Sialan. Pasti makan ikan tongkolku."

Aku tergesa-gesa masuk. Suara sepeda gayung jatuh sudah tak kuhiraukan lagi. Ku buka keranjang penutup ikan tongkol itu.

"Masih ada. Ha ha, kucing tidak doyan makan tongkolku. Kasihan nanti aku tidak punya lauk."

Nasi ku buka. Ku teguk air dari kendi samping meja. Melegakan dan biar tak tersendat saat makan. Selesai itu, ku letakkan di meja lagi. Aku melihat semut merah. Berbaris dengan jumlah lebih dari 300 hingga 1.300 ekor. Membentuk batalyon. Ku cermati arah lalu lintas semut itu. Ratusan hingga ribuan ekor semut itu berujung di piring. Berkerumun mengitari dan bergotong royong membawa ikan tongkolku. Tongkol itu kini telah disita semut. Mereka telah berkerumun dan mengitari tongkol. Bahkan tanganku digigit saat akan mengambil tongkol itu. Aku juga mencoba memisahkan semut dari tongkol. (*)

denpasar, 20 juli 2015

0 komentar:

Posting Komentar