Senin, 13 Juli 2015

menunggu siang hari

net

PAGI, siang, petang, malam, dini hari, dan kembali lagi ke pagi. Putaran rotasi bulan dan matahari yang jauh hinggap berdasarkan teori. Bisa berbalik arah. Atau terputus di tengah perjalanan. Setidaknya ada yang ditunggu dari rangkaian perjalanan itu.

Aku pun sebenarnya tak peduli. Apalagi menghitung. Yang ada hanya melihat kalender itu yang menempel di dinding itu. Setiap hari hanya melihat putaran jarum jam berputar. Tanpa mengetahui dimulai dari angka berapa. Meski tertera angka 1 hingga angka 12. Atau dibilang searah jarum jam. Katanya memang satu hari itu, ada 24 jam. Bukan delapan jam bekerja. Delapan jam tidur dan delapan jam bersenda gurau. Itu saja cukup melelahkan.

"Nur kamu hari ini tidak kerja?" tanya Pak Hasyim melihatku masih berbaring di tempat tidur.

Aku pun tak menjawab. Aku rasa itu pertanyaan yang sangat mudah dijawab. Iya atau tidak. Cukup menganggukkan kepala. Sebenarnya jalannya.

"Tidak usah terlalu dipikirkan. Apa yang sebenarnya Nur pikirkan? Coba ceritakan. Toh, kita khan sudah sah suami istri.”

Pak Hasyim terus berbicara. Tentu seperti menasihatiku. Dengungan suara yang tiba-tiba semakin lama semakin terdengar keras di telingaku. Pak Hasyim kemudian duduk disampingku.

"Sudahlah jalani saja apa yang ada di depanmu. Toh itu membuatmu akan lebih baik."

Pesan itu yang seringkali ku dengar. Namun seperti biasa, aku hanya diam. Tak menghiraukan kata-kata itu.

"Nur. Bapak ke kantor dulu."

Pak Hasyim bergegas melangkahkan kakinya meninggalkan ku sendiri di kamar. Sedangkan aku berbaring di atas kasur itu. Lesu sekali rasanya. Pegal dan mulas perut ini. Tetapi ku biarkan berontak di badan. Malas menginjakkan kaki meski sekadar membuang air kecil. Atau melihat suasana di luar. Terasa berat mata ini dibuka. Begitu juga dengan kepala terasa besar. Rasa dingin terasa menusuk tulang belulangku menusuk sumsum.

Demam! Dan menggigil. Gigi atas dan bawah mengigit-gigit bertarung seperti gerakan yang tak mampu terpikirkan. Ku ingat-ingat hari ini. Ya hari Selasa. Kalau tanggalnya terus terang sudah tak ingat lagi.

Percaya sekali. Selasa Kliwon adalah hari paling baik memulai segala urusan. Baik urusan rezeki, pekerjaan, jodoh ataupun memulai mencari atau menuntut ilmu. Benar atau tidaknya, aku juga tak bisa memastikan. Bukankah aku keturunan dukun? Jelas tidak tahu, karena aku belum menemukan keluargaku.

Beruntung aku bertemu dengan Pak Hasyim. Lelaki paruh baya dan istrinya dua. Aku dan Zubaidah. Ya, Zubaidah yang pertama dan aku yang kedua. Selebihnya, aku sudah tidak ingat lagi.

Aku berusaha menenangkan diri. Mata ku buka. Lalu ku tatap langit-langit kamar dan dinding. Penuh dengan hiasan di dinding. Lukisan eksotik pemandangan alam. Petani dan bu tani berangkat ke sawah. Di situ pula ku lihat ada tulisan paling pojok kecil nama pelukis lengkap tanggal, bulan, dan tahunnya.

Ku arahkan pandangan ke satu lukisan lagi. Gambar ilustrasi mendung. Ku alihkan pandangan pada lukisan terakhir. Sebuah lukisan di tengah tepat dengan arah mataku. Sorot mata semakin tajam. Semakin jelas gambar apa yang di lukisan itu. Dua tubuh manusia laki-laki dan perempuan bersolek dan berpakaian khas adat Bali, berdampingan. Jika mataku bisa mengeluarkan cahaya atau semacam aura pasti tepat pada lukisan itu. Bisa jadi lukisan itu jatuh sendiri. Sama seperti lukisan yang lain.

