antara/net |
Negeri usap asap. Sudah biasa kami
bercanda asap. Sudah biasa pula kami hirup. Toh
kami sudah biasa hidup. Jangan heran, karena kami di negeri asap.
Negeri usap asap. Sudah biasa kabut asap
jadi selimut sekujur tubuh. Terbang
ke mana-mana. Merambah pelosok desa, kota, lalu negara tetangga. Hantu ISPA?
Kami coba tenang, karena kami sadar berada negeri asap.
Negeri usap asap. Secangkir air
mengobati rasa kekecewaan tiada akhir. Secarik kertas mengatakan akan tuntas. Bala
bantuan dikerahkan. Tetapi tenang,
karena kami berada di negeri asap.
Negeri usap asap. Mengabarkan tentang
mereka. Janji menghembuskan petuah Menggambarkan pesan tanpa tangan. Kepada
kami yang telah dirundung derita. Duka penuh cerita. Tentang yang tak
pernah bersambung apapun. Tentang mimpi kami. Tidur dipangku dan dininabobokkan
ibu. Tak terbangun dari petang hingga malam hari. Berikut dini hari tiba.
Bahkan pagi menyapa. Tidur di dataran negeri asap.
Negeri usap asap. Membedah belum sampai
pada titik terdalam. Lalu menguncang-guncang tak sampai terdiam. Tak
kunjung padam. Mereka tak pernah mengerti. Bahkan apa yang sebenarnya terjadi.
Mereka bak menuruti petunjuk orang buta. Mendengarkan cerita dari seorang tak
pernah menyapa. Mereka baca dari catatan kecil di atas kertas. Tapi tenang,
ini biasa terjadi, karena kami hidup di negeri asap.
Negeri usap asap. Semuanya musnah
terbakar bersama tulisan pagi hari tadi. Kami benar-benar tak bisa mendekati
masa indah dan bersemi. Mereka sekonyong-konyong menepuk dada lantas bersiul.
Berparas tanpa pernah menepati. Mengumpulkan
catatan bekas. Juga berkas lantas pergi. Tapi tenang ini sudah lazim, karena
kami hidup di belantara negeri asap.
Negeri usap asap. Kami menanti gelapnya
tengah malam. Menunggu diselimuti dinginnya dini hari. Menjemput sorot silau
pagi hari. Menunggu bayangan sejajar di tengah terik matahari. Dan seperti
biasa tak ada apa-apa. Maklum kami hidup di negeri dongeng asap.
denpasar, 2016
0 komentar:
Posting Komentar