Minggu, 12 Juli 2015

isak tangis sunrise

net
“Gayatri, hubungan kita sudah lama.” Suara serak membisik di daun telinganya. Ku rebahkan tubuh di atas kasur suite room hotel itu. Malam spesial, karena aku akhirnya bisa bermalam bersama Gayatri. Perempuan manis yang ku kenal hampir beberapa tahun belakangan ini. Mengisi cerita di sisa-sisa umurku. Mengubah jalan naskah sepanjang di akhir masa tuaku. Ku kenal lebih dari perempuan-perempuan periang. Tak pernah bisa dibandingkan dengan perempuan yang hilir-mudik ku kenal selama ini. Apalagi istri-istriku.

Gayatri seolah telah membimbingku. Meninggalkan kebiasaan-kebiasaan yang menjadi candu. Membisikkan bagaimana menikmati hari-hari tanpa dihingapi rasa penyesalan. Membawa pada ketenangan pada titik kedamaian kehidupan. Begitu kiranya. Paling tidak memberikan harapan bahwa manusia hidup di dunia harus berguna kepada sesama.

Jauh lebih dari itu, terselit keinginan dan dorongan agar dia benar-benar menjadi pendampingku. Tujuannya simpel, dia bukan teman kencan lagi. Agar bisa merawatku, paling tidak itu nanti.

“Pak. Aku tidak mau menghancurkan segalanya. Aku adalah teman. Ya, tempat saling berbagi hati dan cinta. Bukan berbagi nafsu.”

Aku terperanjak. Kata-kata keluar dari mulut Gayatri. Lampu padam seakan menyala terang benderang menerangi seisi kamar itu. Kenapa aku terkejut? Ya, tak pernah ku bayangkan sebelumnya. Apalagi bagiku mengajak berkencan perempuan bukan hal sulit. Di sisa-sisa napas panjang ku yang sudah terbiasa dengan para perempuan-perempuan dini hari.

Ku hela napas sambil membenahi pakaian ku. Menatap jam dinding, dan jarum tepat menunjukkan pukul 03.00 Wita. Suara anjing melolong memecah kesunyian dini hari itu. Sahut-sahutan seakan meronta-ronta memecah jendela kaca.

“Tetapi bagi ku, kamu adalah orang yang tepat. Kamu adalah segalanya bagi ku. Aku sudah ucapkan sumpah. Kamu adalah yang terakhir.”

Aku bangkit.

“Ini bagian dari perjalanan Pak. Antara aku dengan Pak sampai seperti sekarang hanya sebuah kebetulan. Tak perlu dihayati. Ini jalan kehidupan sehari-sehari. Apalagi bagiku. Bukan asing lagi, mengenal sosok Bapak, bercengkrama, dan berdua seperti sekarang ini.”

“Jika tumpukan batu karang Pantai Sanur itu tak menepukku. Mengenalkan kepadamu, mungkin aku sudah tidak di sini lagi. Kau sudah tahu banyak tentang diriku. Kau bagaikan bidadari yang tak hanya berparas cantik namun juga….”

Aku mencoba merayu Gayatri dengan derai angin dini hari itu. Mengungkapkan keinginan. Memberikan gambaran tentang masa-masa yang akan terjadi. Memang Gayatri benar-benar cantik. Ku putuskan keluar kamar. Sambil berfikir dan bertanya kenapa dan ada apa Gayatri? Kakiku melangkah ke lobi penginapan itu. Sayup-sayup terdengar suara lantunan dari masjid seberang penginapan. Meski hafal jam diputar lantunan-lantunan itu, tetapi tak tahu apa arti lantunan itu. “Ah.”

Aku berfikir ada apa sebenarnya Gayatri. Mencari tahu. Di sela-sela itu hasrat mengambil hati Gayatri terus tak kunjung padam. Tanpa mengerdipkan mata, menghempaskan nafas panjang sambil bergumam.