Belum sampai memahami apa yang tersirat lukisan itu, pandanganku jatuh pada fokus berbeda. Mata meninggalkan tiga lukisan itu. Pada benda di bawah lukisan manusia itu. Tepatnya pada jam dinding berwarna putih. Bundar dengan garis tepi diameter 15 centimeter. Garis tepi satu centimeter berwarna hijau. Di tengah jam itu, ada lingkaran berwarna hijau. Tertulis ‘Hasyim & Zubaidah’.

Ku terus pandangi tulisan itu. Namun jarum jam dan detik merusak pandangan nama itu. Gerakan putaran per menit terlalu keras. Terbawa dan jarum itu menunjukkan pukul 08.15. Telat masuk kerja. Aku harus masuk kantor mumpung sebelum terlambat. Tetapi, Pak Sarip pasti mengampuniku. Atau tambah senang jika tahu aku yang datang. Suasana pagi itu benar-benar tak mampu menuntunku. Aku tetap bermalas-malasan beranjak dari kasur. Mata ku tak berhenti melihat jam dinding itu. Bersalahkah aku? Entahlah.

*********
“Pak, sudah lama tidak makan bersama. Apa ada waktu?” Pak Sarip menelepon setelah beberapa lama Pak Hasyim tiba di kantornya.

“Iya Pak! Memang lama sekali tak kita tak bertemu.” Jawab Pak Hasyim dengan nada datar.

Pak Sarip, kini naik jabatan di perusahaan tempat Pak Hasyim bekerja. Ya sudah tiga atau empat bulan ini ada mutasi.

“Nanti bisa khan?”
“Iya Pak. Tapi di mana?”
"Di tempat biasa saja. Ada yang akan saya bicara. Serius dan hanya empat mata. Saya dan Pak."

Keduanya telah sepakat bertemu. Tempatnya rumah makan langganan mereka. Tepat pukul 12.00. Tidak ada aktivitas pada jam itu. Matahari benar-benar berada di atas ubun-ubun. Waktu puncak siang.

Dan itu membuat badan sedikit terasa berkeringat. Sudah lewat waktu bedug. Sudah beres semua urusan dan projek masterplan sudah sesuai dengan rencana. Pak Hasyim bergegas, menuju tempat makan seperti yang telah menjadi kesepatan tadi. Bergegas dengan cepat mobil hitam yang masih mengkilap terpantul sinar matahari.

“Sudah lama nunggu?.” Sapa Pak Hasyim sembari mengulurkan tangan.
“Ah, tidak, sama sekali tidak. Ini khan baru setengah satu.”

Pak Sarip langsung bercakap. Ku lihat arloji Pak Sarip sekilas. Waktu pun berlalu lambat. Seperti jarum arloji itu tak berputar. Kemudian aku lihat arlojiku. Memang baru lima menit berlalu bersama Pak Sarip. Di meja nomor 13, duduk sembari menunggu pesanan. Mereka pun bertegur sapa dan masih berbincang ringan. Belum sampai pada titik persoalan.

Namun. “Maaf, maaf Pak.” Tiba-tiba saja Pak Hasyim tergugup-gugup.
“Saya pulang dulu. Ada sesuatu di rumah dan sangat penting. Sekali lagi maaf Pak.”
Pak Sarip mempersilakan ku meninggalkan dirinya. Aku bergegas menuju mobil.
“Jelas ada apa-apa dengan Nur.” Kata Pak Sarip meski tidak begitu jelas terdengar.

********
PAK Hasyim meninggalkan rumah makan itu dan menuju rumahnya.

“Pak, mudah-mudahan tidak ada apa-apa dan segara sadar. Kondisi tadi memang kritis,” kata dokter Urip, menyambut dengan tenang kedatangan Pak Hasyim. Sambil berbisik kepadaku dengan tangan memberikan kertas lusuh.

‘Pak, suamiku. Maafkan aku selama ini. Aku telah menipu orang yang selama ini sangat baik. Tidak seharusnya Pak menerima balasan seperti ini. Sebuah  kebohongan. Aku benar-benar tak tahu diri. Namun aku merasa sudah waktunya berkata jujur. Perasaan hanya menunggu waktu. Tetap saja aku akan berbohong selamanya."

"Terus terang jabang bayi ini. Yang selama ini Pak sayangi, ini bukanlah anak kita, tapi anak Pak Sarip. Sekali lagi, saya minta maaf yang sebesar-besarnya. Biar saya yang menanggung semua perbuatan ini. Pak tak usah khawatir." Nuraijah. (*)

denpasar, 13 juli 2015

0 komentar:

Posting Komentar