Senin, 21 Maret 2016

Surat Buat Shezan

ilustrasi/net


Shezan,
Setengah perjalanan kita belum berakhir. Kita merasa sepertinya tak pernah berlalu begitu saja. Semuanya telah terlewati bersama. Badai, gelombang pasang, panas terik matahari hingga bulan tersenyum. Tak harus menunggu hingga akhir usia. Biarkan pandangan mata menjadi buah realita yang tak sulit diterka.
Musim terus berganti dari tahun ke tahun. Mengerti dari hari ke hari. Sepertinya tak mudah disambung lagi. Tanpa sebab yang jelas. Membuai membisu hingga terlena tanpa makna. Kita seperti masih terbalut dalam mimpi. Tak pernah ada dalam bentuk apapun. Salahsatu bukti sebuah kejadian menyebut kenangan. Dua hari atau empat hari tak mampu mendulang sebuah kata-kata.

Shezan,
Aku pikir hari ini adalah waktu yang tepat. Aku akan katakan kepadamu tentang segalanya. Meski aku bukan Kahlil Gibran. Atau seorang William Shakespeare yang mampu berkisah penuh drama tentang Romeo dan Juliet. Aku berharap jangan sampai cerita dan cinta kita tenggelam bak Kapal Van Der Wijck.
Dalam benah kita ada cinta yang tak pernah terungkap. Merajut tanpa batas bertepian. Selanjutnya menolehkan kepala tanpa sedikitpun mencuatkan rasa. Setelah dari semula yang ada. Bertolak dari semua yang terjadi. Menghilang tanpa jejak. Bersenda gurau jenaka tanpa angka. Kemelut tanpa bayangan semu.
Kita tak harus meluapkan rasa. Menimbulkan rasa curiga tanpa makna. Sepertinya menepi sembari menembuskan apa yang sudah terjadi. Meski di ranah yang tak pernah nyata. Sembari menerbitkan apa yang sudah terjadi. Dalam angan tak harus menanti keputusan. Menerima apa yang terjadi. Sendiri tanpa rasa. Membuat apa yang sudah terjadi mengubah hidup menerima apa adanya. Merasa seperti yang sudah menjadi bagian dari seluruh yang ada.

Shezan,
Marilah kita arungi cinta dan cita ini dengan tanpa penuh canda dan tawa. Sepertinya sudah berlangsung hingga mengetengahkan episode. Sanggup mengulang-ulang. Sepi biarlah berlalu berganti senyum gembira.

Shezan,
Mari kita luruskan. Melukiskan sepanjang umur ini. Mencoba menggali apa yang sudah terkubur dalam sebuah kenangan. Tak patut diungkap, tetapi biarlah menjadi sebuah catatan perjalanan. Bermimpi penuh angan dan tawa. Bersedih meretas cinta dan cita. Dulu hingga sekarang. Rangkaian cerita membujuk kita. Jangan ulangi kegembiraan ini berubah seketika menjadi tangisan kepedihan. Tetapi tangisan biarkan seketika hilang. Malam telah larut mulai merajut. Mimpi nyata tak pernah terbayangkan. Biarkan semuanya terkubur bersama keheningan malam itu. Kita bisa berpijak pada waktu yang sangat hampa sekalipun. Mengerti sebuah percakapan malam itu. Perpindahan tak pernah terlupakan. Menjalin cerita baru, meski dalam suasana yang berbeda. Sederhana.

Shezan,
Purnama. Begitu tampak terang benderang. Angin malam. Sembari menepi di jalan penuh dengan lintasan panjang. Berikut kita bangun sayap-sayap malam. Kemudian mengucur air dingin di buaian. Tak sampai mengerdipkan mata berganti menjadi embun. Hati dan cemburu menjadi satu. Ia adalah hiasan belaka. Kabar gembira datang dan pergi. Begitu kepedihan tak begitu mudah terlewati. Peredaran waktu menghilang. Sama seperti yang sudah atau sedang.

Shezan,
Malam telah larut. Mari kita sambut dan perhatikan titik-titik hari kemarin atau lusa. Menafsirkan keberadaan hari ini. Aku masih berharap esok tak seperti kemarin. Sampai pada waktu yang tak pernah terduga. Tak pernah mengerti apa yang terjadi. Itu hanya kabar burung. Alangkah bahagianya menjadi bagian yang tak pernah terlupakan.
Mencari kehidupan tidak ada untung atau rugi. Tanpa paham dan pengertian. Mencari masalah paling dasar. Kita bungkus dalam alunan sanubari, lalu kubur bersama-sama. Kalau saja tanpa seberkas cahaya. Menolak tanpa batas. Sendiri berjibaku dalam suasana yang tak kunjung padam. Sesekali akan terbawa dalam sebuah ilusi. Bahagia, duka, dan gembira bergerak mencari bukti tanpa kata. Berbahagialah meski hanya sebatas kata. Nikmatilah meski hanya sekejap mata. Kedukaan akan tergerus batas waktu dan usia. (*)


Denpasar, 2016

0 komentar:

Posting Komentar