*****
Rasa rindu kepada Gayatri tiba-tiba muncul. Menuntun mencari note kecil di meja kamar. Sudah sekian lama aku tak lagi mendengarkan cerita-cerita roman kehidupan. Belajar dari orang yang jauh lebih muda dibandingkan umurku. Dan yang terpenting lagi melihat paras Gayatri. Sekitar dua atau lima bulan. Tepat setelah peristiwa itu.  Ku raih buku telepon. Lalu mencoba telepon ke nomor yang diberikan Gayatri. berulang kali, namun tanpa respon. Parah, hanya terdengar suara pesan operator.

Ku buka-buka lagi catatan kecil. Tujuannya mencari nomor telepon lain. Tak kutemukan dan membuka file foto di handphone. Terbayang lagi bagaimana paras cantik Gayatri. Kuingat waktu bercengkrama bersama anak-anak penjual jagung bakar di tepi Pantai Sanur itu. Dekat dermaga penyeberangan Sanur menuju Nusa Lembongan dan Nusa Penida.

Ku teringat memori itu. Menuntun ingin mengulangi nostalgia di suatu waktu. Ku bergegas berangkat menuju pantai. Meski malam berangsur-angsur berganti dini hari. Tak lama telah sampai. Mobil ku parkir di sebuah hotel ternama itu. Melusuri lorong-lorong sempit pantai Sanur. Aroma menyengat balsam otot di sudut bangunan kecil samping kiri.

*********
Sampai akhirnya di bibir pantai. Pemandangan tak seperti biasanya. Begitu ramai dan riuh. Jauh dari kesunyian yang membawaku pada malam-malam kedamaian. Orang-orang tampak berpelukan. Suara-suara tangisan menusuk pendengaran. Meronta dan berteriak. Mereka berteriak menyebut nama-namanya.

Ku dekati Nyoman, kru boat Sanur-Nusa Lembongan di kerumunan. Keluarga dan teman korban, termasuk kawan Gayatri berdatangan. Ku tanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Kenapa dini hari telah ada boat yang menyeberang? Nyoman pun menjelaskan tentang peristiwa tragis itu. Memang tak seperti hari-hari biasa.

Rombongan ini pergi ingin menikmati sunrise di Gili Trawangan. Perjalanan dini hari itu kemudian terjadi. Ombak pasang dini hari menceritakan lain. Satu nama tertuju yang aku tanyakan.

“Man, tahu Gayatri ke mana?”
“Iya Pak. Dia kemarin ikut acara komunitas ODHA ke Gili.”
“Ha!”
“Nggih, Pak. Tyang dapat kabar dari Bli Komang. Kalau Gayatri rasa-rasanya juga ikut.”

Aku berjalan tergesa. Tergopok-gopok dan meminta daftar penumpang ke Gili Trawangan kemarin sore. Pelan-pelan ku peloti nama yang terpampang di buku itu.

“Ah. Aku tak percaya.”

Sayup-sayup ku dengar, nama Gayatri disebut korban tenggelam kapal boat bersama 40 orang penumpang lainnya.  Ada sebagian kenal denganku, namun hanya beberapa saja. Seorang perempuan paruh baya memberikan secarik kertas kepadaku. Tulisan Gayatri.

Ku baca secarik kertas itu. Gayatri banyak menulis tentang permintaan maaf kepadaku. Ia pun menuliskan di paragrah terakhir.  “Pak, ampura tyang positif.”

Aku berfikir inikah alasan Gayatri tak mau denganku? Yanti berusaha menenangkanku sambil bercerita panjang tentang Gayatri. Aktivitasnya, termasuk ia positif terjangkit virus mematikan itu. Aku larut dan meninggalkan Yanti.

Tatapanku jauh di timur  tak berujung. Langit melukiskan warna-warna baru. Aku duduk terpaku dan menunggu. Isak tangis menjelang sunrise tepi pantai Sanur itu. Tak pernah hilang hingga matahari benar-benar terbit. (*)

denpasar, 12 juli 2015

0 komentar:

Posting Komentar